Ilustrasi by me |
“Abang mau minum apa? Kopi?” tanyaku pada Zenja malam itu.
“Malam-malam kok minum kopi. Nggak bisa tidur kita nanti.”
Sementara Zenja sibuk melihat-lihat daftar menu, kugunakan kesempatan
itu untuk memandangi wajahnya. Wajah yang selalu kurindukan. Karena di sana
terdapat sepasang mata yang selalu menatapku penuh rindu dan sungging senyum
yang melegakan setiap kali aku melihatnya.
Malam itu, akhirnya kami bisa bertemu setelah melewati hari demi hari
yang sangat lama dan panjang. Aku lebih dulu sampai sekitar lima belas menit
dari waktu yang telah kami sepakati. Zenja tertahan karena arus lalu lintas
yang sangat padat menjelang pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh VII. Sabtu malam
itu Banda Aceh memang tampak lebih ramai dari biasanya.
Kami, tepatnya aku, memilih sebuah kafe di sudut Taman Bustanussalatin
untuk lokasi pertemuan. Tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Tak begitu jauh
pula dari tempat Zenja menginap malam itu.
Selain itu, aku suka pada tata letak kafe tersebut. Sebuah bangunan lama
yang ditata kembali dengan sentuhan yang lebih modern dan artistik. Berbeda
dengan sebelumnya yang sangat kental dengan suasana ‘warung kopi’. Setelah lama
tak berfungsi, rumah bergaya lama dengan material kayu itu pun kembali
berfungsi menjadi sebuah kafe. Tak heran bila para pengunjung umumnya dari
kalangan anak muda.
Lagipula aku ingin bernostalgia. Di tempat yang sama, bertahun-tahun
sebelumnya, kami pernah berada di ruang dan tempat yang sama. Aku dengan
urusanku, Zenja dengan urusannya. Kami saling melempar senyum dari jauh, saling
memandang, saling mengirimkan pesan-pesan kerinduan. Meski sudah bertahun-tahun
aku tak pernah lupa pada sekeping momen itu. Bukan hanya itu, aku mengingat semua momen yang pernah kami lewati bersama.
“Apa dong kalau bukan kopi?” tanyaku.
Aku ingin menertawainya. Betapa teraturnya hidup Zenja-ku. Berbeda denganku
yang tak pernah peduli pada waktu bila sudah ingin minum kopi. Lalu,
kadang-kadang aku mengeluh karena terserang insomnia akibat kafein. “Nanti kita akan punya waktu yang panjang
untuk minum kopi berdua,” kata Zenja suatu ketika.
“Ya, itu artinya kita juga akan punya waktu yang lama dan panjang untuk
saling bertukar cerita.”
“Pasti dong.”
“Abang jus kiwi aja,” kata Zenja kemudian. Membuyarkan lamunanku.
Aku segera menuliskan pesanannya. Kemudian memanggil pramusaji yang
melintas di dekat meja kami.
“Jus kiwinya nggak ada,” kata pramusaji pria yang mengambil pesanan
kami.
“Ya sudah, ganti saja dengan lemon tea hangat,” jawab Zenja.
“Cerewet kali beberapa hari ini…”
Komentar pertama Zenja sebagai pembuka obrolan kami malam itu membuatku
nyaris tergelak. Aku tersipu manakala telingaku menangkap kosakata ‘cerewet’.
Setelah sadar aku malah jadi bersungut-sungut.
“Iya dong. Masak kalem-kalem aja.”
Lalu mengalirlah cerita-cerita yang ingin kudengar dari mulutnya.
Cerita-cerita yang selama ini cuma bisa kami pertukarkan melalui perantara
berupa perangkat teknologi. Yang ketika kesal, marah, senang, atau sedih, hanya
bisa diwakilkan oleh emoticon-emoticon tertentu.
Belasan menit kemudian pesanan kami sampai. Sayangnya kami tak bisa
lama-lama di sana, karena pertimbangan waktu pula, minuman yang telah kami
pesan tak sempat kami habiskan. Tepatnya kami sudah tak haus lagi. Sebab kami
datang ke sana memang bukan untuk menghilangkan dahaga. Namun untuk menyembuhkan rindu yang sekarat.
Kami bergegas. Meninggalkan kafe dengan lampu-lampu kekuningan dan
bayang-bayang pohon dari pantulan pendar bulan di ketinggian sana. Kami memilih
menyusuri ruas-ruas jalan kota ini sambil menikmati silir angin. Menikmati
waktu-waktu yang kian susut. Waktu yang tak bisa dipersingkat atau
diperpanjang. Waktu yang kami gunakan untuk menerjemahkan bertumpuk-tumpuk
rindu. Juga cinta.[]