@Ihan Sunrise |
Seberapa sering kita harus melempar batu ke danau, hanya untuk menikmati riaknya yang sesaat?
Dan berapa banyak batu yang harus tenggelam untuk itu?
Tidak, maksudku, mengapa kita harus memaksa agar danau terus ber(ter)iak, sementara dia tidak ditakdikan bergelombang.Kita bukan samudera yang memiliki ombak dan mampu mengeluarkan gemuruh. Kita hanyalah sunyi, sunyi, sunyi, bagai danau di perut gua karang. Tak tersentuh!
Zenja, aku tertidur usai menuliskan kalimat-kalimat itu semalam. Tidur dengan membawa rasa sakit kepala yang menusuk-nusuk. Kurasakan seperti ada dua tiga paku yang menancap-nancap di ubun-ubun dan puncak kepala. Rasanya ingin kucabut satu persatu rambutku untuk mengurai rasa sakit.
Sesaat sebelum mataku benar-benar terpejam, ada sesuatu yang mengalir dan mengapung di pelupuk mata. Tak bisa kubedakan apa itu keluar karena rasa sakit yang menancap, atau karena mengingatmu. Tapi syukurlah, aku merasa lebih baik saat bangun pagi tadi.
Berwarna apa langit di atasmu saat ini, Zenja? Samakah dengan langit yang kujunjung di atas sini? Matahari sangat garang, melebihi garangnya lidah api yang keluar dari mancis milik pria perokok. Atau teduh, seteduh matamu saat memandangiku. Dan karenanya aku tersipu, malu, lalu membalasnya dengan mencubitmu bertubi-tubi.