Ilustrasi @google |
MENTARI
baru saja pulang. Terburu-buru. Di kejauhan sang waktu berdiri sambil berkacak
pinggang. Seolah berkata; kalau kau tak segera pulang, maka kau akan mendapat
hukuman dari pemilik semesta. Mentari selalu patuh. Tak peduli bagaimanapun
semua makhluk berharap agar ia bertahan lebih lama walau sedetik saja.
Mentari
tak ingin mencuri jatah rembulan. Kekasih yang sudah dipasangkan pemilik
semesta untuk menjadi temannya di dunia ini. Meski tak bisa terbit bersamaan,
baginya justru itu merupakan bentuk ketulusan dan kerelaannya dalam memiliki.
Akupun
beranjak. Menyudahi ritualku menyaksikan seremoni pergantian waktu dari terang
menjadi gelap. Bersamaan dengan rapatnya daun jendela, bulan sudah menyembul di
balik gumpalan awan. Semuanya menjadi senyap. Daun-daun berhenti bergemerisik.
Burung-burung sudah kembali ke sarang.
Dering
telepon mengagetkanku. Kulipat sajadah. Kemudian bangkit meraih smartphone di kasur. Panggilan masuk
dari Julie.
"Ya,
ada apa?"
"Suaramu
lemas sekali. Apa kau sakit, Lila?"
"Tidak.
Aku hanya sedang malas."
"Malas
kenapa?"
"Malas
menerima telepon darimu."
"Oh
Lila manis, kau bisa kuwalat nanti bicara begitu padaku." Julie meringkik
seperti kuda betina yang sedang dilanda asmara.
"Ada
apa Julie. Kenapa magrib-magrib begini sudah menghubungiku, apa kau tidak
salat?"
"Aku
sedang cuti."
"Pantas
saja..."
"Kau
ada acara apa malam ini."
“Tidak
ada. Aku mau tidur saja. Badanku letih,” refleks aku menyentuh tengkuk. Untuk
memastikan kalau aku memang letih.
“Letihmu
tidak akan hilang kalau kau bawa tidur saja, Lila.”
“Jangan
bertele-tele.”
Julie
kembali meringkik. Sahabatku yang satu itu seorang sanguinis sejati. Ia selalu
ceria dan kadang aku iri padanya. Hidupnya seperti tidak pernah ada masalah.
Julie sangat menikmati hidupnya. “Aku ingin mengajakmu minum kopi. Sudah lama
kita tidak minum kopi bersama kan Lila. Tadi siang aku membuat cake, nanti akan kubawa sebagai teman
minum kopi.”
“Mana
sempat kau minum kopi denganku, sejak menikah kau berubah. Bisa kuhitung dengan
jari berapa kali kau mengajakku bertemu,” jawabku pura-pura merajuk.
Julie
sahabat terbaikku di kota ini. Kami berteman sejak masih kuliah. Kami saling
mengunjungi dan berbagi cerita karena sama-sama anak rantau yang kekurangan
uang jajan. Hobinya membuat kue dan membawanya pada takdir yang indah.
Sejak
dua tahun lalu Julie punya toko kue. Ia punya pelanggan dari sejumlah instansi
di ibu kota provinsi ini. Semua itu ia dapatkan berkat hubungan asmaranya
dengan Faiz. Pegawai di sebuah instansi pemerintahan provinsi. Setahun terakhir
mereka meresmikan cintanya sebagai sepasang suami istri. Sejak itu Julie sering
menggodaku karena tak kunjungi mengikuti langkahnya.
“Lila,
kau tahu kan ini akhir tahun. Bang Faiz sibuk dengan pekerjaannya. Kadang-kadang
dia hampir lupa menjemputku di toko.”
“Malang
sekali nasibmu kawan.”
“Ya
begitulah. Tapi kurasa lebih malang lagi sahabatku yang setiap Sabtu malam
harus buru-buru membentangkan kasurnya dengan alasan badannya letih.”
Aku
ingin meninju Julie saat itu juga kalau saja kami tidak sedang berbicara di
telepon.
“Katakan
di mana aku harus menemuimu Julie,” jawabku dengan muka panas.