ilustrasi kari daging @iffinbiru.blogspot.com
Serupa aroma kuah daging yang mengepul, begitulah aroma Ramadan mulai menggoda, yang selalu dinanti, yang selalu dirindukan, yang selalu didamba, dan sebelum Ramadan hadir izinkan saya menghaturkan maaf atas segala khilaf dan alpa, agar saya bisa menjemput Ramadan dengan lega ~ Ihan Sunrise
+++
Hmm... aroma Ramadan
mulai mengusik indera. Baunya, rasa-rasanya seperti uap kuah daging yang
dimasak Ibu di hari meugang. Ya, hari meugang yang
selalu kutunggu-tunggu. Hari paling istimewa di dalam hidupku. Dan aku yakin
istimewa pula bagi masyarakat Aceh pada umumya.
Meugang atau makmeugang adalah
istilah khusus yang dipakai masyarakat Aceh untuk menyambut datangnya bulan
suci Ramadan. Makmeugang ini ditandai
dengan 'pesta daging' sehari atau dua hari sebelum puasa dimulai. Disebut juga sebagai meugang sa atau meugang dua. Di Aceh
tradisi ini sudah terjadi turun menurun sejak zaman Kerajaan Aceh dulu. Tak
berlebihan jika kukatakan terasa hambar menyambut puasa tanpa tradisi meugang ini. Tradisi meugang semacam simbol suka cita umat
Islam di Aceh dalam menyambut bulan suci Ramadan.
Secara teknis meugang dilakukan
tiga kali dalam setahun. Yaitu menjelang Ramadan, menjelang hari raya Idul
Fitri dan menjelang hari raya Idul Adha. Inilah momen paling ditunggu-tunggu
oleh masyarakat Aceh selain hari besar Islam.
Mudah sekali mengenali
sedang berlangsungnya meugang di
Aceh. Pasalnya pasar akan tumpah ruah dengan manusia yang turun dari berbagai
pelosok. Tujuan utama mereka utamanya adalah pasar daging, pasar ikan dan pasar
sayur. Kita akan melihat orang tua muda berdesakan untuk membeli daging. Entah
itu daging sapi, daging kerbau atau unggas, juga ikan basah sebagai pelengkap
belanjaan. Umumnya memang kaum pria, meski tak sedikit juga kaum perempuan yang
turun ke pasar untuk berbelanja daging.
Lorong-lorong pasar yang
dilalui seolah menebarkan aroma daging yang segar. Juga aura kegembiraan dari
wajah-wajah orang yang lalu-lalang. Alkhususan para pedagang yang kebanjiran pembeli.
Di hari meugang setiap
rumah yang kita lewati otomatis akan menebarkan aroma kuah daging yang dimasak
dengan berbagai macam rupa. Seperti asam
keueng, masak puteh, masak mirah, semur, sop, rendang, atau
daging goreng bercampur bawang dan cabai, seperti yang tak pernah absen di meja
makan kami. Setiap orang yang berpapasan di jalan pasti akan menyapa dengan kalimat seumpama, "peu ka masak sie?" atau "peu ka lheuh bu meugang?"
+++
Menceritakan meugang seketika membuatku teringat pada
almarhum ayah. Dulu ketika ayah masih ada, meugang
menjadi hari yang teramat istimewa baginya. Kami selalu bermakmeugang dua hari berturut-turut.
Pagi-pagi sekali ayah
sudah ke pasar untuk membeli daging. Bukan cuma ‘dagingnya’ saja, tapi ayah
juga membeli paru, hati dan tulang belulang dalam jumlah yang banyak. Ayah tak
pernah irit soal ini. Prinsipnya, tradisi setahun sekali untuk apa
dihemat-hemat. Daging yang tak habis diolah di hari meugang akan disimpan di kulkas atau direbus untuk diolah selama puasa nanti.
Di rumah Ibu mulai
menyiapkan bumbu yang terdiri dari rempah-rempah tradisional khas Aceh seperti
kunyit, bawang merah, cabai kering atau capli
kleng, bawang putih, kelapa gongseng, ketumbar, pala, merica, kemiri,
jintan, biji ketapang, cabai rawit dan aneka rempah lainnya. Tak ketinggalan
pula daun-daunan seperti daun kunyit, daun pandan, daun salam koja atau ôn teumurui, daun salam, lengkuas, yang
semuanya digunakan untuk membaui olahan daging. Masih belum cukup, telah
tersedia juga rempah tambahan seperti bunga cengkeh, kapulaga, kulit kayu
manis. Ya, masakan Aceh memang kaya rempah seperti masakan masyarakat di Asia
Selatan.
Aku –yang biasanya baru
mudik sehari sebelum meugang- tak
hanya memangku tangan. Aku mengukur kelapa, memeras santan hingga menyiapkan
tungku untuk merebus tulang. Seisi rumah
tak ada yang berdiam diri, setiap anggota keluarga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Kalau yang perempuannya lebih banyak berkutat di dapur, yang prianya biasanya
mengerjakan tugas-tugas kasar, seperti mengupas kelapa, menyiapkan kayu bakar
atau sekadar ngemandor.
Begitu ayah pulang
dengan sekarung tulang belulang dan setumpuk daging, ibu sudah siap dengan
bumbu yang sudah dihaluskan dengan batu giling. Ayah tidak suka bumbu yang
dihaluskan dengan mesin. Bersigap aku dan Ibu membersihkan daging-daging itu.
Kami saling membagi tugas. Aku biasanya sering kebagian tugas membuat sop.
Ibu dengan cekatan
memotong-motong daging, mencucinya hingga bersih, menggarami dan memberi
perasan jeruk nipis agar amisnya hilang. Setelah itu dibumbui dengan rempah
yang sudah dihaluskan tadi. Lalu dijerang di atas api. Olahan pertama yang
dibuat ibu adalah asam keueng
kesukaan ayah. Racikannya ini tidak menggunakan santan dengan rasa asam dan
pedas yang dominan.
Saat daging itu
mendidih…hmm…aroma rempahnya telah berbaur dengan aroma daging yang lezat.
Sungguh tak kuasa untuk menahannya. Mengecoh perut dan tetiba menjadi seperti
orang kelaparan yang sudah seminggu belum melihat makanan. Sementara menunggu
daging matang, kita menelan air liur saja dulu.
Begitu daging asam keueng matang, ayah langsung
mengambil piring, menyendok nasi dan melahapnya dengan nikmat. Kami sekeluarga
biasanya makan rounde pertama, alias
makan sebelum waktu makan siang tiba.
Di hari meugang ini pula ayah memanggil semua
rekan dagangnya. Mereka umumnya anak-anak muda yang masih bebas kelayapan di hari meugang. Beberapa di antaranya memang sudah berkeluarga dan datang
karena urusan dagang. Maka, ramailah rumah kami dengan orang-orang yang melahap
kenduri meugang dengan penuh suka
cita. Rumah kami dipenui wajah-wajah dengan luapan kegembiraan, mereka
bercengkerama dengan piring di tangan tanpa perlu merasa sungkan. Itulah potret
rumah kami yang selalu ramai.
Bertahun-tahun setelah
ayah tiada, tradisi itu tetap kami teruskan. Meskipun orang-orang yang makan khanduri meugang tiap tahunnya terus
berbeda. Ya, karena orang-orang yang bekerja dengan keluarga kami terus
berganti wajah. Di hari itu aku dan ibu –sambil memasak- juga turut
bernostalgia. Mengenang meugang-meugang
yang telah lalu ketika ayah masih ada. Kami mengumpulkan semua kenangan masa lalu.
Terkadang dengan mata yang berkaca-kaca dan menyembunyikan kesedihan.
Setiap hari meugang tiba, rasa-rasanya aku masih
melihat ayah berdiri di pintu tengah sambil menyilangkan tangan atau kaki. Lalu
ayah bertanya “peu ka masak?” atau “peu kajeut ta pajoh?”. Ah ayah…
Dan sejak sewindu lalu
kami terpaksa ‘biasa’ merayakan meugang
tanpa ayah. Ada yang berubah memang. Ada yang kurang memang. Ada yang tak
lengkap memang. Tapi kami tetap bisa menikmati lezatnya daging meugang. Tapi entah bagaimana dengan meugang lusa nanti, karena untuk pertama
kalinya setelah ayah tiada kami terpaksa tidak bermakmeugang di rumah. Dengan kondisi tidak semua anggota
keluargaku bisa berkumpul karena kondisi yang tak sanggup kuceritakan. Lusa, entah
airmata siapa yang akan tumpah.[]
Di rumah lia, Ayah juga yang jadi raja kalau meugang. Walaupun kita gak terlalu gemar makan daging apalagi yang di sudah dipanaskan berkali-kali, tapi Ayah selalu beli daging dalam jumlah besar dan dimasak dengan berbagai resep. Lia yang liatnya udah keliyengan sendiri. Tapi karena ini tradisi, rasanya kok jahat juga kalau dihapus dari keluarga. Ntar kita semua malah merasa kehilangan. Hehe
BalasHapussuka cita menyambut tradisi meugang sebenarnya bukan karena dagingnya, karena bagi masyarakat Aceh makan daging itu hal yang biasa, tapi kebersamaan yang tercipta, anak-anak yang sudah menikah biasanya akan pulang mengunjungi orang tuanya dan makan bersama (yang jaraknya terjangkau), saling mengunjungi dan mencicipi hasil olahan di hari meugang, terasa hangat.... keluarga kami juga bukan pencinta daging berat, dan daging itu enaknya memang disantap sekali setelah masak, kalau udah dipanasin bener kayak kak Lia bilang, udah nggk asyik untuk disantap karena kolesterol tinggi hehehe
Hapus