DI BANTARAN sungai dengan pohon cemara berderet-deret, Nyak
Ni duduk menyandarkan punggungnya pada salah satu pohon. Matanya nanar
memandangi masjid kubah bawang berwarna hijau di seberang sungai. Kontras
dengan air sungai yang sedang keruh. Hujan semalam tidak hanya membuat sungai
menjadi serupa kopi susu, tetapi juga telah membuat rumahnya menjelma seperti
sungai. Kopi susu. Minuman mewah yang sering diidamkan Nyak Ni. Mewah, sebab
untuk meraciknya membutuhkan susu. Dan ibunya tak pernah sanggup membeli susu.
Nyak Ni suka menyendiri di bantaran sungai yang membelah
kota menjadi dua bagian. Selain angin yang silir melenakan, duduk di sini
menjadi hiburan tersendiri baginya. Dia sering hanyut pada pemandangan
kapal-kapal nelayan yang parkir di pinggir sungai. Warnanya merah, kuning,
biru, dan hijau. Semarak.
Namun, setiap kali duduk di bantaran sungai ini, pikirannya
selalu terusik oleh percakapan antara dia dengan ibunya pada suatu siang.
"Kau lihat perahu itu, Ni?"
"Yang mana, Mak?"
"Itu!" Ibunya, Maneh, menyeru sembari telunjuknya
mengarah pada perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai, warnanya kusam,
diikat pada sebatang bakau yang tumbuh di pinggir sungai. Perahu itu
bergerak-gerak pelan mengikuti riak-riak air yang diempas angin. "Lalu kau
lihat yang di sana!"
Sekali lagi Maneh mengarahkan telunjuknya pada deretan
kapal-kapal bertenaga mesin yang parkir di sisi lain sungai. Beberapa ABK
terlihat bergerak-gerak di atas kapal. Mungkin mereka sedang membersihkan kapal
atau sedang mengisi bahan bakar.
"Kenapa dengan kapal-kapal itu, Mak?"
Maneh menghela napas. Dia tak ingin buru-buru menjawab
pertanyaan sulungnya. Dia ingin menikmati kebersamaan itu. Jarang-jarang mereka
punya waktu berdua untuk bercengkerama seperti ini. Kemiskinan telah merenggut
banyak hal dari mereka, termasuk waktu bersama anak-anak. Maneh menghela napas.
Berkali-kali. Mungkin sedang melakukan relaksasi sembari menemukan kata-kata
yang tepat untuk menjelaskan.
"Lautan yang luas itu kehidupan, Ni. Sebuah dunia. Di
sana ada manusia, sama seperti di tempat kita sekarang. Kapal-kapal itu adalah
manusianya. Juga perahu yang tertambat di sana.”
Nyak Ni menoleh pada ibunya. Sulit baginya untuk mencerna.
Yang dia tahu, di laut itu hanya ada ikan, cumi-cumi, udang, mungkin juga
monster, tetapi manusia ....
“Laut adalah tempat bertarung. Musuhnya adalah gelombang.
Kapal-kapal itu bertarung dengan gelombang, yang kalah... akan tenggelam.”
“Dimakan hiu, Mak? Atau Paus?” timpalnya.
Maneh menoleh. Ditelisik mata sulungnya, masih memancarkan
cahaya yang sehangat mentari pagi. Cahaya itulah yang menjadi penggerak turbin
kehidupannya sejauh ini.
“Sedangkan perahu itu, riak sungai saja sudah membuatnya
bergoyang-goyang, Ni, bagaimana mungkin bisa bertahan di lautan luas?”
Nyak Ni melihat mata ibunya berkaca-kaca. “Seperti perahu
itulah kita, kamu, ayah, Mak, dan adik-adikmu.”
Sampai di sini Nyak Ni mulai paham apa yang dibicarakan
ibunya. Entah mengapa, dia merasa kata-kata tadi begitu mengiris hatinya.
Mengiris perasaannya sebagai anak.
“Apakah kita akan tenggelam, Mak?” pertanyaan itu,
sekonyong-konyong saja keluar dari mulutnya.
Maneh tidak menjawab, hanya mengusap lembut pipi gadis
kecilnya.
Pertanyaan itulah yang kembali mengusiknya saat ini. Padahal
percakapan dengan ibunya itu sudah lama sekali, tetapi mengapa sangat sulit
terhapus dari ingatannya. “Apakah kita akan tenggelam, Mak?” air matanya
menitik saat mengulang kembali pertanyaan itu di hatinya.
Saat hujan turun sangat lebat seperti semalam, Nyak Ni yang
sudah tertidur jadi terbangun karena tempias yang hinggap ke wajahnya. Rumah
tempat mereka tinggal, ah, kata-kata rumah terdengar begitu mewah dan istimewa.
Kenyataannya, tempat mereka berteduh lebih cocok disebut gubuk. Atapnya hanya
beberapa lembar seng lapuk yang ditutupi dengan spanduk bekas. Dindingnya
kayu-kayu bekas hasil pulungan ibunya. Ada dipan tempat biasa mereka tidur dan
istirahat sehari-hari. Rumah itu tidak dilapisi semen atau pun tegel. Setelah
hujan reda jadi tak ada bedanya dengan sawah.
Namun, itu masih terasa nyaman bagi Nyak Ni ketimbang aroma
busuk yang nyaris saban waktu terhirup oleh hidungnya. Tak jauh dari situ
memang terdapat tempat pembuangan akhir yang sangat luas. Sampah-sampah warga
kota diangkut dengan truk-truk besar saban hari. Nyak Ni mengutuk TPA itu setiap
kali ia bernapas. Sedangkan ibunya, selalu bersyukur karena di sanalah tempat
ia mengais rezeki. Tapi itu dulu, sebelum ibunya banting setir menjadi pembakar
arang milik salah seorang juragan. Meski selalu pulang dalam keadaan coreng-moreng,
tetapi sejak bekerja di dapur arang, tidak ada bau busuk yang ikut menempel di
baju ibunya.
Kantuk Nyak Ni benar-benar hilang saat disadari tanah di
rumahnya menjadi basah. Awalnya hanya serupa rembesan dari sela-sela dinding,
lama-lama alirannya menjadi semakin deras seiring dengan hujan yang kian lebat.
Nyak Ni bangkit menyusul ibunya yang bergerak cepat memindahkan barang barang
ke atas dipan. Atau digantung di mana pun yang memungkinkan. Sebuah kompor
minyak, karung plastik berisi beras, peralatan makan, dan printilan lain. Rumah
menjadi berisik dan penghuninya seperti anak tikus yang kocar-kacir. Dua adik
Nyak Ni malah kegirangan dan sibuk bermain air.
“Mak, ayah ...”
Nyak Ni ingat ayahnya. Sudah sebulan ini ayahnya tidak tidur
di rumah. Juga tidak pernah pulang ke rumah. Lelaki renta itu selalu tidur di
pondok yang ada di ujung jalan. Saat hujan deras seperti ini, tentu ayahnya
sangat kedinginan. Kalau anginnya kencang, malah pondoknya bisa-bisa
diterbangkan.
"Ayah enggak apa-apa.”
Maneh menenangkan hati putrinya. Dia pun bukannya tidak
peduli pada Noh. Dia kasihan pada lelaki itu. Tapi apa boleh buat, mereka sudah
sepakat untuk mengurus hidup masing-masing. Noh bukan lagi suaminya.
Namun, demi dilihatnya hujan yang semakin deras, Maneh
mematung di jendela. Air di rumahnya sudah tergenang di atas mata kaki. Matanya
lurus menatap ke ujung jalan, dia berharap agar hujan bisa reda, tetapi yang
tampak hanya butir-butir hujan yang menghalangi pandang. Lelaki itu, Noh, pasti
sangat kedinginan. Jangan-jangan Noh pun belum makan. Bagaimana kalau Noh mati
karena kelaparan dan kedinginan?
Seliris perasaan bersalah menyelinap dalam jiwa Maneh. Andai
saja, andai saja dia tidak mengiyakan permintaan Noh saat itu, tentu Noh tak
perlu tidur di pondok ujung jalan itu sebulan terakhir ini. Setidaknya masih
ada tempat berteduh yang memadai.
“Aku tidak ingin terus-terusan jadi beban kamu, Maneh.”
Kata Noh tiap kali mengutarakan niatnya untuk berpisah dan
Maneh selalu menolaknya. ''Kamu lihat sendiri bagaimana kondisiku, Neh. Aku
sudah tua, aku penyakitan, kamu tidak bisa bekerja karena harus mengurus aku,
sedangkan anak-anak juga perlu diberi makan. Aku tidak bisa memaafkan diriku,
Neh. Aku malu, aku suami yang tidak berguna. Kalau kita berpisah, setidaknya
bisa meringankan beban kamu, kamu tidak perlu mikirin aku, bisa bekerja dengan tenang..."
Pada akhirnya mereka berpisah juga. Namun, setiap kali Maneh
melihat Noh tergeletak di pondok itu, setiap kali pula hatinya terluka. Dia
merasa nasibnya tak ubahnya seperti perahu kecil yang tertambat di pinggir
sungai itu. Terombang-ambing. Untuk menahan riak sungai saja tak mampu. Konon
lagi gelombang laut?
Saban hari Maneh pergi ke dapur arang dengan air mata yang diperam
di sanubarinya. Sewaktu-waktu pecah saat ia sedang sendirian. Entah di waktu
salat, atau di saat menjelang tidur.
Nyak Ni tersentak dari lamunannya. Ia memandangi perahu
kecil yang tertambat di pinggir sungai. Dia merasa perahu itu adalah dirinya.
Sendiri. Ringkih. Tak berdaya. Tak ada yang peduli. Ibu dan ayahnya juga sudah
tak lagi bersama. Meski setiap hari bisa menemui ayahnya di pondok, tetapi
tetap ada yang hilang di hatinya.
Nyak Ni kembali teringat pada ayahnya. Dia belum melihat
ayahnya sejak hujan semalam. Apakah semalam ayahnya kehujanan? Kedinginan? Apa
ayahnya sudah makan? Kalau belum, dia akan pulang untuk mengambil sepiring
nasi. Ibunya tidak akan marah.
Nyak Ni bangkit setelah mengambil sebutir kerikil dan
melemparkannya ke sungai. Tumbukan kerikil di permukaan air memunculkan
gelombang berbentuk lingkaran. Kemudian hilang perlahan-lahan.
Ia menyusuri bantaran sungai dan bergegas menuju ke pondok
tempat ayahnya tinggal selama ini. Selama itu, pikirannya terus dilanda
kecamuk. Mengapa ayah ibunya berpisah, padahal Nyak Ni tidak pernah melihat
mereka bertengkar. Nyak Ni ingin menanyakan itu pada ayahnya. Ia pun
mempercepat langkah sambil sesekali melompat menggapai dahan cemara.
Untuk pertama kalinya dia merasa langkahnya sangat ringan.
Hatinya terasa lebih lapang. Di kejauhan, dia melihat ayahnya masih meringkuk
di pondok. Langkahnya semakin cepat. Saat jarak semakin dekat, Nyak Ni melihat
ayahnya masih meringkuk di pondok dan berselimut selembar sarung usang. Kakinya
mengintip dan tampak pucat.
Nyak Ni sampai di pondok. Ia duduk di samping ayahnya.
Perlahan digoyangkan tubuh ayahnya. Tak ada Jawaban. Digoyangkan sekali lagi
sambil memangilnya, tetap tak ada jawaban.[]
Peulanggahan, Oktober 2021