Para pemateri dan sejumlah peserta yang hadir @Hayatullah Pasee |
ACEH kerap menjadi “buah bibir”
karena qanun-qanun atau peraturan daerah yang dibuat di daerah ini sering kali
dianggap antimainstream oleh masyarakat Indonesia. Bahkan ada yang dianggap
kontroversial dan menjadi polemik. Tak hanya di jagat nasional saja lo, tetapi
juga di Aceh sendiri. Pokoknya rame
deh!
Namun, dalam beberapa hal Aceh
justru menjadi “pionir” bagi terobosan-terobosan yang dilakukan oleh para
pengambil kebijakan di tataran nasional sana. Sebut saja seperti lahirnya Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional yang terinspirasi dari Bappeda Provinsi Aceh.
Begitu juga untuk Badan Pelayanan Jaminan Sosial yang cikal-bakalnya dari
program Jaminan Kesehatan Aceh. Ugh! Keren, kan?
Nah, saat ini yang sedang
hangat-hangatnya dibicarain ialah tentang lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah
atau Qanun LKS. Qanun ini menurut saya sendiri sangat menarik, pasalnya Aceh
sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam sudah
sepatutnya hijrah dari tata kelola perbankan konvensional, menuju tata kelola
perbankan yang syariah. Di mana segala sistem dan produk-produk yang dihasilkan
oleh perbankan berdasarkan sistem muamalah yang sesuai dengan standar syariat
Islam. Jadi, kita sebagai user sudah enggak waswas lagi ketika ingin menggunakan produk-produk perbankan.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kesiapan pihak perbankan itu sendiri? Sudah siapkan mereka menyongsong dan menerapkan secara utuh Qanun LKS tersebut?
Nah, di sinilah Bank Indonesia khususnya
BI Perwakilan Aceh berperan dalam melakukan sosialisasi tentang Qanun LKS
tersebut. Ini penting, mengingat masih ada sejumlah bank konvensional yang
beroperasi di Aceh. Artinya, mau tidak mau ketika qanun ini wajib diterapkan
pada 2 Januari 2022 mendatang, seluruh bank konvensional di Aceh harus sudah dikonversikan ke
syariah.
Setahu saya sih BI Perwakilan
Aceh sendiri sangat gencar melakukan sosialisasi tersebut. Misalnya selama Ramadan lalu mereka melakukan roadshow dari masjid ke masjid untuk menyosialisasikan Qanun LKS. Begitu juga dalam
hajatan Festival Ekonomi Syariah yang digelar pada pertengahan Juli 2019 lalu.
Dan yang teranyar tentu saja acara Ngobrol @tempo yang dibuat Tempo Media Group
bekerja sama dengan Bank Indonesia Perwakilan Aceh, Senin, 23 September 2019.
Namun dalam diskusi kali ini
topik yang diangkat lebih spesifik tentang “Kesiapan Perbankan terhadap Qanun
Lembaga Keuangan Syariah di Aceh”. Diskusi
ini keren bukan saja karena topiknya yang cetar, melainkan juga pematerinya
yang oke-oke seperti Kepala Bank Indonesia Zainal Arifin Lubis; Ketua OJK
Provinsi Aceh Aulia Fadly; Direktur Operasional BRI Syariah Fahmi Subandi; dan
Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh Amrizal J. Prang. Sedangkan Direktur Tempo,
Tomi Aryanto, menjadi host yang keren
sehingga acara ini jadi terasa hidup dan menarik walaupun topiknya dirasa
lumayan serius. Khususnya bagi kalangan bloger seperti kami.
So, apakah para pelaku perbankan
di Aceh sudah siap untuk menerapkan Qanun LKS? Ya, mereka siap dan mantap dong tentunya. Apalagi sejak qanun ini disahkan ada masa transisi selama tiga tahun yang tentunya sangat cukup bagi mereka untuk siap-siap. Bisa dibilang,
tak ada alasan untuk tak mantap karena sesuai penjelasan Kepala OJK:
Sebanyak 12 Bank Umum Konvensional dan 5 Bank Perkreditan Rakyat dengan total cabang keduanya mencapai 46 cabang telah memulai melakukan penyesuaian prosedur.
Inilah implikasi Qanun LKS terhadap pertumbuhan dunia perbankan di Aceh. Asumsi ini tentunya tidak berlebihan bila mempertimbangkan jumlah umat Islam di dunia yang persentasenya mencapai 12,7 persen dari total pendudu bumi saat ini. Wow! Fantastis, ya?! Lalu, bagaimana dengan di Aceh. Kabar baiknya Aceh berada di peringkat tiga besar perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Inilah yang menjadi semangat optimisme dikembangkannya perekonomian syariah di Aceh. Dalam hal ini perbankan merupakan kunci utamanya.
Lalu, apa kata pihak perbankannya sendiri?
“Bagi BRI tidak ada pilihan lain kalau memang itu sudah diatur dan kita sifatnya patuh. Artinya kita tetap siap dengan kehadiran qanun tersebut.” ~Direktur Operasional BRI syariah, Fahmi Subandi~
Sementara Kepala BI Provinsi Aceh Zainal Arifin, lebih banyak memaparkan tentang kaitannya dengan ekonomi Aceh. Ia mencontohkan Aceh yang sampai saat ini masih saja memasuk kebutuhan pokok dari Medan, Sumatera Utara. Padahal, barang-barang kebutuhan pokok seperti beras justru berasal dari Aceh.
“Aceh punya lahan pertanian yang
bagus dan luas, tetapi bawang saja masih dipasok dari luar. Kita punya nilam,
nilam Aceh lebih bagus kualitasnya sama seperti kopi dan harganya sangat mahal.
Jika ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka garis kemiskinan Aceh tertinggi
di Sumatera,” ungkapnya.
Secara khusus ia juga menyampaikan keterlibatan Bank Indonesia terhadap Qanun LKS:
Dampaknya sebagai berikut:
Ini market share-nya:
Oh ya, untuk melengkapi tulisan ini, perlu juga diketahui mengapa Qanun LKS hadir di Aceh. Setidaknya ada tiga landasan utama, yaitu secara filosofi, sosiologi, dan yuridis.
Secara filosofi ini merupakan salah satu bentuk keistimewaan Aceh yang sejak tahun 1959 telah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam. Diperkuat kembali melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 di masa Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan UU Keistimewaan Aceh meliputi tiga hal, yaitu pendidikan, adat, dan agama.
Sedangkan secara sosiologis, masyarakat Aceh menerima dengan baik hadirnya qanun ini karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Terakhir, secara yuridis, selain adanya UU Nomor 44 Tahun 1999 tadi, juga karena adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam hal ini, Aceh sebagai daerah otonomi khusus boleh mengatur perekonomian daerahnya sesuai prinsip-prinsip syariah sebagai salah satu keistimewaan Aceh.[]