doodle Google di Hari Kartini |
21 April, Hari yang dianggap 'sakral' itu baru saja berlalu dua hari yang lalu. Dianggap sakral karena 21 April ditabalkan sebagai hari kebangkitan perempuan Indonesia. Tanggal itu sendiri diambil dari tanggal lahirnya Raden Ajeng Kartini yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah.
Tahun ini, Hari Kartini jatuh pada hari Kamis. Mayoritas orang Indonesia ''merayakannya'' dengan cara masing-masing. Namun tak sedikit pula komentar-komentar sumbang yang dilontarkan. Entah ditujukan kepada siapa. Kepada Kartini? Tentu saja salah alamat, sebab Kartini pun tak tahu jika hari lahirnya belakangan menjadi begitu penting bagi Indonesia.
Waktu saya lahir dulu Ibu pernah ingin memberikan saya nama Kartini. Ibu terinspirasi dengan keanggunan Kartini yang terlihat lewat gambar dan keberaniannya yang dikisahkan dari cerita-cerita sejarah. Tetapi entah kenapa Ibu urung memberikan nama itu itu untuk saya.
Mengapa tiba-tiba saya menuliskan tentang Hari Kartini? Sebenarnya tidak, karena apa yang akan saya ceritakan sama sekali tidak ada kaitannya dengan perempuan Jawa berdarah ningrat itu. Melainkan kejadiannya bersamaan dengan hari lahirnya Kartini saja.
+++
Dua hari lalu saya berangkat ke tempat kerja seperti biasanya. Di perjalanan saya melihat sesuatu dan itu membuat saya seperti punya firasat. Perasaan tiba-tiba menjadi tidak enak. Kepikiran dengan rumah di kampung yang sudah enam bulan tidak ditempati.
Beberapa hari sebelumnya saya memang pulang kampung untuk suatu keperluan. Saya menginap di rumah nenek. Enam bulan terakhir rumah kami di Idi Rayek, Aceh Timur memang kosong, Ibu sementara waktu menetap di rumah nenek di Sigli untuk proses pemulihan setelah sakit parah. Adik nomor dua yang biasanya di rumah sering tak di rumah karena lokasi pekerjaannya yang sekarang sangat jauh. Istrinya pulang ke rumah orang tuanya di Sinabang untuk sementara untuk melahirkan anak keduanya. Adik ketiga ada di Aceh Selatan dan adik keempat ada di Perlak. Saya sendiri menetap di Banda Aceh.
Baru besok sorenya sempat ke rumah, itupun cuma sebentar. Kondisi rumah sungguh memprihatinkan. Halamannya dipenuhi gunungan buah kelapa yang akan dijual ke provinsi sebelah. Teman almarhum ayah menggunakan gudang milik kami untuk menampung kelapa dagangannya sejak beberapa waktu terakhir. Dulu gudang itu kami gunakan untuk mengumpulkan TBS yang menjadi usaha pokok keluarga kami. Beberapa bulan terakhir usaha yang sudah dirintis sejak 1999 silam itu gulung tikar.
Di dalam rumah kondisinya tidak lebih baik, berantakan, semua pintu terbuka, dan entah siapa yang membukanya. Padahal kunci rumah ada pada kami. Ruangan dapur penuh dengan lumpur bekas banjir beberapa bulan lalu. Saya tak tahu harus berkomentar apa. Setelah menutup semua pintu rumah, saya akhirnya keluar dan berbaur bersama pekerja yang sedang beristirahat di gazebo di halaman rumah.
+++
Ingatan tentang rumah kembali menguat setelah saya melihat 'sesuatu' di perjalanan menuju kantor. Ingin rasanya mengambil cuti kerja dua atau tiga hari untuk membereskan semuanya. Saat sedang memikirkan itu tiba-tiba handphone saya berdering. Panggilan masuk dari paman di kampung. Deg! Pikiran jadi tak karuan, ada apa ini? Mengingat jarang-jarang ada keluarga yang menghubungi. Lagi pula, baru beberapa hari yang lalu saya bertemu paman.
Setelah berbasa-basi sebentar paman langsung ke pokok persoalan. Topiknya adalah tentang rumah. "Rumah akan disita bank," begitu paman memulai pembicaraan.
Mendengar itu saya tentu saja terkejut. Suara saya gemetar. Paman melanjutkan bicaranya.
"Cicilan bank menunggak beberapa bulan... Tadi orang bank menjumpai paman, mereka memberi waktu sampai tanggal 24 April untuk melunasi, kalau tidak rumah itu akan disita..."
Panjang lebar paman bercerita. Saya mendengar sambil sesekali menimpali dengan bertanya, mengomentari atau membenarkan perkataannya. Bersamaan dengan itu air mata saya terus mengalir, bicarapun jadi terbata-bata.
Setahun terakhir, rumah itu dijadikan jaminan untuk mengambil kredit di bank dalam jumlah yang besar oleh adik lelaki saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Tak hanya rumah yang jadi jaminan, kebun jabon di seberang jalan dekat rumah juga dijadikan jaminan. Cicilannya sungguh besar, beberapa kali lipat dari gaji yang saya dapat setiap bulannya di tempat kerja. Membayangkan jumlah cicilan yang sudah menumpuk itu bikin saya pusing. Mau dicari di mana duit sebesar itu dalam waktu tiga hari?
Emosi saya bercampur aduk antara marah, sedih, khawatir, dan entah apalagi. Rumah itu peninggalan almarhum ayah yang dibangun dengan keringat di masa konflik dulu. Semua aset yang kami miliki berupa rumah, kebun, sawah, mobil semuanya adalah hasil kerja keras ayah di masa hidupnya. Semua itu hilang satu persatu tanpa saya tahu seperti apa prosesnya.
Dan bayangan tentang akan disitanya rumah membuat saya panik. Mau tinggal di mana Ibu dan adik-adik nanti? Mau pulang ke mana saya nanti kalau sesekali ingin pulang kampung?
Tapi entah kenapa, di tengah kepanikan itu ada sisi lain di ruang hati saya yang seolah-olah mengatakan tenanglah, jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja, pasti ada jalan keluar. Saya percaya Allah akan beri kami jalan keluar dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Saya menceritakan persoalan ini pada beberapa teman dekat, dukungan mereka membuat saya tenang. Membuat saya tidak kebingunan mencari jalan keluarnya, membuat saya mampu berpikir, membuat saya mampu mencari solusi untuk jangka panjang. Terimakasih untuk semuanya.[]
Saya menceritakan persoalan ini pada beberapa teman dekat, dukungan mereka membuat saya tenang. Membuat saya tidak kebingunan mencari jalan keluarnya, membuat saya mampu berpikir, membuat saya mampu mencari solusi untuk jangka panjang. Terimakasih untuk semuanya.[]