sumber foto |
Aku, pengelana yang selalu pulang ke rumah September.
Rumah hangat tak berdinding, tidak beratap, tidak berlantai, tidak bertiang, apalagi berpintu dan berjendela. Di sanalah aku mengurung seluruh hidupku, melarungkan kisah hidupku dalam aliran nafasku sendiri. Di rumah itu semua diksi berubah menjadi rasa, kata-kata menjadi tak berfungsi. Di rumah September aku memilih menjadi bungkam. Tempat aku ber-hibernasi.
Aku, perahu kecil yang ingin membuang jangkar ke inisial terakhir Alfabetis.
Akhir yang menjadi awal bagi sebuah harapan baru, mimpi-mimpi baru, keinginan-keinginan baru. Di inisial itu aku mengukir prasasti dengan tulangku sendiri. Menciptakan lautan dengan darahku sendiri. Gelombangnya adalah deru hasrat yang tak pernah padam. Lautan tempat karang-karang kokoh menancapkan akar-akarnya. Ke dalam diriku sendiri.
Aku, penikmat rindu dan rasa.
Oh, bahkan sehelai rumput yang tergolek masai menjadi begitu indahnya bagi seorang perindu
Konon lagi kesiur angin yang bermanja menggelitik dedaunan. Tak ada yang lebih indah dari pada melihatnya menggelepar usai dicumbu burung-burung di mulut senja.
Di tempatku bersemedi, aku belajar bagaimana menikmati rasa, lalu mewujudkannya menjadi apa yang aku inginkan. Pernahkah kau menyaksikan setiap narasi yang kau tulis lantas menari-nari dengan gerakan paling eksotis. Membawaku ke alam di mana hanya ada kamu dan imajinasimu. Pada saat itu warna-warni bukan sekedar merah, kuning, hijau atau ungu. Warna adalah cinta itu sendiri. Warna adalah ketulusan yang membuatmu paham artinya rela. Warna adalah ujian yang membuatmu memahami arti kesabaran. Warna adalah kau berhasil menundukkan egomu sendiri.
Maka aku selalu tahu ke mana harus pulang, ke mana harus melempar jangkar, dan ke mana harus menjemput rindu!
selalu tersentuh dengan setiap tulisanmu, penuh sirat
BalasHapusterimakasih kak Zatin :-)
HapusBanyak kata-kata baru di sini kak, puitis banget :D
BalasHapus