PEREMPUAN berdaya memberdayakan perempuan. Kutipan itu disampaikan oleh Eni Mulia—Executive Director Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara—dalam diskusi terbatas dengan beberapa perempuan jurnalis di Indonesia tahun lalu. Dalam forum-forum khusus yang melibatkan perempuan, kutipan itu kini semakin sering bergaung. Seperti yang disampaikan oleh Eni, kutipan itu sering diulang-ulang untuk memotivasi perempuan agar semakin bersemangat dalam meraih mimpi-mimpi mereka. Seiring dengan itu, tentunya mereka akan bertumbuh dan harapannya bisa menginspirasi perempuan lain untuk mengikuti jejak mereka.
Saya berusaha mencerna dan meresapi arti di balik kutipan itu. Terdengar ringan, tetapi sebetulnya menyiratkan makna yang sangat dalam. Kutipan itu sangat berbobot karena terdapat dua kata kunci di dalamnya, yaitu “berdaya” dan “memberdayakan”. Karena itu pula, saya sengaja menjadikan kutipan itu sebagai judul tulisan ini.
Jika merujuk pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “berdaya” memiliki arti berkekuatan; berkemampuan; bertenaga. Arti ini bersinonim dengan mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Sedangkan “memberdayakan” dalam KBBI diartikan sebagai membuat berdaya. Itu artinya, sebelum memberdayakan (orang lain), maka seseorang haruslah berdaya terlebih dahulu sebagai individu.
Kutipan itu seolah menemukan penjelasannya secara gamblang setelah hampir setahunan ini saya terlibat dalam program produksi konten perempuan dalam ruang publik yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Melalui program ini, setidaknya ada dua puluh perempuan yang kami angkat profilnya untuk dituliskan dan ditayangkan di laman perempuanleuser.com. Sebuah website komunitas yang juga diampu oleh sekelompok perempuan di Aceh. Latar belakang para perempuan yang berkiprah di ruang publik tersebut sangatlah beragam, mulai dari PNS/ASN, pengacara/paralegal, guru/dosen, aktivis lingkungan, pegiat literasi, pengusaha, ranger, hingga praktisi kesehatan.
Kondisi sosial ekonomi mereka juga sangat beragam, begitu juga dengan level pendidikan, mulai dari yang “hanya” lulus sekolah menengah atas hingga bergelar profesor. Tempat tinggal dan wilayah aktivitas mereka pun sangat bervariasi, tidak hanya di ibu kota provinsi yang notabanenya sudah terbilang mudah dalam hal akses dan fasilitas. Namun, sebagian dari mereka juga tersebar di berbagai daerah sehingga dalam melakukan aktivitasnya ada yang harus keluar masuk desa demi bisa menjangkau sasarannya. Namun, ada satu persamaan yang menjadi benang merah dan simpul dari semua aktivitas yang dilakoni para perempuan tersebut, yakni mereka telah berdaya. Oleh karena itu pula, peran mereka di masyarakat sudah naik level sebagai pemberdaya, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Di antara sosok yang dituliskan dan merepresentasikan “perempuan berdaya memberdayakan perempuan” itu adalah Badriah M Thaleb yang berasal dari salah satu kampung pesisir di Kabupaten Aceh Utara. Badriah kini menjadi ibu tunggal bagi anak-anaknya setelah sekian lama menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia dinikahkan pada usia dini dan terpaksa memupus harapannya yang tengah menggelora untuk bersekolah. Cita-citanya untuk menjadi guru berakhir dengan sendirinya seiring dengan lahirnya anak-anak hasil pernikahan dengan lelaki pilihan orang tua. Namun, suami yang diharapkan bisa menjadi teman diskusi, pembimbing, dan penopang hidupnya malah menjerumuskan dirinya dalam ceruk kehidupan yang gelap dan mengerikan.
Jiwa Badriah sebagai entitas manusia mulai terkerangkeng setelah ijab kabul berlangsung. Pergaulannya dibatasi dan dilarang untuk bersosialisasi. Selama menikah, bahkan untuk bertandang ke rumah orang tuanya pun Badriah dilarang. Cara berpakaiannya diatur, hanya boleh mengenakan kain sarung dan kain panjang agar penampilannya tidak mencolok. Dia hanya boleh bertemankan cangkul dan menghabiskan hari-harinya di sawah. Selain itu, Badriah—sebagaimana orang Aceh lainnya—juga seorang penyintas konflik. Kampungnya di Aceh Utara termasuk salah satu daerah basis konflik bersenjata. Persoalan hidup yang dialaminya tentu semakin kompleks.
Namun, penderitaan Badriah akhirnya menemui ujung “berkat” bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Berawal dari program psikososial untuk para penyintas tsunami, kondisi psikologis Badriah yang sudah pada tahap waham akhirnya bisa “diselamatkan” dan dipulihkan. Sejak saat itulah muncul keberanian Badriah untuk memperjuangkan nasibnya yang selama ini tersandera. Sebagai entitas seorang manusia dan individu yang punya hak azazi. Dia akhirnya berhasil berjuang dan keluar dari cengkeraman jubah patriarki bernama suami.
Mengedepankan Empati
Saat menyebut kata berdaya, sebagian besar kita barangkali langsung berpikir tentang kemandirian secara finansial. Dalam praktiknya, tentu sangat komprehensif. Seseorang yang berkecukupan dari segi materi saja, tidak serta-merta bisa dikatakan berdaya jika hidupnya masih didikte oleh individu lain. Berdaya erat kaitannya dengan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal positif dan produktif dalam hidupnya, sekaligus bisa membuat pilihan dan keputusan dalam hidupnya. Terkait ini, sebagaimana laki-laki, maka perempuan juga harus memiliki persamaan hak untuk mendapatkan akses informasi, eksistensi di ruang publik, akses pada pendidikan, kesempatan kerja, layanan kesehatan, layanan hukum, hak untuk berpolitik, dan hak bersuara dalam ruang-ruang domestik (farah.id, November 2018).
Menjadi perempuan memang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki. Kondisi ini turut memengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) perempuan Indonesia yang berada di bawah laki-laki dengan nilai 69,18, sedangkan IPM laki-laki adalah 75,96. Nilai ini menunjukkan realita kalau ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan masih cukup tinggi di berbagai aspek, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kekerasan yang dialami perempuan.
Di sisi lain, jumlah populasi perempuan di Indonesia berdasarkan sensus 2020 mencapai angka 133,54 juta jiwa atau 49,42 persen. Hampir setengah dari total penduduk di negara ini. Itu bermakna, potensi perempuan dalam meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia sangat besar (kemenpppa.go.id, Maret 2021). Namun, kuncinya ialah dengan memberikan ruang dan porsi yang sepadan kepada perempuan untuk mendukung eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat. Perempuan dan laki-laki sejatinya adalah dua entitas yang sama sehingga seyogianya bisa menjadi mitra dan membangun relasi yang sehat dan setara, alih-alih bersaing dan merasa lebih unggul dibandingkan entitas lainnya.
Hal itu telah dibuktikan oleh setidaknya dua puluh perempuan yang profilnya ditayangkan di perempuanleuser.com. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat telah membawa setitik perubahan. Menariknya, dilihat dari kondisi ekonominya, mereka sama sekali tidak merepresentasikan individu-individu filantropis yang notabenenya berasal dari kalangan hartawan. Itu artinya, kerja-kerja sosial yang mereka lakoni tidak digerakkan karena kemapanan ekonomi, melainkan oleh ketulusan dan keikhlasan yang berasal dari hati. Beranjak dari sesuatu yang disebut sebagai empati. Inilah yang membuat para penggerak perubahan ini tidak hanya rela berkorban tenaga, pikiran, dan waktu saja, tetapi juga mengorbankan materi dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan.
Badriah misalnya, meski sebelumnya dia adalah penyintas konflik dan KDRT, tetapi dia mampu bangkit dan kini mendedikasikan diri sepenuhnya pada program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dia berkecimpung di organisasi perempuan dan terlibat pada kegiataan-kegiatan yang melibatkan anak muda dalam kampanye stop perkawinan pada anak. Dengan mengendarai sepeda motor usangnya, ia rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk masuk ke desa-desa di Kabupaten Aceh Utara demi menemui perempuan-perempuan yang membutuhkan pertolongan. Mereka umumnya adalah perempuan penyintas konflik yang juga mengalami KDRT. Tak mudah membuat mereka mau bicara dan terbuka sehingga bisa ditelusuri apa yang menjadi akar dari persoalan mereka. Para perempuan itu terbiasa hidup dalam tekanan dan ancaman, mengalami kekerasan fisik atau psikologis, dan selalu dikondisikan untuk “menerima” keadaan. Mereka memahaminya sebagai kodrat perempuan.
Namun, berkat ketulusan dan empatinya, Badriah mampu mendengar dan mereka pada akhirnya mau berbicara. Dia tidak mendatangi mereka sebagai “petugas”, tetapi sebagai sahabat yang menawarkan jalan keluar dan keamanan. Bercermin dari masa lalunya yang suram, Badriah menjadi lebih mudah memahami; banyak perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tidak hanya membutuhkan dukungan, tetapi juga uluran tangan agar bisa bangkit.
Badriah juga menyediakan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan-perempuan dari kelompok rentan, ia mengadvokasi anak-anak yang menjadi korban predator seksual. Di ranah hukum, dia bahkan pernah mengadvokasi anaknya sendiri hingga ke meja hijau akibat kesewenang-wenangan oknum tertentu. Ia membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar-lebar bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya bersama-sama mencari jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi.
Bercermin dari apa yang dilakukan Badriah dan perempuan berdaya lainnya, kemapanan finansial tidaklah menjadi tolok ukur seseorang berdaya. Namun, terletak pada sebesar apa visinya untuk menciptakan perubahan, baik untuk dirinya sendiri atau lingkungannya. Seseorang yang (ingin) berdaya tahu kapan harus start untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu yang buruk, tahu kapan harus menebus semua yang tergadai demi mendapatkan akses pada pendidikan (baca: ilmu pengetahuan), hubungan yang baik dengan keluarga, bersosialisasi dengan lingkungan, dan membangun jejaring untuk mewujudkan eksistensinya.[]
Ilustrasi foto dari Pixabay
Semoga semakin banyak perempuan lainnya yang bisa berdaya, sehingga mereka tidak diperlakukan semena-mena oleh pihak lain.
BalasHapusAamiin...
Hapus