Minggu, 05 Maret 2017

Lentera

Ilustrasi @id.anawalls.com


Malam sudah terlalu uzur. Harusnya aku sedang terbuai mimpi sekarang. Tapi apa daya, kandungan kafein dalam kopi instan yang kuteguk usai magrib tadi masih membelengguku. Terus terang, aku membenci situasi seperti ini.

Tak bisa tidur artinya akan banyak kenangan yang melintas tanpa permisi. Melenggang bagai penyanyi di panggung murahan yang mengundang hasrat. Mau tak mau aku terpaksa mengingatnya kembali. Memejamkan mata bukan untuk tidur, melainkan untuk mengingat kenangan.

Kenangan paling mengusik itu adalah tentangmu, Tera. Pertama-tama aku akan terlempar ke Sabtu sore saat pertama kali kita berkenalan. Di sebuah taman peninggalan raja paling masyur negeri ini. Aku ingat sekali, kau mengenakan jeans pudar dengan atasan kemeja flanel kotak-kotak hitam dan merah. Simbol ketegasan dan keberanian. Dua warna yang juga amat kusukai.

Kau, dengan kamera ponselmu memotret semua objek yang menurutmu menarik. Aku memperhatikan gerakanmu dari jauh. Kadang kau berjongkok, ada kalanya duduk, atau merunduk. Tergantung posisi objek yang ingin kau tangkap. Sama sekali tak peduli pada keadaan di sekelilingmu. Tak sedikitpun kau merasa terganggu dengan lalu-lalang manusia yang memadati taman ini setiap sorenya.

Sampai kemudian kau duduk di bangku permanen di bawah pohon angsana yang sedang berbunga. Hanya berjarak beberapa meter dari tempatku duduk sejak tadi. Saat angin bertiup bunganya yang kekuningan berguguran. Menimpa dirimu.

Aku melempar senyum dengan kikuk. Kau merespons datar. Matamu fokus menatap ke layar gawai, sementara jari-jemarimu terus bergerak. Kau pasti sedang melihat-lihat hasil buruanmu tadi.

"Kau pasti brand ambassador untuk merk ponsel itu kan?" tanyaku kemudian. Bertanya sekenanya hanya untuk mengajakmu bicara.

Kau menoleh. Sempat kulihat keningmu berkerut. "Brand ambassador?" kau justru menjawab dengan pertanyaan.

"Kalau begitu kau pasti seorang blogger. Aku punya beberapa teman blogger yang hobi memotret dengan kamera ponselnya. Hasil jepretannya kemudian mereka unggah di website pribadi, salah satu trik untuk menarik pengunjung, dengan begitu mereka akan mendapatkan feedback financial dari penyedia jasa. Ya... something like that, kau pasti paham maksudku," kataku panjang lebar.

Di luar dugaanku, keningmu makin berkerut. Jelas memancarkan kebingungan.

"Apa itu blogger?" tanyamu polos.

Mendengar pertanyaan itu justru aku yang menjadi bingung. "Benarkah kau tak tahu apa itu blogger?" tanyaku dengan senyum terkulum.

Dengan menggigit bibir kau menggeleng. Matamu mendelik jenaka. Membuatku yakin kalau kau memang tak paham soal itu.

"Lain kali kita bicarakan soal itu. Oh ya, namaku Pagi. Pagi Semesta. Kau boleh memanggilku Egi atau Eta," aku menyodorkan tangan.

"Tera," jawabmu singkat.

"Tera? Hanya Tera?"

"Lentera."

"Namamu unik, Tera."


"Namamu juga."

Di sisa waktu sore itu kita hanya sempat membincangkan mengenai nama kita yang terdengar tak lazim. Menjelang azan magrib, saat petugas taman memberi sinyal kita bergegas pergi. Tentu saja setelah bertukar nomor telepon.

Malamnya aku mengirimkan pesan pendek untukmu setelah menemukan dan melihat-lihat koleksi fotomu di Instagram. "Foto-fotomu keren, Tera. Kau punya bakat di bidang fotografi. Tapi....sepertinya baru tiga bulan terakhir kau rajin memposting foto di IG. Padahal kau sudah membuat akunnya sejak bertahun-tahun lalu."

Pesan yang kukirim selepas magrib itu baru kau balas menjelang pukul dua belas malam. Kau membuatku menunggu begitu lama hanya untuk sebuah jawaban; he he he.

Pertanyaan itu menemukan jawabannya tiga minggu kemudian. Tanpa sengaja kita kembali bertemu di taman itu. Seperti biasa, setelah puas berkeliling dan memotret kau lantas beristirahat di bawah pohon angsana. Melihat-lihat kembali hasil bidikanmu. Foto-foto yang menurutmu jelek langsung kau hapus agar memorinya tidak penuh.

"Tera!" aku berteriak sambil melambaikan tangan dari jarak beberapa meter.

"Hai Pagi!" balasmu berteriak sambil ikut melambaikan tangan.

"Senang bisa bertemu lagi denganmu di tempat yang sama."

"Aku juga. Teman kamu tadi mana? Kok ditinggalkan begitu saja."

"Mereka itu rekan kerjaku dari kantor pusat, sudah pernah ke taman ini jadi nggak masalah kalau berkeliling sendiri. Aku juga sudah minta izin dari mereka. Santai aja..."

"Kerja di mana kamu?"

"Aku kerja di yayasan yang bergerak di bidang konservasi lingkungan. Sering keluar masuk hutan, tapi sudah dua bulan ini di kota terus, makanya aku sering ke taman ini. Di sini ada sungai, banyak pohon besar, masih bisa mendengarkan kicau burung-burung, sesekali ada ular di ranting-ranting pohon, bisa menghirup udara segar sepuasnya. Pokoknya asyik deh. Kamu kerja di mana?"

"Aku? Ehm...pekerjaanku tidak semenarik dan semenantang pekerjaanmu. Tidak asyik untuk dibicarakan," kau mengelak.

Satu yang kuperhatikan, garis bibirmu datar sekali saat kau mengatakan itu.

"Oke, kita bicara soal fotografi saja. Dan.. oh ya, kamu belum jawab pertanyaanku yang tiga minggu lalu."

"Yang mana?"

"Yang kukirimkan selepas magrib dan baru kau balas tengah malam. Itupun cuma enam huruf. Aku ingin menggaruk-garuk dinding mendapati balasan seperti itu."

Kau terkekeh.

"Oh yang itu..."

Tera, rasanya aku menyesal sekali pernah menanyakan hal itu padamu. Perasaanku teraduk-aduk saat mengetahui kau harus menabung hampir dua tahun agar bisa punya ponsel pintar dengan kamera memadai. Setiap bulan kau rutin menyisihkan sepuluh persen dari total gaji yang kau terima. Sementara aku, dengan penghasilan yang lumayan bisa hampir tiap bulan membeli ponsel semacam itu. Hatiku mengembun.

"Baru tiga bulan yang lalu tabunganku cukup dan aku membeli ponsel ini. Sejak ada ponsel ini setiap Sabtu sore aku rajin berkeliling, tapi yang di sekitar-sekitar sini saja, karena aku tidak punya kendaraan. Jadi bisa jalan kaki. Sekalian olah raga biar sehat terus. "

"Kamu tinggal di mana?"

"Di belakang kuburan itu," mulutmu monyong menunjukkan pekuburan Belanda yang ada di seberang jalan.

Tera, waktu bisa bergerak sangat cepat atau lambat. Begitu juga pertemanan kita yang semakin lekat. Obrolan-obrolan di antara kita semakin intens, bahkan pribadi. Bukan lagi sekadar membicarakan hobi atau pekerjaan. Setiap Sabtu sore jika tak keluar kota dengan senang hati aku mengajakmu berkeliling kota. Mendatangi tempat-tempat yang menarik untuk memuaskan hasrat memotretmu.

Di bulan keenam kebersamaan kita, entah siapa yang memulai, kita lantas mentahbiskan diri menjadi sepasang kekasih. Aku ingat sekali, sore itu kau bahkan tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Mulutmu seperti terkunci. Rona wajahmu menjadi merah muda. Hampir sepanjang pertemuan yang sebentar itu kau menunduk. Kelopak matamu seperti terbius untuk tak sekalipun menatap ke arahku.

"Tera, katakan sesuatu. Kalau kau diam terus aku tidak tahu apakah kau senang dengan pertemanan yang naik tingkat ini atau tidak."

"Aku senang. Tentu saja aku senang. Tapi, Pagi.... aku takut jika kau mengetahui sesuatu tentangku, kau malah berlari meninggalkanku."

"Tera, kita baru saja memulainya. Jangan membicarakan hal-hal yang tidak kau inginkan terjadi dalam hidupmu. Lagipula kenapa aku harus berlari, apa yang salah denganmu?"

Kau hanya mengangguk.

Tera, sampai hari itu sejujurnya kau masih menjadi teka-teki buatku. Kau selalu enggan membicarakan tentang pekerjaanmu. Kau enggan membicarakan tentang siapa dirimu dan di mana keluargamu.

Semua pertanyaan itu terjawab enam bulan kemudian. Suatu siang, yayasan tempatku bekerja menjamu mitra kami yang datang dari luar negeri. Kami memilih rumah makan spesial yang letaknya tak begitu jauh dari taman tempat biasa kita bertemu Sabtu sore.

Saat aku sedang melahap hidangan dengan nikmat, tiba-tiba saja kau muncul dari pintu belakang. Kau membawa piring-piring bersih ke rak depan. Sesudahnya dengan cekatan kau membersihkan meja di sudut ruangan. Mengumpulkan piring-piring dan gelas kotor, mengelap meja, lalu kau kembali hilang. Kau sama sekali tak menyadari ada aku di antara banyak pelanggan di rumah makan ini.

Tera, mengetahui hal itu membuatku kaget. Sekaligus tak percaya. Benarkah itu kau Tera? Aku bahkan sampai memastikannya pada pelayan yang lain. Bahwa itu kau, Lentera. Sudah bekerja selama empat tahun di rumah makan ini. Kau -bersama pekerja lainnya- tinggal di rumah yang disediakan khusus oleh pemiliknya tak jauh dari sini. Entahlah, rasanya sulit menerima kenyataan bahwa kau hanya seorang pelayan di rumah makan.

Tera, aku masih ingat saat pertemuan pada Sabtu berikutnya sikapku tak biasa padamu. Tapi sepertinya kau tak menyadari hal itu. Mulutku bergerak-gerak ingin menanyakan siapa dirimu, tapi kuurungkan. Aku takut kau akan tersinggung. Itulah pertemuan kita yang terakhir. Tanpa memberi alasan dan kepastian aku meninggalkanmu dengan kejam.

***

Sudah hampir pagi. Tapi rasa kantuk itu masih belum mau datang. Dan selama itu pula kau terus hadir di ingatanku Tera. Betapa bodoh dan naifnya aku, menduga-duga jika kau sama sekali tak mengetahui apa alasanku meninggalkanmu begitu saja.

Suatu kali, karena rasa penasaran yang teramat sangat aku mengunjungi Instagram-mu. Sebuah foto berupa lampu teplok kecil yang telah kau edit menjadi hitam putih menarik perhatianku. Caption-nya membuatku tertohok.

"Apakah Pagi pernah mengharapkan Lentera? Bagaimana mungkin aku berpikir 'iya' sementara Pagi ditakdirkan bertemankan cahaya sedangkan Lentera ditakdirkan bertemankan kegelapan."

Pada sebuah foto sungai kau memberi keterangan; semua rasa yang pernah datang hanya untuk singgah, selanjutnya akan hanyut bersama takdir.

Aku mengaduk-ngaduk semua foto di akun media sosial milikmu, foto-foto setelah Sabtu terakhir pertemuan kita hampir semuanya bernada satir. Lalu aku terpaku kembali pada sebuah foto perahu yang kau ambil di tepi pantai; banyak orang lupa, saat kapal pesiar yang mereka tumpangi hampir karam, mereka justru berebut agar bisa naik ke perahu kecil. Yang kecil, lemah, dan tidak berarti tetapi menyelamatkan.

Entahlah, aku merasa semua itu kautujukan untukku. Aku merasa malu pada diriku sendiri. 

***

Setahun kemudian perlahan tapi pasti, wajah Tera telah hilang dari ingatanku. Sementara itu aku telah menjalin hubungan spesial dengan seorang gadis yang menurutku strata sosialnya lebih baik dari Lentera. Namanya Weni. Gadis campuran Aceh Jawa berkulit kuning langsat yang cantik. Weni seorang aktivis perempuan yang cerdas dan antusias. Berdebat dengannya sangat menyenangkan. Dua bulan lalu kami menikah. Hidupku terasa sempurna.

Sesekali aku masih suka stalking ke berbagai akun media sosialnya Lentera. Semua tentangnya masih terkesan misterius. Di Instagram, tak ada satupun foto tentang dirinya. Hampir semua foto-foto yang ia unggah bertema nature. Sementara di Facebook, ia lebih banyak membuat status berupa kuote-kuote dengan kalimat-kalimat memikat. Hampir tak ada foto yang memperlihatkan wujud aslinya. Mungkin dia memang sengaja berlindung di balik kata-kata indahnya. Hal ini membuatku penasaran, sekaligus kesal.

Sampai suatu hari Weni membawa pulang sebuah majalah bisnis ternama terbitan ibu kota. Awalnya aku tidak tertarik pada majalah itu. Ya, aku memang tidak pernah tertarik pada hal-hal yang terkait dengan ekonomi atau bisnis. Walaupun - seperti kata rekanku saat kita mengeluarkan uang dari kantor, itu artinya kita sudah melakukan aktivitas ekonomi.

Namun, demi melihat Weni yang serius membaca, ditambah sesekali ia mengeluarkan ungkapan-ungkapan kekaguman membuatku penasaran. Ingin tahu artikel apa yang sedang ia baca.

"Serius amat, Wen?"

"Iya nih, Gi. Profil bisnisnya keren, anak Aceh lho. Masih muda, cewek lagi. Tapi mampu mengelola rumah makan dengan baik, bahkan ada cabang di lima kota, gila kan?" Weni menjawab antusias sambil menyodorkan majalah tersebut ke arahku. "Lihat deh!"

Aku masih belum sadar dengan foto gadis yang ada di majalah itu. Penampilannya trendi, mengesankan sosok pengusaha muda yang mandiri, gigih, penuh percaya diri. "Namanya siapa?"

"Lentera. Lentera Jingga. Namanya juga unik ya?" Weni sama sekali tak mampu menutupi kekagumannya.

Mendengar nama Lentera disebut aku bagai tersengat listrik. Kuperhatikan sekali lagi foto yang ada di majalah itu. Dan... dia adalah Lentera yang dulu pernah menjadi kekasihku. Yang kutinggalkan tanpa sepatah kata apa pun. Ternyata... ternyata... dia tidak seperti dugaanku.

"Dia lulusan S2 Tata Boga di universitas ternama di Jakarta sana. Baru pulang ke Aceh lima tahun lalu dan langsung mengambil alih pengelolaan rumah makan orang tuanya yang selama ini jalan di tempat. Kuliner dan bisnis adalah passion-nya. Mengagumkan!" Weni terus bercerita.

Aku terduduk lemas. Memaki kebodohanku sendiri. Bukan soal aku tak bisa bersama Lentera, tapi bagaimana mungkin seorang Pagi Semesta yang mencap dirinya berpendidikan bisa menjengkali seseorang secara sepihak. Lentera... maafkan aku.

"Eh, Gi, lihat deh. Ini ada yang lebih seru. Si Lentera ini ternyata suka iseng juga, pada cowok-cowok yang baru dikenalnya dia suka merahasiakan identitasnya. 'Mungkin karena itu sampai sekarang saya masih jomblo, bisa jadi ada di antara teman-teman pria saya yang tanpa sengaja melihat saya di warung sedang membersihkan meja atau mengangkat piring kotor. Lalu mereka mundur sambil salto hahahaha'," Weny membaca kutipan cerita Lentera dengan utuh. Ia ikut terbahak-bahak membayangkan betapa konyolnya pria-pria itu. "Dasar pria buduk!" umpat Weni kemudian.

Aku bersungut-sungut. Namun kutahan agar tidak bereaksi berlebihan. Sekarang sadarlah aku, tentang pertanyaan yang kusodorkan saat pertama kali kita bertemu. Kau sukses mengelabuiku.

"Tapi itu memang kebiasaan saya. Saya selalu ingatkan pegawai untuk merahasiakan siapa saya kalau ada yang secara tak sengaja melihat saya di warung. Saya juga tidak merasa malu atau gengsi melakukan itu, saya harus memberikan contoh pada mereka. Kekompakan adalah kunci keberhasilan kami." Weny terus membaca dengan suara nyaring. Ia sepertinya tidak sadar ada seseorang di sebelahnya yang hampir pingsan karena merasa bersalah. Juga karena malu yang teramat sangat.

***

Gema azan di cerobong masjid membuatku tersentak. Semalaman aku tidak tidur hanya untuk menghadirkan kembali semua kenangan bodoh ini. Tera, maafkan aku.

"Hukuman terberat bagi seseorang adalah penyesalan. Karena semakin diingat dia akan semakin tumbuh, sementara perasaan selalu memunculkan ingatan." kata-kata Tera di suatu sore membuatku terkesiap.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

6 komentar:

  1. Suka pilihan diksi di paragraf pembuka... Bagian tengah mengalir pelan namun menyentak di ending ^^d

    Makasih untuk cerpen kriuk-kriuknya Ihan..

    BalasHapus
  2. Tiap nulis cerpen, salah satu kesulitan itu nentuin nama tokohnya.. kok bisa han? di setiap cerpen ada aja nama-nama unik

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahah..... memilih nama tokoh yang unik salah satu 'trik' agar pembaca selalu ingat pada cerpen yang kubuat (ngarep)

      Hapus
  3. Balasan
    1. wuihhhhh..... thanks pak udah mampir di mari :-)

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)