AKU
duduk dan membuang pandang ke jalan raya. Menyaksikan lalu lalang kendaraan
dari meja kerjaku. Matahari mulai bersujud. Pertanda sebentar lagi hari akan
gelap. Sesekali kupandangi kotak masuk di email. Ada banyak pesan yang masuk
dari sebuah nama. Sudah dua hari ini, setiap kali memandangi kotak masuk di
email, hatiku selalu bergerimis. Nyeri. Perih. Sakit.
Seperti
saat ini. Tanpa sadar mataku kembali menjadi basah saat melihat nama itu di
deretan pesan masuk. Hatiku bergemuruh. Emosiku menjadi tak karuan.
Perbincangan dua hari lalu dengan pemilik nama itu kembali terngiang. Seolah
seperti hantu yang terus membayangi dan memunculkan wajahnya. Ya, percakapan
melalui email. Percakapan yang bisu namun telah meruntuhkan perasaan dan
harapanku.
Email-email
itu dari Juan (nick name). Lelaki bergelar kekasih yang sudah lebih sepuluh
tahun bersamaku. Waktu yang teramat lama untuk mendefinisikan sebuah perasaan,
cinta dan juga kesetiaan. Aku mencintainya lebih dari diriku sendiri. Menyebut
namanya lebih banyak daripada menyebut namaku sendiri. Aku tak pernah alpa
mengingatnya, atau merinduinya. Bahkan hingga sepuluh tahun lebih kebersamaan
kami, perasaanku padanya tak pernah berubah. Sering kukatakan padanya kalau aku
selalu tergila-gila padanya.
Juan
adalah lelaki yang luar biasa menurutku. Ia sangat istimewa. Kami berkenalan
awal 2005 silam melalui produk teknologi bernama internet. Berawal dari
keseringan chatting, kami akhirnya menjadi dekat. Di mataku yang
saat itu baru beranjak 20-an, Juan merupakan sosok yang sangat dewasa. Ia
sangat mengayomi, cerdas, penyayang, bijak. Juan begitu menginspirasi dan
memotivasi. Usia kami yang terpaut hingga 18 tahun membuat Juan sangat
memahamiku. Aku merasa nyaman saat 'bersamanya'.
Di
balik sikapnya yang hangat, Juan sering bercerita tentang keluarganya. Tentang
istrinya yang cantik, yang katanya campuran Pakistan dan Banten. Tentang
anak-anaknya yang cerdas dan menggemaskan. Tentang kehidupannya yang mapan.
Cerita-cerita yang menurutku sangat indah untuk dibayangkan. Kehidupan yang
nyaris sempurna. Membuatku diam-diam memimpikan kehidupan, juga seorang suami
seperti Juan, kelak.
Aku
tak lagi sungkan menceritakan banyak hal pada Juan. Mencurahkan semua isi
hatiku. Tentang kesibukanku di kampus, hari-hari selama di perantauan, dan
banyak lagi.
Perlahan
tapi pasti benih-benih cinta tersemai di hati kami. Aku menjadi sering menunggu
kehadiran Juan di chatt room. Juan
juga tak pernah alpa mengirimkan pesan untukku jika ia sedang online.
Sesekali Juan menghubungiku dari luar negeri, kami berbincang lama tentang apa
saja. Juan yang tinggal berbeda kota denganku dan bekerja di luar negeri.
Bukankah suatu 'pengorbanan' jika ia mau menghubungiku dari jarak yang sangat
jauh?
Beberapa
bulan kemudian, tepatnya di bulan Juni aku memberanikan diri untuk menyampaikan
isi hatiku padanya. Aku telah jatuh cinta pada Juan. Pada seorang pria yang
sudah tak sendiri lagi. Aku terpesona pada kedewasaannya.
Di luar perkiraan, Juan ternyata juga menaruh perasaan yang sama padaku.
Di luar perkiraan, Juan ternyata juga menaruh perasaan yang sama padaku.
"Abang
sudah lama punya perasaan padamu, tapi tidak abang sampaikan, karena kamu
sering bercerita tentang seseorang," begitulah sepotong jawaban Juan yang
membuatku lega setelah itu.
Hatiku
menjadi berbunga-bunga. Dunia berubah menjadi merah muda. Sajak-sajak tentang
cinta selalu kukirimkan untuk Juan. Begitu sebaliknya. Hatiku mengembang setiap
kali membaca surat cintanya yang tanpa basa-basi. Aku memaklumi, sebab ia
berlatar belakang teknik. Surat-surat cinta yang ia kirimkan tak pernah
mendayu-dayu. Ia selalu apa adanya.
Hatiku
menjadi riuh sejak saat itu, riuh karena rindu. Riuh karena gelora perasaan. Mataku
berbinar tiap kali memandang fotonya. Yang kurasakan bukan cuma itu. Karena
pada saat yang bersamaan mendung juga kerap menghinggapiku. Wajahku terkadang
dibalur muram manakala Juan tak pernah menghubungiku, terutama saat ia berada
di Indonesia. Aku sadar ada hal-hal yang harus diprioritaskan Juan yaitu anak
dan istrinya. Aku berusaha memaklumi semuanya dan aku selalu berusaha berbesar
hati. Menghibur diriku sendiri dengan segala yang kubisa.
Aku
juga tak bisa membendung air mata manakala rindu terasa begitu menusuk-nusuk
sanubariku. Kadang aku merasa marah, kesal, tapi tidak tahu harus
melampiaskannya kepada siapa-siapa. Bertahun-tahun, aku menahan gejolak hati
tanpa pernah menceritakannya kepada siapa pun. Aku menyembunyikan hubunganku
dengan Juan. Bahkan, seorang teman pernah menyangka aku lesbian karena ia tak
pernah melihatku bersama pria.
Sebenarnya
pernah beberapa kali aku dekat dengan pria lain, tentu saja tanpa sepengetahuan
Juan. Dengan harapan bisa mencintai pria itu dan melupakan Juan yang telah
beristri. Ingin mempunyai hubungan yang lazim. Tapi hubungan yang terjalin tak
sampai seumur jagung. Aku sama sekali tidak menemukan keistimewaan pada
mereka. Aku tidak bisa nyaman dengan pria lain.
Meski
Juan kerap kali membuatku terluka karena statusnya itu, tapi tak bisa
sedikitpun aku berpaling darinya. Aku tak bisa mengkhianati cinta dan
perasaannya. Aku tak ingin ia menduakan istrinya meski secara perasaan ia telah
melakukannya.Aku tak ingin ia melukai perasaan dan hati anak-anaknya. Aku tak
pernah menaruh harapan apapun pada hubungan yang kami jalani. Aku hanya
mencintainya dan ingin terus mencintainya. Aku tak ingin menjadi parasit yang
menggerogoti Juan. Karena itulah aku tak pernah meminta Juan untuk menikahiku.
Ya, aku tak pernah memintanya untuk itu.
Jauh
di lubuk hati sebenarnya aku ingin hubungan ini usai. Terkadang aku terbayang
wajah istri dan anak-anaknya. Kadang kala perasaan bersalah menghinggapiku.
Tapi aku tidak menyesali cinta yang terjalin di antara kami. Aku mencintai dan
menyayanginya sepenuh hatiku. Sungguh, aku tak pernah mengharapkan apapun yang
dimiliki Juan selain cinta dan sayangnya untukku. Aku tak pernah mengharapkan
uangnya yang banyak. Tak pernah meminta apapun padanya. Walau aku sering
mengatakan ingin hidup dengannya, tapi aku tak pernah memintanya menikahiku.
Karena aku tak ingin ada orang lain yang tersakiti. Cukup aku. Cukup aku saja.
Aku
juga tahu hubungan Juan dan istrinya tidak begitu harmonis. Bahkan jauh sebelum
Juan bertemu denganku. Tapi bukan itu yang membuatku terus bertahan untuknya.
Aku selalu ingin ada di dekatnya walaupun bukan secara fisik, mendukungnya
melewati hari-harinya yang berat, aku ingin menjadi sahabatnya. Susah untuk
menjabarkan seperti apa rasa yang bercokol di dalam diri ini. Aku sering
menangis diam-diam atas takdir yang kualami.
Belakangan
hubungan Juan dan istrinya semakin memburuk. Itupun kuketahui dari cerita Juan
yang sepotong-sepotong. Komunikasiku dengan Juan juga tidak intens, kami hanya
berkomunikasi via email saja. Selama kami bersama bisa dihitung dengan jari
berapa kali kami bertemu dan terakhir kali pada tahun lalu. Aku tak pernah
mempermasalahkan hal ini. Aku sudah terbiasa dengan hubungan yang diam-diam ini
dengan segala konsekuensinya. Aku telah terbiasa dengan sepi yang panjang, juga
emosi yang tidak tersalurkan.
Belakangan
Juan bercerita jika istrinya mulai meminta cerai. Mereka menjadi sering
bertengkar.Tapi ia tidak mengabulkannya. Ia akan bertahan demi anak-anaknya,
juga demi istrinya. Ya, Juan masih mencintai istrinya yang cantik. Ia sangat
menyayangi anak-anaknya. Aku tahu itu. Rasa sayangnya padaku tak melebihi rasa
sayangnya pada mereka. Itulah yang membuatnya selalu membatasi pertemuan atau
komunikasi denganku. Aku tak pernah menyalahkannya atas itu. Walau Juan tak
pernah mengatakan, tapi aku mengetahuinya.
Aku
mendengar semua curahan hati Juan. Memberi saran dan menyemangatinya semampuku.
Beban kerjanya yang berat sudah cukup membuatnya lelah, ditambah lagi dengan
masalah keluarganya, aku berusaha untuk memahaminya. Aku bahkan sampai
menitikkan air mata saat tahu istrinya menguggatnya cerai saat ia sedang di
luar negeri. Mengapa wanita itu tega sekali. Aku terus berusaha membesarkan
hati Juan. Aku memang mencintainya, dan sangat ingin memilikinya. Tapi
mendengarkan ia dalam proses cerai sangat mengerikan buatku.
Persoalan
Juan dan istrinya mencapai klimaksnya awal Januari 2016 lalu. Tiba-tiba di
suatu malam Juan mengirimkanku sebuah foto, foto surat cerai yang dikirimkan
istrinya. Tak bisa kulukiskan bagaimana perasaanku saat itu. Sedih. Aku sangat
sedih dengan kenyataan itu. Juan juga sangat marah. Hingga lewat tengah malam
aku menemaninya, menenangkan emosinya yang meletup-letup. Tak ada yang bisa
kulakukan setelah itu. Selain berdoa untuk kebaikannya.
Setelah
Juan dan istrinya bercerai entah mengapa aku mulai melihat hubungan kami dari
sudut yang berbeda dari sebelumnya. Aku mulai menemukan secercah harapan. Aku
mulai berangan-angan tentang pernikahan. Ya, aku menaruh harapan suatu saat
nanti kami bisa menikah. Tanpa perlu melukai siapapun. Aku rasa itu wajar,
karena status Juan kini sudah berbeda.
Hari-hari
yang sibuk dan masalah yang datang silih berganti membuatku jarang
berkomunikasi dengan Juan. Beberapa kali aku menghubunginya lewat email tapi
responsnya tak seperti biasa. Akupun tak begitu menanggapi. Mungkin ia terlalu
sibuk. Begitulah, aku selalu berpikir positif tentangnya.
Hingga
beberapa hari yang lalu feeling-ku
tidak enak. Aku terus memikirkannya. Dalam perjalanan ke luar kota aku seperti
memutar ulang kembali kisah cinta kami yang satir. Awal perkenalan kami di
dunia maya. Kerinduan-kerinduan kami yang menakjubkan. Pertengkaran yang
berakhir dengan kemesraan. Dan juga kekakuannya yang sering mendapat protes
dariku. Entah mengapa tiba-tiba aku berpikir kalau hubungan Juan dan istrinya
membaik. Feeling-ku mengatakan mereka
telah rujuk kembali.
Kubuang
jauh-jauh perasaan itu. Malamnya aku mengirimkan sepotong pesan pendek
untuknya; semua tentangmu adalah
kerinduan bagiku, kekasihku sayang, Juan-ku tercinta.
Pesan
untuk meneguhkan dan meyakinkan hatiku sendiri. Tapi hingga esok, perasaan
tidak enak itu masih bercokol di pikiran. Sepanjang setengah hari itu aku terus
memikirkannya. Siangnya kuputuskan untuk mengirimkan email pada Juan.
From:
Me
To:
Juan
aku bermimpi abang dan
kakak sudah rujuk kembali.
From:
Juan
To:
Me
Memang dah rujuk
Mendapati
balasan seperti itu dari Juan membuatku gemetar. Mataku berkaca-kaca. Hatiku
terasa panas. Jantungku berdegub kencang sekali. Aku mengerjap-ngerjap agar air
mataku tidak tumpah. Jangan sampai aku menangis, karena aku sedang bersama ibu.
Badanku
terasa lemas. Aku bahkan tak sanggup mengetik, hanya menatap layar laptop
dengan nanar. Aku marah, ya, marah, karena Juan telah mempermainkan aku. Aku merasa
nasibku sangat malang. Seandainya ada dia di depanku, barangkali aku sudah
berteriak. Sudah kupukul dia berkali-kali untuk melampiaskan kemarahanku.
Sejenak kemudian aku menjadi lebih tenang. Aku berfikir rasional, apa yang membuatku marah padanya. Bukankah ia tak pernah memberiku harapan. Ia tak pernah menjanjikan apapun. Dan, bukankah aku selalu mendoakan kebahagiaan untuknya? Lalu mengapa aku harus bersedih atau marah dengan membaiknya hubungan mereka? Bahkan ia tak pernah merenggut apapun dariku, sehingga aku tak perlu memintanya bertanggung jawab atas hubungan ini. Ya, aku tak perlu protes atau marah.
Sejenak kemudian aku menjadi lebih tenang. Aku berfikir rasional, apa yang membuatku marah padanya. Bukankah ia tak pernah memberiku harapan. Ia tak pernah menjanjikan apapun. Dan, bukankah aku selalu mendoakan kebahagiaan untuknya? Lalu mengapa aku harus bersedih atau marah dengan membaiknya hubungan mereka? Bahkan ia tak pernah merenggut apapun dariku, sehingga aku tak perlu memintanya bertanggung jawab atas hubungan ini. Ya, aku tak perlu protes atau marah.
From:
Me
To:
Juan
Oh ya? Kok nggak
bilang-bilang?
From:
Juan
To:
Me
Tiba-tiba tapi masih
ribut, anak-anak protes
From:
Me
To:
Juan
Kalau begitu hubungan
kita tidak perlu dipertahankan
From:
Juan
To:
Me
Dulu juga ada istri kita
masih berhubungan
From:
Me
To:
Juan
Iya, tapi tidak mungkin
selamanya begini, aku juga ingin menikah seperti orang lain, punya keluarga,
kalau abang punya istri bagaimana bisa menikah sama orang lain.
Sekarang jadi jelas
mengapa abang tidak peduli padaku sejak Februari lalu.
From:
Juan
To:
Me
Abang cuma berdiam
From:
Me
To:
Juan
Abang selalu punya
alasan untuk membuatku terluka
From:
Juan
To:
Me
Kok begitu?
From:
Me
To:
Juan
Apalagi yang bisa
kukatakan?
Tragis sekali kisah
cintaku, you make me cry
From:
Juan
To:
Me
Pusing masih ribut juga
From:
Me
To:
Juan
Aku senang abang dan
kakak bisa rujuk dan melanjutkan hidup sebagai keluarga lagi, tapi jauh di
lubuk hatiku, aku sangat menginginkanmu. Aku nggak pernah punya kesempatan
untuk mengatakan semuanya pada abang, komunikasi kita cuma via email, tidak
pernah bertemu, aku menderita dan tersiksa, kesepian, terluka, tapi tidak ada
yang bisa kulakukan, kesal tapi nggak tau mau marah pada siapa, kalau memang
kita nggak bisa hidup bersama kenapa nggak kita sudahi saja semuanya, mungkin
abang memang tidak mengharapkanku, katakan saja, tidak apa-apa.
Tidak perlu memikirkan
tentang sakit yang aku rasakan, aku sudah terbiasa dengan itu, bahkan sekarang
saat aku sangat ingin menangis tapi tidak bisa kulakukan. Tidak ada yang bisa
mengerti bagaimana sakit dan nyerinya hati ini.
From:
Juan
To:
Me
Abang ingin berdiam
sejenak, kondisi kesehatan abang tidak baik
From:
Me
To:
Juan
Diamlah hingga
berjenak-jenak, tak ada gunanya lagi membicarakan tentang kita.
Itulah
akhir dari percakapan kami dua hari yang lalu. Aku sudah sangat lelah. Sudah
tak sanggup lagi menyusun hati yang hancur berkeping-keping. Tak sanggup lagi
membuang air mata. Tak sanggup lagi walau sekadar untuk menghibur diriku
sendiri. Aku sudah memutuskan, aku tak ingin lagi menambah luka yang menganga. Jika
cinta hanya membuatku sakit, bukankah sebaiknya aku tak memiliki cinta? Aku ingin
seperti karang, kokoh dan teguh di dalam kesendiriannya. Yang tak pernah peduli
pada rayuan ombak dan gelombang.
Hari
telah sempurna gelap. Sama seperti dengan bergantinya waktu, aku ingin semua
tentangnya berubah menjadi gelap. Hingga aku tak mampu lagi melihatnya, walau
secuil bayang wajahnya.[]
Seperti diceritakan I kepada saya
Kisah yang rumit. Mencintai tapi tidak bisa memiliki. Karakter tokohnya sangat kuat sampai terbawa emosi :)
BalasHapusThanks sudah berkunjung dan meninggalkan jejak di sini :-), jika mudah tentu bukan cinta namanya kan?
HapusNice kak, tapi kurang dapat 'perselingkuhan perasaannya'.
BalasHapusNice kak, tapi kurang dapat 'perselingkuhan perasaannya'.
BalasHapusHahaha....ini tentang hal yang berbeda
HapusAsyik dan mengalir..
BalasHapusterimakasih Bang Momo sudah menyempatkan mampir dan membaca
HapusWow... Ternyata api yg di"main"kan dari dulu belum juga padam hingga saat ini..
BalasHapusdear Anonim, seperti tajuk lagunya Sandhi Sandoro, tak pernah padam :-)
HapusMakasih
BalasHapussama-sama Mas
HapusGa perlu menanti yg tdk pasti, apalagi jalannya berduri.
BalasHapusWaktu terus berlari sambil menghadiusiaahi kita tambahan usiatambahan.
Semoga Allah SWT berikan yg terbaik menurut Nya, bukan terbaik menurut ihan sunrise
Hiks
BalasHapus