ilustrasi |
Dua tahun lalu tak sengaja saya berkenalan dengan seorang laki-laki. Usianya jauh di atas saya. Saat itu rupanya dia sedang patah hati, kekasihnya meninggal dunia belum lama sebelum kami berkenalan. Dari cerita-ceritanya ia mengaku sangat kehilangan. Dari ceritanya pula saya tahu kalau kekasihnya meninggal dunia karena tumor di perutnya. Kisah cinta yang tragis!
"Yang paling saya sesalkan waktu terakhir dia berobat hingga ajal menjemputnya saya tidak bisa menemaninya," begitu kisah lelaki itu suatu ketika pada saya.
Ya, siapa pun mungkin akan merasakan penyesalan yang sama. Begitu juga jika kondisi yang sama terjadi pada saya. Mereka tinggal di kota berbeda. Lelaki itu tinggal di Banda Aceh dan pernah bertugas di Kabupaten Nagan Raya di pantai barat Aceh. Sementara kekasihnya seorang pejabat tinggi negara yang bertugas di Lhoksukon, Aceh Utara. Tinggal berlainan kota seperti itu membuat pertemuan di antara mereka tidak intens. Tapi sejak kekasihnya sakit dan mulai intens berobat ke propinsi tetangga ia sering menemani. Jika tidak bisa menemani lelaki itu selalu meminta bantuan temannya yang bisa dipercaya untuk menjaga kekasihnya itu. Begitulah, ia ingin memastikan bahwa kondisi kekasihnya baik-baik saja.
Lelaki itu, sebut saja namanyaYadi dan kekasihnya itu sebutlah bernama Salma. Entah bagaimana mereka bertemu, saya tidak begitu ingat lagi pada cerita-ceritanya yang sangat banyak. Awalnya ia hanya kasihan pada kondisi Salma yang sakit, lama-lama ia jatuh cinta sungguhan. Salma adalah perempuan mandiri, karir cemerlang dan punya posisi penting di tempat kerjanya. Penghasilannya berlebih untuk seorang lajang sepertinya. Tapi di usianya yang nyaris kepala empat ia belum juga menikah. Saya pernah ditunjukkan fotonya dan menurut saya wajahnya biasa saja. Yadi mengaku jatuh cinta pada sikap dan ketulusan Salma. Yadi pernah mengutarakan niatnya untuk menikahinya, agar ia bisa merawatnya dengan baik tapi Salma menolak.
Penyebabnya karena Yadi sudah menikah dan memiliki tiga anak. Itulah yang membuat Salma berat menerima permintaan Yadi. Tapi di lain sisi keduanya terus menjalin hubungan, dan menurut cerita Yadi mereka sering bertemu di luar kota. Melepaskan kerinduan dan kangen yang bertumpuk-tumpuk setelah tak bertemu berminggu-minggu. Yadi yang ketika itu bertugas di Nagan Raya dengan mudah menemui Salma tanpa diketahui istrinya.
Kata Yadi hubungan dia dan istrinya memang sudah lama tak harmonis. Sikap istri yang jauh dari kata manis padanya menjadi legitimasi bagi Yadi untuk mencari kesenangan di luar. Entah berapa banyak perempuan yang menjalin kasih dengannya sampai akhirnya ia bertemu dengan Salma. Dengan Salma ia serius, tidak seperti dengan perempuan-perempuan sebelumnya.
"Sampai suatu hari Salma ingin merasakan cinta yang sesungguhnya," kata Yadi.
Saya bingung. Cinta yang sesungguhnya? Yang seperti apa itu?
Dengan agak terbata-bata Yadi menjelaskan bahwa yang dimaksud Salma adalah hubungan tanpa jarak di antara keduanya. Bahkan mungkin oleh benang sekalipun. Saya tak ingin percaya, benarkah Salma menginginkan hal itu terjadi sementara kondisinya sudah demikian parahnya? Tidakkah ada permintaan lain yang bisa membuatnya bahagia selain bercinta dengan Yadi? Tapi sejumput pertanyaan itu hanya saya simpan di hati. Saya khawatir Yadi akan tersinggung jika saya benar-benar menanyakannya.
"Dia tidak pernah menikah, dia tidak pernah merasakan dekat dengan laki-laki, dia juga sudah putus harapan untuk bisa mempunyai anak. Biarlah itu menjadi dosa terakhir kami, saya hanya ingin melihat dia tersenyum," kata Yadi kemudian.
Saya tercekat!
Mengapa harus dosa terakhir, mengapa bukan amalan atau pahala terakhir yang mereka lakukan saat itu? Hanya mereka yang tau jawabannya. Soal ini saya juga tak berani menanyakannya. Bagaimanapun Salma sudah tiada. Seperti doa Yadi pada Salma, saya juga berharap Salma berada di tempat terbaik di alam sana. Semoga Allah melapangkan kuburnya dan mengampuni dosa-dosanya. Amin!
Glek!
BalasHapusKok bisa.
-_-
Glek! Juga :-)
HapusBegitulah cinteeaaaa :D
BalasHapuscinteeeaaaaaa :-D
Hapus