Seumur-umur belum pernah terpikir olehku untuk membuat
sie reuboh, olahan daging rebus khas Aceh Besar dengan bumbu sederhana berupa cuka, kunyit, cabai rawit, merica, dan ketumbar. Bumbu-bumbu inipun aku tahu dari Zenja. Dia mengirimkannya melalui pesan Whattsapp dua hari lalu. Aku sendiri baru mengenal olahan daging ini sejak beberapa tahun terakhir, padahal sudah lama menetap di Banda Aceh. Bahkan akhir-akhir ini nama
sie reuboh kian populer saja. Ini baik, pertanda citra kuliner Aceh Besar ini terus populer.
Sie reuboh diolah dari daging sapi/kerbau/kambing yang mengandung lemak yang bisa berfungsi sebagai pengawet alami. Dagingnya bisa tahan berhari-hari, kalau disimpan di kulkas mungkin bisa berminggu-minggu. Konon ketika masa perang dulu,
sie reuboh ini menjadi perbekalan para pejuang Aceh saat bergerilya di hutan-hutan. Dengan cita rasanya yang sudah berbumbu, daging rebus ini bisa langsung disantap tanpa perlu diolah lagi. Paling tinggal dipanaskan saja supaya lemaknya cair. Di Banda Aceh, warung-warung makan khas Aceh Besar umumnya menyediakan hidangan ini.
Setelah dua hari lalu, hari ini perbincangan tentang
sie reuboh dengan Zenja kembali terjadi. Bermula dari obrolah remeh-temeh yang kami lakukan di sela-sela aktivitas melalui perangkat teknologi. Entah mengapa tiba-tiba Zenja berceletuk kalau nanti sore sepulang kerja dia mau membuat
sie reuboh. Aku takjub padanya,
skill memasaknya sangat oke punya. Padahal dia bukan orang Aceh Besar, pun sudah lama sekali meninggalkan Banda Aceh ini. Selama ini aku sering mendapat kiriman foto-foto makanan olahan tangannya.
"Nanti fotoin
step by step-nya ya, kalau Abang berhasil Ihan mau coba juga," ujarku.
"Abang pikir Ihan jago masak, pakai janjian pula," jawabnya bercanda.
"Ihan bisa masak, tapi kan nggak semuanya Ihan bisa."
"Masak putih bisa?
Weekend nanti Abang mau masak putih dengan kentang."
"Bisa," jawabku cepat.
Padahal seumur-umur pula aku belum pernah membuat sendiri olahan daging yang satu ini. Tapi resepnya tidaklah susah-susah amat, aku sering melihat Ibu menyiapkan resep olahan daging masak putih.
"Ihan penasaran ingin cobain masakan Abang."
"Sudah pasti enak. Nanti dikasih resep-resepnya."
"Resep cinta?"
"Boleh juga."
Obrolan lezat kami berlanjut hingga beberapa saat kemudian. Setelah itu aku siap-siap untuk salat Zuhur, dan Zenja bersiap-siap menyudahi aktivitasnya kukira, hari ini ia
hand over proyek, pasti sangat menyita tenaga dan pikirannya. Karena itu aku tidak merecokinya lebih banyak.
Makanan menjadi salah satu topik yang sering kami bincangkan berdua. Suatu kali Zenja mengirimkan foto olahan nasi Arab yang dibuatnya, di lain waktu ia mengirimkan foto soto Lamongan. Pernah juga ia mengirimkan video sedang membuat martabak bersama teman-teman di apartemennya. Dan sekarang aku menunggu dengan berdebar foto olahan
sie reuboh made in Zenja. Kira-kira seperti apa bentuknya?
Suatu ketika aku punya kesempatan untuk menjamu Zenja di rumah. Hidangannya sederhana, hanya hidangan rumah biasa saja. Tapi Zenja makan dengan lahap dan memuji masakanku ketika itu. Aduh, aku senyum-senyum dibuatnya. Perempuan mana sih yang tidak kembang-kempis hatinya ketika dipuji pasangan. Hari setelah lebaran Idul Fitri itu, aku membekalinya dengan sekotak timphan saat ia pulang. Kata Zenja, timphan yang jumlahnya memang tidak banyak itu habis ia makan bahkan sebelum sampai ke rumah. "Timphannya enak," kata dia waktu itu. Ah Zenja... kamu memang paling bisa membuatku berbunga-bunga.
Sering kukatakan pada Zenja, nanti kalau kami sudah hidup berdua aku ingin mendedikasikan diri sebagai asistennya saja di dapur. Selebihnya aku ingin menghabiskan waktu untuk mencintainya. Hanya itu.[]