Aroma soto daging dengan rajangan daun bawang dan sepotong tomat segar langsung membiusku saat pramusaji menghidangnya di meja.
"Soto dagingnya," ujar pramusaji yang kutaksir usianya lebih separuh abad sambil menaruh semangkuk soto, sepiring nasi putih yang masih mengepulkan asap, kecap, dan sambal rawit halus.
"Terima kasih, Pak."
Sebelumnya aku juga memesan kopi dan sepiring camilan campuran tempe, sosis, kentang, nuget, dan kentang goreng. Tanpa menunggu kedatangan dua hidangan lain, aku segera menyantap hidangan soto dengan nasi putih yang harum dan pulen. Kulumuri nasi dengan sesendok demi sesendok kuah soto yang sudah kutuang habis sambal rawit dan perasan sepotong jeruk nipis. Isi sotonya minimalis; cuma ada potongan daging dan tauge saja.
Aku mulai melahap santapan siang ini. Perutku memang sudah mulai terasa lapar, padahal belum pun pukul dua belas. Pagi tadi, saat berangkat ke kampus, aku hanya sempat "sarapan" air putih saja.
Ya, pagi tadi aku sudah bergerak dari rumah sejak pukul setengah delapan pagi. Karena aku akan pergi ke Kampus UIN Ar-Raniry di Darussalam dengan Trans Kutaraja, mau tak mau aku harus berangkat lebih pagi. Supaya tidak terlambat. Hari ini perdana aku mengisi kelas jurnalistik dari tiga hari yang telah disepakati dengan panitia dari Jurusan Teknologi Informasi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry. Sudah menjadi kebiasaan, entah itu sebagai peserta, lebih-lebih sebagai pemateri, aku selalu mengusahakan datang lebih awal. Baik itu daring maupun luring. Pagi tadi, aku sudah berada di tempat acara sebelum pukul setengah sembilan.
Akhir-akhir ini jadwalku bisa dibilang sangat padat. Aku merasa nyaris kekurangan istirahat. Intensitas aktivitasku meningkat mulai setelah Iduladha lalu; menjadi tim penulis tiga buku di Universitas Syiah Kuala, menjadi asisten riset di sebuah lembaga dan harus bertungkus lumus dengan banyak dokumentasi untuk disarikan; dan terlibat beberapa fellowship, seperti dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara-Kedutaan Kerajaan Belanda sejak awal tahun, Deutsche Welle (DW)-AJI Indonesia, dan terakhir dengan Tempo.
Sepanjang dua fellowship yang kusebut terakhir, membuatku intensitasku nge-Zoom meningkat drastis. Minimal sekali Zoom bisa berlangsung selama lima jam, bahkan yang dengan Tempo karena jadwalnya dipres menjadi empat hari, diskusi daringnya berlangsung dari pukul sembilan hingga pukul lima sore. Secara tenaga, aku merasa staminaku betul-betul tersedot. Malamnya sering merasa kelelahan, tetapi rutinitas lainnya tetap harus dilakukan, toh? Namun, setidaknya aku harus bersyukur, karena setiap kali pagi tiba, aku merasa energiku selalu pulih kembali.
Puncaknya memasuki Oktober ini. Diawali kelas intensif dengan Tempo selama empat hari berturut-turut yang diakhiri dengan membuat proposal liputan, dilanjutkan membuat proposal untuk DW. Membuat proposal untuk Tempo sangat menyita waktu karena dua hari berturut-turut aku harus ke lapangan untuk melakukan reportase dan juga mewawancarai beberapa warga untuk mendapatkan informasi awal. Proposal ini harus kami presentasikan di hadapan dewan juri pada Selasa, 23 Oktober 2021.
Di sela-sela menyelesaikan proposal, aku menyegarkan diri dengan mengikuti diskusi grup terpumpun yang dibuat oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Aceh. Barulah pada Sabtu dan Minggu aku pergi ke daerah Aceh Besar untuk reportase lapangan.
Sabtu malam, sembari merampungkan proposal, aku juga sempat nge-Zoom untuk berbagi informasi seputar jurnalisme berperspektif anak yang digagas oleh Komunitas Revisi Qanun.
Sepanjang minggu ini, aku memulai kesibukan dengan mempresentasikan proposalku di hadapan dewan juri pada Selasa. Ini sungguh mendebarkan, meskipun berlangsung secara daring, tetapi berhadapan dengan tiga dewan redaksi Tempo yang bertindak sebagai juri bukan persoalan gampang. Aku tak masalah dengan presentasinya, tetapi ide liputannya yang kurang sesuai dengan topik liputan investigasi membuatku masuk dalam kelompok yang tak lolos. Dari 20 peserta, juri hanya memilih enam orang saja untuk dibiayai.
Aku malah bersyukur saat dua hari berikutnya diumumkan dan namaku tak masuk sebagai peserta yang lolos. Berkali-kali aku mengucapkan hamdalah. Selanjutnya, aku menyiapkan diri untuk webinar Penguatan Literasi Agama bagi Penghulu yang diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh pada Rabu, 27 Oktober. Sorenya setelah asar, dilanjutkan dengan proses penjurian calon Raja dan Ratu Baca Provinsi Aceh tahun 2021 yang dibuat oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh.
Kamis pagi, aku menghadiri opening ceremonial di UIN Ar-Raniry untuk kegiatan yang dimulai pada hari ini. Selanjutnya kelas akan berlangsung dua kali Sabtu berikutnya (jadwal tatap muka) dan Kamis (konsultasi/diskusi secara daring di grup WA). Karena ini pula aku terpaksa menolak tawaran menjadi moderator FGD untuk kegiatan yang diselenggarakan Kemenag. Sorenya, lanjut rapat dewan juri Raja dan Ratu Baca untuk membahas mekanisme pada penjurian hari terakhir.
Kemarin, seharian waktuku tersita untuk penjurian di DPKA. Aku pulang dan sampai ke rumah setelah azan Magrib berlalu, di tengah hujan yang mulai jatuh rintik-rintik. Tepat sampai ke rumah dan aku turun dari ojek online, hujan pun turun dengan lebatnya. Rupanya hujan semalam begitu awet, sampai pagi tadi langit masih dikulum mendung kemudian berubah menjadi titik-titik hujan yang meriangkan tumbuh-tumbuhan.
Aku bersantap siang seorang diri. Kupilih sebuah kafe di bilangan Jalan Panglima Nyak Makam. Hujan sudah turun sejak aku masih di kampus. Setelah kutimbang-timbang, aku urung pulang naik kendaraan umum, tetapi demi kulihat beberapa mahasiswi yang ada di area parkir, entah mengapa spontan aku menawarkan diri agar menjadi salah satu tumpangan mereka. Mahasiswi yang baik hati itu pun bersedia mengantarkanku hingga ke tujuan.
Dan, di sinilah aku sekarang. Di sebuah kafe dengan konsep terbuka dan berada di dekat areal pertanian milik salah satu instansi. Aku menikmati makan siangku dengan santai. Tak lama kemudian pesana kopi dan camilan dihidangkan. Hujan-hujan seperti ini, menghirup kepulan uap kopi yang masih panas, rasanya.... ughhh..... Tapi, tiba-tiba saja aku terusik oleh rasa kangen yang jeri.[]