“Jangan pernah merasa terpuruk, meski di saat kau merindukan butir-butir embun di pagi hari, yang kau dapatkan justru uap dari air mendidih ~
Perempuan yang saya kenal itu, bisa jadi satu di antara banyak
perempuan di dunia ini yang benar-benar berharap bahwa pernikahan adalah sumber kebahagiaan.
Karena itulah dia menikah, hampir sepuluh tahun yang lalu. Dan saya turut
menyaksikannya ketika itu.
Saya belum lupa bagaimana sepasang matanya yang indah menatap wajah
suaminya manakala fotografer akan membidik mereka. Ya, sepasang pengantin baru
dalam balutan baju pengantin. Tatapan itu sungguh membuat saya iri. Bagai kelopak mawar yang merekah menebarkan
aroma semerbak, penuh binar, kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.
Meski cukup mengenalnya tapi kami jarang bertemu. Belum tentu setahun
sekali. Pun begitu ada banyak hal yang saya ketahui tentangnya. Seperti hubungan mereka yang tidak mendapat
restu dari orang tua si perempuan. Hal itu membuat resepsi pernikahan mereka
terpaksa digelar di rumah neneknya. Dan pamannya yang menjadi wali nikah. Kekuatan cintalah
yang membuat mereka tetap bersatu. Lagi-lagi saya iri, sebab saya bel
um tentu berani melakukan hal senekat itu.
Pria itu berstatus duda. Itulah yang membuat ayahnya tidak setuju.
Saya, atau beberapa orang yang tak mengetahui detil ceritanya barangkali akan
bertanya-tanya. Apa yang salah dengan duda? Ya, apa yang salah dengan duda? Bukankah duda juga manusia?
Belakangan saya mengetahui, ‘salahnya’ karena si pria itu ternyata
tidak bercerai secara resmi. Tidak ada surat cerai yang dikeluarkan lembaga terkait yang menjadi pegangan perempuan itu. Satu-satu yang menjadi pegangannya
hanyalah ucapan si lelaki itu. Tapi bisakah ucapan yang tak berwujud itu bisa
menjadi pegangan yang memiliki kekuatan di mata hukum kelak?
Jawabannya tentu tidak. Mungkin karena itulah perempuan itu tak pernah
mengeluhkan apa yang belakangan menimpanya. Tanpa sepengetahuannya, diam-diam
si pria rujuk dengan istri pertamanya. Anak pertama mereka lahir di waktu yang
hampir bersamaan dengan anak dari istri pertama pria itu. Cerita ini saya
ketahui bertahun-tahun setelah seremoni pernikahan mereka. Bahkan setelah anak
kedua mereka lahir dan tumbuh besar.
Dan beberapa bulan terakhir saya seolah mendapat ‘konfirmasi’ dari
semua cerita yang saya dengar selentingan itu. Suatu ketika saya bertemu dengan
perempuan itu, tidak lama, tapi kami sempat berbincang-bincang. Matanya
terlihat redup, wajahnya mengguratkan kelelahan batin. Senyum yang ia berikan
tampak berat, nyaris terpaksa.
Perempuan itu bercerita jika suaminya hampir tak pernah pulang lagi ke
rumah. “Paling sesekali untuk mengantar pakaian kotor saja,” katanya lirih
dengan segaris senyum yang seolah meminta saya untuk memaklumi.
“Kamu masih mau mencuci bajunya? Kalau saya ogah!” saya langsung terbawa
emosi.
“Entahlah,” jawabnya pasrah. “Sekarang saya tidak mengharapkan apa-apa
lagi, kalaupun dia pulang kami sudah tidak tidur seranjang. Dia tidur bersama
anak-anak, saya tidur di kamar lain, untuk menenangkan hati saya banyak membaca
Alquran saja.”
Sikap suaminya sekarang berubah total. Selain abai pada dirinya juga
abai pada sepasang buah hati mereka. Saban malam ia menahan sesak di dada
manakala putra-putrinya menayakan di mana ayahnya. Mengapa ayahnya hampir tak
pernah pulang. Perempuan itu tak bisa menjawab, selain air matanya yang
mengapung di pelupuk mata. Ia harus berkedip lebih banyak agar air mata itu
tidak jatuh. Atau diam lebih banyak, agar suara sengaunya karena menahan tangis
tidak pecah.
Dulu, suaminya seorang pria yang sangat perhatian. Bahkan pada semua
anggota keluarganya. Tapi itu dulu,
sebelum akhirnya berubah total sejak beberapa tahun terakhir, bahkan ia hampir
tak mengenali dirinya sendiri.
“Keluarga bilang kalau dia diguna-gunai oleh mantan istrinya hingga
akhirnya bersedia rujuk. Wanita itu marah saat tahu mantan suaminya akan
menikah lagi. Aku.... antara percaya dan tidak, aku tidak terlalu mempercayai
hal-hal mistis seperti itu...”
Soal hal-hal mistis itu, beberapa keluarganya memang pernah
menceritakan. Bahkan neneknya sendiri pernah menyinggung soal ini.
Parahnya lagi kata sang nenek, bukan hanya suaminya saja yang diguna-gunai,
tapi si perempuan itu juga. “Dia dibuat supaya merasa jijik pada suaminya, jadi
kalau suaminya pulang ke rumahnya dia menjadi acuh. Pikiran suaminya sudah
dikuasai setan.” Begitu neneknya pernah bercerita dengan emosi yang meletup-letup. Meski begitu si perempuan tak pernah mencoba untuk 'berobat'.
Suatu hari, kepada kerabatnya perempuan itu pernah menumpahkan
uneg-unegnya. “Apakah harus saya ceritakan semua pada anak-anak tentang
ayahnya? Tapi saya tidak tega, tapi si sulung juga mulai besar, rasanya biar
saja dia tahu yang sebenarnya.”
Baru-baru ini saya kembali bertemu dengannya, ia datang bersama kedua
buah hatinya.
“Saya baru bertemu ayahnya anak-anak karena suatu urusan, sekarang saya
tidak akan kesal lagi, saya tidak akan menunjukkan kemarahan dan rasa sakit
hati saya, walaupun begitu saya tidak akan memintanya untuk pulang. Dengan
begini minimal ia tetap memberikan uang belanja,” ujarnya dengan suara riang.
Saya cuma bisa termangu. Tidak ada sepatah katapun yang saya lontarkan
untuk merespons ucapannya. Hanya saja di dalam hati saya membatin, betapa
perempuan adalah makhluk paling tak terjabarkan.[]
jadi ini salah siapa? salah cinta? atau salah rangga yang tak tahan jauh dari cinta?
BalasHapusatau salah duda? atau salah poligami?
ah iya.. ini salah purnama
#halah
hahahahha bukan salah bang Yudi yang terpenting
Hapuscampur aduk perasaan bacanya >.<
BalasHapusapalagi si tokoh yang mengalaminya ya Mir?
HapusIdem sama mira. Ini gambaran nyata, apa sebab perlu kedepankan logika dan akal sehat dibanding nalar cinta saja.
BalasHapusTak ingin menyalahkan. Semoga diberi jalan agar hidupnya jadi lebih baik.
Bang Fadhil, ada kalanya kita tak bisa bilang apa-apa mana kala takdir berkata lain,
HapusNo komen 😀
BalasHapuskomen dong Ubai, jangan no melulu :-D
Hapus