“Perlukah menangisi kepergianmu yang ingin ‘menjauh’ dariku? Selamat jalan Z sayang... selamat jalan... aku akan terus berpuisi untukmu... ya.... hanya untukmu...”
Sudah kuputuskan untuk tidak menuliskan apapun
lagi tentangmu. Tapi aku gagal setelah
berhari-hari mencobanya. Dan aku akan
terus mencobanya. Sampai kapanpun.
Jantungku seperti mau meledak manakala setiap
ingatanku melompat pada semua kenangan yang pernah ada. Hatiku terasa hancur
berkeping-keping, saat menyadari semuanya sudah dengan cara seperti ini. Dalam
hening yang panjang, dalam diam yang bisu, tanpa sempat mengatakan selamat
tinggal. Semuanya serba tiba-tiba. Tak
ada tanda-tanda.
Aku akan mengubur semua kenangan ini,
bersamamu yang telah terkubur oleh waktu. Aku akan menghapus semua tentangmu,
seperti angin menghilangkan jejak kaki di pasir pantai. Aku akan mengikis semua
cerita yang pernah kau kisahkan hingga bekasnya tak terbentuk lagi. Dan kaupun tahu semua itu akan membutuhkan
waktu yang teramat sangat lama. Ya, kita hanya perlu satu detik untuk saling
jatuh cinta, tapi berapa banyak waktu yang akan kita habiskan agar bisa
melupakan?
Bagaimana aku akan melupakanmu, jika aku tetap
menulis. Dan bagaimana bisa aku berhenti menulis jika aku ingin tetap hidup.
Dan kaupun tahu, sudah bertahun-tahun lalu kau bereinkarnasi menjadi ruh dari
setiap narasi yang lahir dari benakku. Sesungguhnya kaulah tulisanku. Jika aku terus menulis bukankah itu artinya kau
akan terus hidup di ingatanku? Aku tak ingin kau terus ‘hidup’ hanya untuk
melukai perasaanku. Aku tak ingin kau mengiris-iris hatiku dengan cara yang tak
kausadari. Aku tak ingin, bahkan setelah kau tiada, kau masih bisa membuat
hatiku bergerimis. Aku tak ingin duniaku menjadi sendu dan muram karenamu.
Tapi aku akan terus melakukannya, aku akan
tetap menulis, hingga aku tak bisa berpikir lagi, hingga tanganku tak kuasa
menekan tuts-tuts laptop mungilku lagi.
Ya, aku akan terus menulis karena hanya dengan itu lukaku bisa
tersembuhkan.
Bagiku kau serupa aroma uap kopi yang tak
pernah bosan untuk kusesap. Yang sudah setahun ini tak pernah kusentuh lagi.
Aku khawatir tak akan terlepas dari candumu yang memabukkan. Maka aku
meninggalkannya perlahan-lahan. Setidaknya itu cukup membantu saat kau
meninggalkanku dengan cara tak terduga seperti ini.
Ah, memangnya siapa aku ini bisa menduga-duga
rencana Tuhan? Jika Tuhan ingin mengambilmu dariku, aku bisa apa? Aku tak akan
protes pada Tuhan, aku tak akan marah,
aku tak akan menangis. Apa perlu menangisi kepergianmu, Z? Apa aku perlu
mengatakan kau jahat karena telah melupakan apa yang pernah kau ucapkan? Tidak,
aku tidak akan melakukannya. Aku akan membiarkanmu tenang di duniamu sendiri.
Ya, dunia kita selalu berbeda bukan?
Aku bahkan tak menyadari kau telah tiada. Aku
masih menunggu-nunggu dengan cemas email darimu, atau sepotong pesan pendek
yang apa adanya. Aku mengirimimu pesan-pesan, tapi tidak ada yang berbalas,
ah... aku jadi lupa, jika tidak ada lagi yang menekan tombol-tombol gadget
milikmu, lalu siapa yang akan membalasnya untukku, kan?
Aku menjadi lebih sering membuka arsip-arsip
lama, membaca apa saja yang berkaitan denganmu. Semua yang manis-manis kini
menjadi pahit. Padahal belum genap sebulan kau pergi. Aku merasa beruntung
karena bisa menyusun kata, hingga aku tak perlu bermuram durja pada diriku
sendiri.
Bagiku namamu bukan sekadar sebuah inisial.
Tapi adalah inspirasi. Bagai embun yang dirindukan dedaunan di pagi hari. Aku masih mengingat saat kau menemuiku di
koridor rumah sakit setahun lalu. Lidahku kelu. Ototku menjadi kaku. Tak mampu
menjawab apapun yang kau katakan. Kupikir kau akan selalu ada untukku,
memberiku kekuatan seperti hari itu, terus mendukungku tanpa perlu
mempersoalkan tentang jarak dan waktu.
Rupanya aku salah. Kau bahkan lebih dulu pergi dari yang aku harapkan.
Aku telah kehilanganmu, teman bertengkarku.
Kita takluk pada takdir. Atau hanya aku? Aku tak pernah tahu jawabanmu, karena
kau keburu pergi.
Selamat
jalan....
Pergilah
ke mana angin menerbangkan anai-anai
Mungkin
di sana kau akan menemui makna dari kehilangan
Bergeraklah
ke mana air menghanyutkan daun-daun
Mungkin
di sana kau akan menemui makna sebuah pertemuan
Bergegaslah
ke mana angin menerbangkan pasir-pasir
Mungkin
di sana kau akan menemui makna sebuah keikhlasan
Selamat
jalan....
Saat
tersesat kau hanya perlu memutuskan;
melanjutkan
atau kembali pulang
Saat berlayar
kau hanya mempunyai kemungkinan;
sampai
ke tujuan atau karam bersama ombak yang
menggulung
Saat
mendaki kau hanya punya pilihan;
berpegangan
erat atau kau akan tergelincir
Selamat
jalan....
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)