SAMPAI detik ini saya belum menemukan di mana letak 'kenikmatan' menyaksikan pertandingan sepak bola. Sekalipun pertandingan itu sekelas World Cup yang paling ditunggu-tunggu umat manusia sejagat.
Ya, saya kerap terheran-heran saat melihat orang-orang di sekeliling saya begitu antusias menunggu jadwal pertandingan sepak bola. Apalagi jika yang akan bertanding merupakan klub-klub sepak bola tersohor. Tentunya dengan pemain yang sudah menjadi bintang kelas dunia. Bukan lagi sekelas 'tarkam'.
Saya juga tak habis pikir saat seorang remaja perempuan tiba-tiba merajuk. Hasratnya menonton pertandingan antara Indonesia vs Thailand di Piala AFF gagal total, gara-gara adik lelakinya ingin menonton film The Edge di chanel yang berbeda.
Kini bola bukan hanya milik laki-laki, tapi juga milik kaum perempuan. Sayangnya, saya belum bisa menyukai bola seperti saya menyukai senyumnya Neymar yang manis.
Bagi saya, yang menarik justru setelah pertandingan selesai. Menarik membaca berbagai status di time line media sosial. Menarik mencermati bagaimana seorang penggemar meluapkan kegembiraan ketika tim jagoannya menang. Pun sebaliknya, letupan emosi tersurat dengan jelas lewat umpatan-umpatan manakala tim yang didukungnya dengan setengah hati kalah dengan 'cantik'.