"Jangan Menyerah!"
"Setiap kali Anda ingin menyerah pikirkan orang yang Anda cintai!"
***
Tiba-tiba saya terbayang wajah ibu. Terngiang kembali permintaannya yang segera ingin pulang ke rumah. Sembilan bulan terakhir ini ibu tinggal bersama nenek, ditambah tiga bulan sebelumnya di rumah sakit, sudah setahun lebih ibu meninggalkan rumah kami di Aceh Timur sana.
"Ibu ingin sekali bisa pulang lagi ke rumah, rumah itu dibangun ayahmu dulu dengan keringatnya, sayang kalau ditinggalkan begitu saja apalagi kalau dijual...." begitu selalu ibu berkata setiap kali kami punya kesempatan mengobrol banyak. Kemudian suaranya menggantung begitu saja. Saya belum berani memastikan kapan ibu bisa pulang ke rumah.
***
"Anda tahu kenapa orang berperang? Bukan karena mereka membenci yang di 'depan' sana, tetapi karena mereka sayang pada orang yang di 'belakang' sana."
Suara serak pria yang sedang berbicara di depan membuat lamunan saya buyar. Saya mengerjap-ngerjap, menghilangkan embun yang hampir menetes di pelupuk mata. Belakangan ini setiap kali memikirkan ibu saya mendadak jadi cengeng.
Pria bersuara serak itu namanya Pak Emil, lengkapnya Emil Pane. Saya pertama kali melihatnya di sebuah forum pada 2008 silam. Orangnya sangat energik dan antusias. Itu yang membuat saya tak serta merta melupakannya walau selama beberapa tahun terakhir ini kami tak pernah lagi bertemu. Sampai pada Senin malam, 20 September 2016 pekan lalu, seorang rekan mengajak saya menghadiri sebuah diskusi yang menghadirkan Pak Emil.
Saya datang agak telat, karena harus menghadiri acara lain sebelumnya yang juga dibuat oleh teman-teman. Waktu itu juga sedang hujan, jadinya saya nggak berani terlalu mengebut. Takut tergelincir, alih-alih sampai ke lokasi acara malah ke IGD nanti.
Sampai di tekape sekitar pukul sembilan malam, saya tanya ke panitia di meja registrasi apakah acaranya sudah dimulai lama. Panitianya jawab acaranya baru saja dimulai. Syukurlah. Saya segera melepas jaket yang sudah basah dan terpaksa menahan gigil karena ruangannya berpendingin.
Karena datang telat saya kedapatan kursi paling belakang, tapi tidak apa-apa pikir saya. Toh, suara Pak Emil terdengar cukup jelas. Pesertanya juga tidak terlalu ramai, hanya berkisar belasan saja seingat saya.
Benar kata panitianya tadi, acaranya memang baru dimulai. Pak Emil kelihatannya sedang memberikan semacam prolog, pengantar, atau sekapur sirih. Saya mulai menyimak. Mengeluarkan pulpen dan buku catatan. Kali-kali ada poin-poin penting yang bisa dicatat.
Tak lama setelah saya duduk Pak Emil langsung melontarkan sebuah pertanyaan. Bukan, pertanyaan itu bukan untuk saya yang terlambat datang, melainkan untuk seluruh audiens. Tapi pertanyaan itu bukan untuk dijawab, melainkan untuk direnungkan.
"Masihkah aku bernyali?"
Suaranya lantang, tapi cukup easy listening karena beliau punya suara yang serak-serak basah. Setidaknya tak bisa disimpulkan itu sebagai 'lengkingan' kemarahan. Logat Batak-nya mulai keluar, batin saya.
Pertanyaan itu seakan menyelinap jauh hingga ke sanubari saya. Sesaat membuat saya tercenung dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu. "Masihkah aku bernyali?"
Ya, apa yang terjadi selama setahun ini rasanya hampir membuat nyali saya ciut. Pelangi rasanya seperti telah berubah warna dari merah, kuning, hijau menjadi cokelat, abu-abu, dan hitam. Gelap. Saya merasakan penat yang luar biasa. Energi saya terkuras habis.
Tetapi saya harus terus tertawa, tersenyum, selalu riang gembira, terutama ketika ada di depan ibu. Bagi ibu saat ini dunia tiba-tiba berubah menjadi sangat kecil, sempit, pengap. Sayalah yang menjadi secuil harapannya. Saya dan ibu seumpama kalung yang jika sedikit saja pengaitnya terlepas, kami akan kehilangan hal yang sangat berharga dalam hidup kami.
Kadang-kadang saya merasa nyaris seperti ikan yang terlempar dari aquarium. Tapi saya sadar, berkat pertolongan Allah saya bisa 'masuk' kembali dalam aquarium.
Aquarium itu adalah teman-teman dan lingkungan yang positif. Setiap kali saya bertemu dan berbincang dengan mereka rasanya saya seperti menemukan secawan air yang menyejukkan. Saya seperti mendapatkan oksigen. Usai bertemu mereka rasanya seperti ada beban yang berkurang, walau tidak ada masalah yang terselesaikan. Saya plong.
Dan pertemuan tak terduga dengan Pak Emil ini - setelah bertahun-tahun kami tak pernah bertatap muka - rasanya seperti menemukan aquarium raksasa. Saya percaya ini bukanlah kebetulan. Saya selalu berdoa agar Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang positif.
Setelah sekian saat saya akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan tadi; ya, saya masih punya nyali, karena itulah saya berada di ruangan ini. Saya masih punya pengharapan, dan itu akan membuat saya terus berjuang. Saya tidak akan menyerah!
***
Pekan lalu saya bersyukur bisa hadir di acara yang diisi oleh Pak Emil. Kali ini tema dan topiknya berbeda. Lebih spesifik. Lebih kurang sekitar satu jam lebih saya menyimak apa yang ia sampaikan. Dari semua yang ia paparkan, hanya yang di ujung saja yang begitu membekas di benak saya.
Kepada audiens Pak Emil hanya minta waktu dua menit untuk menjelaskan. Ia menarik white board, membuka spidol, kemudian membuat lingkaran besar, lalu membuat lingkaran lagi di dalamnya, lalu membuat lingkaran yang lebih kecil lagi di lingkaran kedua tadi.
Lingkaran pertama ia sebut sebagai apa, lingkaran kedua ia sebut sebagai bagaimana dan lingkaran ketiga sebagai mengapa.
"Orang lain mungkin bisa membantu Anda menjelaskan apa itu 'apa' dan apa itu 'bagaimana', tapi yang tahu 'why-nya' itu cuma Anda sendiri," katanya.
Ya, hanya diri kita sendiri yang tahu 'mengapa' kita 'harus' melakukan sesuatu.
Sekitar pukul sepuluh setelah acara selesai saya bergegas ke luar ruangan. Di pintu keluar Pak Emil 'mencegat' saya sekaligus berpamitan kalau pagi esoknya ia harus kembali ke Medan. Di ujung pertemuan yang tak sampai satu menit itu ia kembali mengingatkan saya agar tidak menyerah. Seketika saya langsung terbayang wajah ibu.[]
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)