Rabu, 15 Februari 2017

Percakapan

@Ihan Sunrise
Seberapa sering kita harus melempar batu ke danau, hanya untuk menikmati riaknya yang sesaat?
Dan berapa banyak batu yang harus tenggelam untuk itu?
Tidak, maksudku, mengapa kita harus memaksa agar danau terus ber(ter)iak, sementara dia tidak ditakdikan bergelombang.Kita bukan samudera yang memiliki ombak dan mampu mengeluarkan gemuruh. Kita hanyalah sunyi, sunyi, sunyi, bagai danau di perut gua karang. Tak tersentuh!

Zenja, aku tertidur usai menuliskan kalimat-kalimat itu semalam. Tidur dengan membawa rasa sakit kepala yang menusuk-nusuk. Kurasakan seperti ada dua tiga paku yang menancap-nancap di ubun-ubun dan puncak kepala. Rasanya ingin kucabut satu persatu rambutku untuk mengurai rasa sakit.

Sesaat sebelum mataku benar-benar terpejam, ada sesuatu yang mengalir dan mengapung di pelupuk mata. Tak bisa kubedakan apa itu keluar karena rasa sakit yang menancap, atau karena mengingatmu. Tapi syukurlah, aku merasa lebih baik saat bangun pagi tadi.

Berwarna apa langit di atasmu saat ini, Zenja? Samakah dengan langit yang kujunjung di atas sini? Matahari sangat garang, melebihi garangnya lidah api yang keluar dari mancis milik pria perokok. Atau teduh, seteduh matamu saat memandangiku. Dan karenanya aku tersipu, malu,  lalu membalasnya dengan mencubitmu bertubi-tubi.

Senin, 13 Februari 2017

Wajah Zenja

Senja di Ujong Pi, Laweung, Muara Tiga, Pidie @+Ihan Sunrise 

Dear Zenja, menyuratkan namamu ternyata tak lebih mudah dari sekadar merahasiakannya. Banyak yang menyuguhiku pertanyaan, apakah Zenja seorang pria? 

Oh, pertanyaan itu dilontarkan hanya karena aku perempuan. Mungkin, jika aku seorang pria mereka akan bertanya; apakah Zenja seorang gadis? 

Buatku, tak penting apakah kau pria atau perempuan. Kau bisa saja salah satunya, atau perpaduan dari keduanya. Buatku, bukan jenis kelaminmu yang penting. Tetapi kenyataan bahwa kau adalah Zenja. 

Kau, Semestaku!



Kawasan pantai di Ulee Lheue Banda Aceh @+Ihan Sunrise 

Tiba-tiba aku teringat pada sebuah catatan yang kau kirimkan untukku, Zenja. Isinya tentang betapa dahsyatnya sepotong senyuman. Tulisan yang kau buat karena terinspirasi dari sikap baik seorang rekan kerjamu. Kau masih ingat kan?

"Aku ingin mempublikasikan tulisan ini, tapi sebelumnya tolong kau periksa," pintamu melalui layanan chatt box.

"Mengapa tidak langsung kau publish saja?"

"Kau tahu kan, aku bukan penulis yang baik hehehe... "

"Baiklah, tunggu sekejap. "

Tak sampai lima menit kemudian aku mengembalikannya untukmu. Kau membalasnya dengan emoticon. Kau kegirangan sekaligus takjub.

"Cepat sekali."

Aku tak menganggap itu sebagai pujian. Tulisan yang kau kirim hanya beberapa paragraf. Aku hanya perlu mengubahnya sedikit, seperti mempertajam konteks tulisan, mengoreksi tanda baca, atau huruf yang kurang dan typo. Jadi, tak terlalu banyak menyita waktuku.

"Sekarang postinglah, kita lihat bagaimana reaksi rekan-rekanmu pada tulisan itu," perintahku padamu.

Beberapa detik kemudian kau mengirimkan tautan untuk tulisanmu itu.

"Aku senang membaca tulisan-tulisanmu, aku selalu mengintip 'rumahmu', kau punya kata-kata yang apik, tidak seperti aku yang berantakan," katamu di lain waktu.

"Itulah satu-satunya modal yang kupunya untuk mencintaimu," jawabku tergelak.

Rabu, 08 Februari 2017

Teh Poci


Saat sedang berkemas pagi tadi, wajahmu tiba-tiba melintas. Itulah kenapa aku berada di tempat ini sekarang, untuk bertemu denganmu.
Saat aku datang kafe ini baru saja buka, aku pelanggan pertamanya hari ini. Kupilih meja di dekat dinding di sebalah kanan pintu masuk, tempat yang sering kita pilih untuk menghabiskan sore bersama.
Lalu kupesan teh poci yang disuguhkan dengan gula batu. Di hadapanku kini, ada sebuah nampan berbahan tanah liat berisikan sebuah ceret dan sepasang cangkir, juga dari bahan tanah liat. Satu cangkir untukku, yang satu lagi untukmu.
Sedetik kemudian, aku mengirimkan pesan untukmu; aku di tempat di mana kita sering menghabiskan waktu bersama. Mari kita ngeteh.
Sengaja kupilih tempat ini, karena tidak terlalu jauh dari tempatmu beraktivitas saban harinya. Jadi, tidak akan ada waktu yang terbuang begitu banyak saat kau akan menemuiku nanti.
Setelah lama menunggu kau membalas singkat; lagi nggak sempat ngeteh, sedang kejar laporan....
Aku membaca pesanmu sambil menghela nafas panjang. Padahal aku sudah menyimpan sekeranjang cerita untuk kuberikan padamu.[]

7 Februari Menjelang siang