MAK perempuan yang hebat, kuat dan tegar. Beliau lahir di Tamiang 47 tahun silam. Di usianya yang belum genap setengah abad, Mak mempunyai segudang kisah hidup yang jika ditulis bisa menjadi berjilid-jilid. Kepingan alur cerita hidupnya sering menjadi pengantar tidur saat kami masih kecil. Dibandingkan kisah bahagia, lebih banyak cerita satir yang membuat mata berembun ketika mendengarnya. Tapi Mak mampu melewati semuanya dengan tegar. Mak tak pernah mengeluh apalagi menyesali takdir hidupnya.
Kini ketegaran itu seolah takluk pada penyakit yang dideritanya. Hampir dua bulan Mak terbaring di ranjang rumah sakit. Pindah dari satu ruang ke ruang lain. Bobot tubuhnya menyusut drastis, matanya cekung, senyum di bibirnya seketika hilang, kalah pada sakit yang menggerogoti tubuhnya. Tenaganya ikut sirna, bahkan untuk memegang piring atau gelas saja tak kuat lagi. Saya bersyukur sebab harapannya untuk sembuh tidak ikut tenggelam, walaupun kadang-kadang tampak sesekali binar matanya meredup.
Seumur hidupnya Mak hanya pernah dirawat di Puskesmas sekali waktu hamil si bungsu 16 tahun silam. Seingat saya Mak memang jarang sakit, kalaupun sakit hanya flu dan demam seperti yang dialami banyak orang. Tapi sejak ayah meninggal pada 2008 lalu kondisi kesehatan Mak mulai terganggu. Soal kesehatan yang terganggu ini agak susah untuk dijelaskan. Mak menderita penyakit non medis alias peunyaket donya. Entah sudah berapa banyak orang pintar yang didatangi Mak. Mulai dari orang Aceh hingga orang Batak, dari orang Teumieng hingga Jawa. Uang yang habis juga tak terhitung banyaknya. Rumah kami berkali-kali 'dicuci' dengan garam. Tetap saja Mak tidak sembuh. Indikasi sembuh pada penyakit yang tak kasat mata memang tak bisa diukur.
Selama itu pula hampir Setiap malam Mak mengalami mimpi buruk. Mak seringkali mengigau sampai berteriak-teriak. Kadang ia mimpi dikejar orang berjubah hitam, kadang mimpi seperti diterkam anjing hitam dan binatang lainnya. Setiap orang yang mengobati Mak bilang sakit Mak 'turunan' dari almarhum ayah yang juga terkena peunyaket donya.
Dua tahun belakangan Mak mulai menderita penyakit degeneratif -mungkin karena faktor stres- seperti diabetes mellitus dan asam urat. Lambungnya juga mulai bermasalah. Ketiga penyakit ini membuat Mak sering mengonsumsi obat obatan, baik obat medis maupun ramuan tradisional. Atau obat herbal yang dibeli di toko Cina.
Awal September lalu tiba-tiba Mak ngedrop dan masuk ICU. Sehari sebelumnya, Sabtu, 5 September Mak menelepon saya. Kami ngobrol lama, suara Mak terdengar lemah. Tanpa diberi tahu pun saya sudah tahu kalau Mak sakit. Tapi karena hari libur Mak menunda rencana ke rumah sakit hingga hari Senin nanti. Rupanya belum sampai Senin Mak sudah masuk rumah sakit duluan karena terserang sesak nafas berat pada Minggu sekitar jam empat pagi. Mak pun langsung dilarikan ke RS Graha Bunda Idi Rayek.
Mendapat kabar Mak masuk rumah sakit, Minggu siang saya langsung pulang kampung. Jelang tengah malam saya sampai di rumah sakit. Sejumlah keluarga menunggui Mak di rumah sakit. Saat masuk ke ruang ICU masih teringat dengan jelas waktu itu Mak tidur dengan napas tersengal sengal. Di hidungnya menempel selang oksigen. Cairan infus masuk ke pembuluh darahnya melalui jarum. Tengah malam saat Mak terbangun dan melihat saya di sampingnya, Mak nampak lega walaupun tidak diucapkan.
Enam hari di rumah sakit kondisi Mak semakin parah. Sesak napasnya semakin menjadi jadi, dua hari terakhir Mak mulai batuk-batuk. Keluarga akhirnya meminta rujukan agar Mak dibawa ke Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin di Banda Aceh.
Jumat, 11 September pukul tiga sore akhirnya Mak dibawa ke Banda Aceh dengan ambulans. Tiba sekitar pukul sebelas malam. Hiruk pikuk IGD menyambut kedatangan kami. Untuk proses administrasi awal diurus oleh perawat pendamping. Dokter jaga di IGD langsung menangani Mak dengan cepat. Semuanya berlangsung begitu cepat, mereka mengambil darah Mak untuk diperiksa di laboratorium, ada juga yang menanyakan perihal riwayat penyakit Mak pada saya. Selanjutnya Mak dibawa ke ruang radiologi. Dokter yang memeriksa Mak curiga ada yang tidak beres di paru paru Mak setelah punggung kiri dan kanan ditepuk tepuk.
Malam pertama di RSZA saya dibuat takjub. Pasalnya hasil foto rontgen nya langsung jadi nggak lebih dari lima belas menit. Salut sama petugas medis yang begitu sigap seolah nggak ada beda antara siang dengan malam. Usai di rontgen Mak kembali dibawa ke IGD. Selanjutnya dua dokter pria menjelaskan hasil foto rontgen tadi pada saya. Intinya ada cairan di pleura paru Mak. Tapi cairan ini bukan karena trauma, melainkan karena efusi.
"Efusi itu apa dok?" Tanya saya.
Walaupun sudah larut malam konsentrasi saya masih oke. Penjelasan dokter saya simak baik-baik. Yang tidak paham langsung tanya saja. Ini memudahkan saya untuk menjelaskan pada keluarga yang umumnya sangat awam dengan dunia medis.
"Efusi itu cairan yang berasal dari infeksi," kata dokter menjelaskan.
Singkatnya, pleura atau pembungkus paru Mak sudah kelebihan cairan. Sehingga membuat Mak seperti orang tenggelam saat bernafas. Selain didiagnosa efusi pleura, Mak juga didiagnosa terkena pneumonia dan sepsis. Tentang penyakit ini akan saya tulis terpisah.
Sakit paru yang dialami Mak membuat kami kaget. Selama ini Mak tidak pernah mengalami sesak atau batuk. Tidak ada gejala yang mengindikasikan paru nya bermasalah. Yang membuat kami heran Mak bahkan pernah memeriksakan paru nya pada dokter spesialis tapi dinyatakan bersih.
Setelah menjelaskan tentang kondisi Mak, dokter lantas meminta persetujuan keluarga untuk penyedotan cairan paru. Surat tanda persetujuan keluarga ditandatangani oleh adik saya. Sekitar jam setengah empat pagi Mak lantas dibawa ke ruang operasi untuk pemasangan water seal drainase atau WSD. Operasi hanya dilakukan oleh dua dokter dibantu seorang perawat. Masuk waktu subuh operasi pun selesai. Setelah itu Mak kembali dibawa ke ruang radiologi untuk foto rontgen post WSD. Sejak saat itu Mak resmi menjadi 'warga' rumah sakit.[]
*ditulis di sela-sela gesa di ruang rawat bedah Jeumpa 3 RSZA