"Kalau kita punya anak, aku yang berikan nama, ya?" kataku pada Zenja di suatu pagi.
"Boleh."
"Aku sudah siapkan dua nama lho."
"Wow. Mantab."
Hingga pagi itu Zenja masih menuliskan mantap dengan 'b' bukan dengan 'p'. Biasanya aku selalu protes, tapi bukankah cinta adalah pemakluman? Biarkan saja dia menulis tanpa tertib bahasa seperti itu.
"Kalau laki-laki aku akan beri nama Senyum Senja. Kalau perempuan Mentari Pagi," kataku pada hari yang lain.
"Nama Islam saja. Nama itu doa."
"Itu kan juga doa, Sayang."
"Ya, boleh aja nggak dilarang. Kalau mau berpuisi ikuti Jalaluddin Rumi."
"Aku suka nama berbahasa Indonesia yang puitis. Senyum Senja itu representasi dirimu, dan Mentari Pagi itu aku."
"Aku ingin punya baby, kalau kita punya bayi kembar tiga seru ya."
"Iya, seru."
Lalu kami sibuk berbincang tentang bayi kembar. Kerepotan seorang ibu. Kerepotan seorang ayah. Apa yang anak-anak panggil untuk kami sebagai orang tuanya nanti. Dan di setiap ujung perbincangan kami tak lupa mengatakan, "semoga Tuhan memudahkan cinta kita ya, Sayang."
Zenja adalah teman ribut yang asyik, teman untuk merengek-rengek yang selalu hangat. Sekaligus teman untuk merajuk yang menyebalkan.
Perihal nama-nama itu, memang sudah lama terpikirkan. Eh, tapi 'Pagi' yang melengkapi 'Mentari' baru saja terpikir dalam beberapa hari ini. Setelah aku tergila-gila pada Pagi yang hangat, yang riuh, yang sejuk seperti embun. Pagi dan Senja. Senja dan Pagi. Senja yang selalu tersenyum, dan Pagi yang selalu hangat.[]
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)