ilustrasi lonceng angin @asgar.or.id |
JANGAN bertanya padaku tentang rupa angin.
Untukku menjadi sangat indah ketika angin selalu terselubung rahasia. Apa yang selalu kasat mata bukan berarti semuanya menjadi begitu menyenangkan. Kesenangan itu ada kalanya terletak pada apa yang tidak kita ketahui, pada sesuatu yang tidak mampu kita raba bentuknya, atau pada sesuatu yang tidak dapat kita cumbu aromanya.
Kesenangan itu adakalanya menjadi berlipat nikmatnya ketika hanya bisa kita rasakan tanpa pernah meminta umpan balik dari semuanya. Sekali waktu kita perlu membiarkan hati berkelana, membiarkan seutas tali yang menjadi penyangganya. Kemudian dia akan terbang bebas tanpa perlu lupa jalan pulang. Tanpa perlu mengetahui rupanya, angin akan membawanya mengapung di ketinggian jagad dunia.
Jangan bertanya padaku tentang rupa angin.
Karena aku sama sekali tidak pernah melihat seperti apa bentuknya. Memang, dia selalu menghinggapi tubuhku dan berdiam lama sekali di sana. Terkadang ia mengendus dan membuat aku berdesir hingga hampir lupa diri. Aku bahkan tak pernah berusaha membuka mata untuk sekadar mengintip agar bisa melihat seperti apa wajahnya.
Hasrat untuk melihat rupa angin sama seperti memendam keinginan untuk memaksa seseorang berbicara. Seseorang yang mulutnya sudah terkunci bisakah kita memaksanya menyampaikan sesuatu, seperti 'halo' misalnya, atau 'apa kabar?'. Bisakah?
Seseorang yang sudah merinkarnasikan lisannya melalui sepasang mata terangnya, mungkinkah kita memintanya menjadi seperti murai yang tak berhenti berkicau. Ya, sepasang bola mata memang mampu menjelaskan banyak hal, mampu berkisah bahkan melampaui apa yang mampu ditangkap oleh telinga kita, tetapi bukankah kita tetap saja menginginkan agar sesuatu muncul di balik dua katup bibirnya yang seakan sudah beku itu?[]