Dear Zorro...
Jantungku masih berdetak dengan ritme yang sama saat aku menuliskan surat ini. Begitu juga dengan irama nafasku.
Seperti yang kau tahu, hanya kau yang bisa membuat ritmenya menjadi semacam terjangan angin ribut yang membabi buta. Membuat jantung seperti terguling-guling dan napas tersengal bagai kehilangan oksigen.
Kita sangat sering mendefinisikan cinta, rasa dan juga rindu. Masihkah sama definisinya? Atau, masihkah perlu didefinisikan?
Dear Zorro,
Bagiku, kau bukan sekadar definisi, atau sebuah inisial. Tapi adalah rasa dan rindu itu sendiri. Kau seperti bara yang mampu memercikkan bibit-bibit api, menyala dan membuat semuanya menjadi terbakar. Dan kita menggelepar dalam bilangan waktu yang kuharap menjadi stagnan.
Kamu itu seperti kopi, seksi di nama nikmat di rasa. Senyummu menerjemahkan semua hasrat dan gejolak yang terbenam di sisi paling beku. Meski angkuh sering kali campur tangan dan mencuri semua keindahan itu.
Kau tahu, ada waktu di mana kita harus memadamkan api yang besar itu. Memaksa kebekuan menjadi cair dan mencari jalan keluarnya sendiri. Meski untuk itu kita tidak bisa memusnahkan apa yang sudah mendekam di hati. Seperti pintu yang terkunci dan berkarat.