ilustrasi |
Aku sedang terburu-buru saat ponselku
berdering malam itu. Telepon dari Emak. Tombol shut down di komputer baru saja kutekan. Aku juga masih harus
merapikan meja kerjaku dulu sebelum pulang. Kertas yang berserakan, pulpen, tape recorder, membuat meja kecil ini
terlihat semakin sempit. Deringan pertama berlalu begitu saja, aku berniat
menelepon Emak setiba di rumah nanti.
Biasanya jam segitu aku masih stand by
di kantor. Pekerjaan sebagai jurnalis memang menyita waktuku. Aku terbiasa
pulang kerja malam hari, bahkan jika sedang mengejar tenggat tak jarang sampai
menjelang larut malam.
Tapi malam itu, walaupun azan Isya belum
berkumandang aku memutuskan untuk menyudahi aktivitasku. Sejak petang kurasa
tubuhku menghangat. Tenggorokanku juga terasa panas. Namun mendengar deringan
telepon dari Emak yang kedua kalinya, terpaksa kuurungkan niat untuk segera
pulang. Tak biasanya Emak seperti ini. Mendadak aku jadi was-was.
"Assalammualaikum, Emak," suaraku
kubuat seriang mungkin.
Aku tak ingin membuat Emak risau. Aku
sudah banyak menyusahkannya.
"Waalaikumsalam, Intan," jawabnya
pendek.
Suaranya terdengar menggantung.
“Emak sehat?”
“Sehat, Nak. Ada yang ingin Emak sampaikan
padamu,” katanya sejurus kemudian.
Aku tidak lantas menjawab. Mungkin ini ada
kaitannya dengan suara Emak yang menggantung tadi. Aku sengaja menunggu.
Biarkan Emak menyampaikannya tanpa merasa kucecar. Belakangan ini kurasa Emak
lebih sensitif. Beberapa kali ia protes karena aku jarang meneleponnya. Ia juga
sering mengeluhkanku yang jarang menjenguknya di kampung.
“Ada yang datang melamarmu pada Emak,” ucap
Emak kemudian.
“Siapa, Mak?” tanyaku ragu-ragu.
“Firman,”
Aku tidak tahu apakah kabar yang disampaikan
Emak ini membuatku bahagia atau sebaliknya. Firman adalah tetangga kami. Ia
pengusaha ayam petelur yang sukses. Kami sudah berteman sejak kecil. Usianya
terpaut tiga tahun di atasku.
Meski bertetangga tapi kami jarang
berkomunikasi. Apalagi aku sudah lama meninggalkan kampung halaman. Paling kami
hanya bertemu saat lebaran, itupun jika Firman bertandang ke rumah atau tak
sengaja bertemu di masjid saat salat ied.
Sebenarnya aku pernah menyukai Firman. Bukan
hanya aku, beberapa temanku juga ada yang menaruh hati padanya. Ia rajin dan
pintar, tapi pemalu. Saat masih di Sekolah Menengah Pertama dulu, Firman sering
membantuku mengerjakan tugas-tugas pelajaran Ekonomi. Bakat wirausahanya memang
sudah terlihat sejak ia masih remaja. Jika sedang bersama aku sering
mencuri-curi pandang padanya. Saat mata kami saling beradu buru-buru aku
membuang muka sambil menahan rasa malu.
Itu dulu, saat aku belum mengenal Harris.
Tapi mengapa sekarang semua kenangan itu dengan mudahnya menyembul di
ingatanku?
“Intan?” suara Emak di seberang sana
mengagetkanku.
Aku terhenyak. Suaraku seperti tercekat.
“I…Iya Mak, Intan masih di sini,” jawabku
terbata.
“Bagaimana?”
“Apanya?”
Malam itu obrolan antara aku dan Emak
berakhir begitu saja. Aku belum memberi jawaban apapun pada Emak. Emak sepertinya
juga tak ingin memaksa, meski aku tahu ia ingin segera mendapatkan jawaban
dariku.
“Teman-teman sebayamu di kampung sudah
menikah semua, bahkan ada yang sudah punya tiga anak. Anak gadis Emak ini entah
kapan…” kelakar Emak suatu ketika saat aku pulang kampung.
Sebagai perempuan dengan usia yang nyaris
genap berusia tiga puluh tahun, kelakar itu kuterima sebagai sindiran halus.
Meskipun setelah itu Emak buru-buru meralat ucapannya. “Tapi kau kejarlah dulu
impianmu, Intan,” katanya.
***
Seminggu telah berlalu sejak Emak meneleponku
malam itu. Namun ucapan-ucapan Emak terus membayangiku. Benarkah Firman ingin
memperistriku? Jika iya, mengapa ia tidak langsung mengatakannya terlebih
dahulu padaku. Bukankah ia bisa meminta nomor teleponku pada Emak. Aku ragu,
sebab Firman mengetahui siapa aku sebenarnya. Ah, apakah ia mau menerimaku yang
tak gadis lagi sebagai istrinya?
Di tengah kekalutan perasaan seperti ini, aku
selalu teringat pada Harris. Seorang pria sederhana yang telah membuatku jatuh
cinta. Dan sampai sekarang sedikit pun kenangan tentang Harris belum terkelupas
dari ingatanku. Setelah mendengar kabar dari Emak, ingatan-ingatan tentang
Harris justru semakin menguat. Seolah-olah di setiap langkahku, aku melihat
Harris mengekoriku.
Ingatan itu selalu saja membawaku pada
buncahan rindu pada lelaki berwajah teduh itu. Ah, jika saja Harris masih ada
tentu Firman tidak akan memintaku jadi istrinya. Begitu juga dengan lelaki mana
pun di dunia ini. Aku pasti sedang berbahagia dengan Harris.
***
Usiaku baru lima belas tahun saat aku
mengenal Harris. Waktu itu aku masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas.
Kami pertama kali bertemu di acara bakti sosial yang dibuat sekolah. Harris
adalah ketua pemuda di kampung pedalaman itu. Belakangan aku tahu bahwa Harris
merupakan salah satu anggota gerilyawan. Tapi karena hatiku telanjur terpaut
padanya, aku tak mungkin meninggalkannya.
Setahun kemudian Harris mengutarakan niatnya
untuk menikahiku. Aku yang waktu itu sedang dilanda mabuk cinta, menerima
pinangan itu tanpa berfikir panjang. Padahal kondisi keamanan saat itu sedang
tak karuan. Pemerintah pusat baru saja menetapkan status Darurat Militer di
daerah kami. Teman-teman mengatakan aku nekat, tapi aku tak pernah menyesal
menikah dengan Harris.
“Kita menikah secara agama saja Intan, dengan
begitu kamu tetap bisa melanjutkan sekolahmu,” kata Harris waktu itu.
Ayah dan Emak yang memang sangat menyukai
Harris tidak berusaha menghalang-halangi niat kami untuk menikah. Beberapa
bulan setelah menikah aku masih sekolah seperti biasa. Tentu saja dengan
merahasiakan identitasku sebagai seorang istri anggota gerilyawan.
Setelah menikah aku bukan hanya menjadi istri
Harris, tapi juga menjadi sumber informasi penting bagi gerakan gerilyawan. Aku
mengumpulkan banyak informasi dari orang-orang yang kutemui di kota. Aku juga
rutin membeli koran dan majalah lalu mengirimkannya ke markas gerilyawan. Aku
melakukan semua itu dengan rasa bangga. Harris bilang aku istri yang luar
biasa.
Namun saat kondisi semakin tak menentu, aku
tak bisa bertahan dalam situasi itu. Aparat keamanan semakin sering menyisir ke
kampung-kampung. Lama-lama aku memilih untuk mengikuti Harris dan meninggalkan
kampung. Beberapa bulan kemudian Harris gugur dalam sebuah pertempuran. Aku
merasa duniaku ikut hilang bersama jasad Harris yang hancur lebur terkena
letusan bom aparat. Saat itu juga aku memutuskan untuk selamanya akan setia
pada Harris. Lelaki suamiku yang telah mencintaiku dengan amat sempurna.
Ayah dan Emak sangat terpukul dengan kejadian
yang menimpaku. Di usia muda aku harus menyandang predikat janda. Kenyataan itu
membuat mereka bersedih. Apalagi saat itu aku bagai kehilangan sumber
kehidupan. Hampir setiap hari aku menangis. Tubuhku kurus dengan wajah cekung.
Satu-satunya harapanku adalah janin yang tengah kukandung, tapi karena kondisi
psikisku tertekan aku juga harus kehilangan bayiku. Semakin lengkaplah
penderitaan yang kurasa saat itu.
Setahun setelah kejadian itu Firman datang
menjumpai Emak. Ia menyarankanku untuk kembali bersekolah. Namun demi
kerahasiaan identitasku ia menyarankan aku melanjutkan sekolah di tempat lain.
Akhirnya aku pindah ke ibu kota provinsi. Di sinilah aku mulai menata sedikit
demi sedikit kehidupanku. Aku melakukan banyak hal agar waktuku tidak tersita
pada Harris. Tiga tahun terakhir ini aku melakoni pekerjaan sebagai jurnalis
yang sibuk. Tapi kesibukan itu ternyata tidak bisa menyembuhkan hatiku yang
terlanjur remuk.
Belasan tahun setelah kejadian itu, bukannya
tidak ada lelaki yang mengutarakan cintanya padaku. Tapi tidak ada satu pun
dari mereka yang berhasil meluluhkan hatiku. Aku tak sanggup mengkhianati cinta
Harris. Tapi sekarang, mengapa hatiku justru terusik oleh Firman?
***
Telepon genggamku berdering. Dari Emak.
Jantungku mendadak berdegub kencang. Aku gugup. Pasti emak akan menanyakan
perihal tawarannya seminggu lalu. Jika Emak mendesak aku harus menjawab apa?
“Assalammualaikum, Mak,” jawabku dengan suara
kupaksa seriang mungkin.
Tidak ada jawaban. Aku kembali mengulang
salam.
“Waalaikumsalam, ini aku Firman,”
Deg! Jantungku rasanya berhenti berdetak.
Suara di sana terdengar begitu nyaring.
“A..a.. apa kabar?”
“Aku baik-baik saja Intan, semoga kamu juga
begitu,” jawabnya perlahan.
Hening. Aku tak tahu harus mengatakan atau
pun menjawab apa. Tubuhku terlanjur kaku. Di seberang sana aku tak tahu apa
yang sedang difikirkan Firman. Mungkin di hadapannya juga ada emak dan ayah. Entah
apa saja yang sudah dikatakan Firman, aku tak bisa konsentrasi. Wajah Harris
seolah menutupi seluruh ruang di memoriku. Namun ada satu kalimat yang
diucapkan Firman begitu membekas.
“Mungkin kamu masih mengingat Harris, jika
hal itu terjadi padaku mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Tapi aku
tidak mungkin memendam rasa ini lebih lama lagi, aku mencintaimu Intan. Jauh
sebelum kamu mengenal Harris, tapi waktu itu aku terlalu takut untuk
menyatakannya padamu. Jika kau berkenan menerimaku, aku ingin menjadi Harris-mu
dalam wujud yang lain.”
Aku sukar menerjemahkan perasaan yang
berkecamuk dalam diriku. Tapi entah mengapa, pertama kalinya sejak aku
meninggalkan kampung halaman, aku seperti tak sabar untuk segera pulang.[]
Peuniti menjelang Isya, 24 April 2014
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)