SAYA telah menamatkan buku bacaan pertama di tahun 2022 ini. Hanya dalam waktu dua hari. Dalam dua kali duduk. Ini bisa dibilang fantastis dan menjadi "rekor" pribadi. Musim liburan kali ini saya tidak ke mana-mana. Tahun-tahun sebelumnya juga tidak ke mana-mana karena di keluarga kami memang tidak ada tradisi liburan. Saya pribadi jika waktu sedang longgar lebih suka menghabiskannya di rumah saja. Saya suka jalan-jalan, tapi saya tidak suka jalan-jalan ke tempat yang sama berulang-ulang. Terlebih yang di dalam kota. Sampai sekarang pun saya belum menemukan definisi yang tepat untuk jalan-jalan versi saya.
Di Banda Aceh dan Aceh Besar misalnya, bisa dihitung jari jumlah saya mengunjungi tempat-tempat wisata di sini. Atau tempat-tempat perbelanjaan modern yang jumlahnya sangat terbatas. Saya tidak begitu menikmati keramaian. Bikin capek jiwa raga. Yang paling sering saya datangi, ya, warung kopi, itu pun karena tidak ada alternatif lain. Karena itu pula, selama libur akhir tahun hingga awal tahun yang terbentur dengan weekend ini saya habiskan di rumah saja.
Saya menghabiskan waktu di rumah dengan melakukan aneka pekerjaan rumah tangga, menonton televisi, memaksimalkan istirahat, menonton chanel YouTube, berselancar di Wikipedia, dan, tentu saja, membaca buku fisik. Persediaan buku untuk dibaca selalu ada. Karena hasrat untuk menumpuk buku selalu lebih besar dibandingkan untuk melahapnya. Beberapa buku bahkan lembarannya mulai menguning, tetapi isinya belum sempat ditamatkan.
Menjelang akhir tahun lalu, ada beberapa koleksi buku baru yang bertambah. Di antaranya Gong Smash! yang ditulis Gol A Gong dan orang tak dikenal yang ditulis oleh Nazar Shah Alam. Gong Smash! saya tamatkan beberapa hari sebelum pergantian tahun. Saya pikir buku itu menjadi pemacu yang bagus untuk mendongkrak energi menyambut tahun baru. Membaca serupa dengan aktivitas rekreasi. Jadi, menyesuaikan bahan bacaan dengan waktu yang tersedia juga penting.
Saya memilih menikmati membaca orang tak dikenal sebagai rekreasi di awal tahun. Pertama, tentu saja karena proximity alias kedekatan. Istilah ini barangkali lebih familier dalam dunia jurnalistik ketika seorang jurnalis perlu meramu berita-berita yang mengandung kedekatan dengan pembacanya untuk menarik pembaca. Unsur-unsur ini mencakup geografis, psikologis, maupun ideologis. Faktor ini pula yang membuat saya memutuskan membaca buku Gong terlebih dahulu ketimbang buku yang ditulis oleh Nazar Shah Alam. Supaya saya bisa menikmati karya vokalis Apache 13 itu tanpa tergesa-gesa. Saya ingin menyesapi dan meresapi setiap alur dan kisah yang dituliskan.
Saya bukan penganut aliran speed reading. Yang membaca hanya untuk mengetahui garis besarnya saja. Seperti sajian di atas meja, setiap kalimat yang tertera di atas kertas pastilah lahir dari proses yang panjang. Melibatkan kejernihan pikiran, kelincahan berimajinasi, dan ketepatan dalam memilih dan memilah kata. Dengan begitu, kalimat demi kalimat akan menjadi padu, selaras, estetis. Maka, jika menemukan kata atau kalimat yang indah, saya akan berhenti sejenak, menutup mata, lalu membiarkan pikiran berkelana dengan kata atau kalimat tersebut.
Lebih dari itu, dengan dasar akademik Nazar yang alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tentu saya ingin "mencari" sesuatu dari novel ini. Sebut saja semacam metafora-metafora yang dipilih Nazar. Saya tidak ingin menceritakan apa yang saya temukan, karena setiap pembaca tentu memiliki pencarian yang berbeda-beda.
Sebagai pembaca yang notabenenya dibesarkan dalam situasi konflik bersenjata. Saya mengalami kedekatan yang benar-benar dekat dengan kisah dalam novel ini, tidak saja soal lokasi kejadian, tetapi juga secara psikologis maupun ideologisnya. Awalnya saya menduga Nazar akan menyamarkan nama-nama daerah yang menjadi latar cerita seperti yang lazim ditemui dalam novel-novel yang mengadaptasi suatu peristiwa bersejarah--misalnya Lampuki karya Arafat Nur. Dengan cara ini, pembaca akan dibuat bebas berkelana dan menyesuaikan lokasi-lokasi tersebut dengan segenap kemampuannya dalam berimajinasi. Inilah salah satu yang membuat saya senang membaca (novel), selalu ada ruang bagi pikiran saya untuk berimajinasi.
Nazar ternyata tidak melakukan itu. Dia menyebut dengan jelas nama-nama daerah yang menjadi setting dalam novelnya. Hal ini justru membuat pembaca (saya) seperti melakukan tapak tilas dan menjadi pengikut setia sang tokoh utamanya, Bastian. Dari barat selatan, melalui karakter Bastian, Nazar mengajak pembaca hingga sampai ke Lamteuba di Aceh Besar--kawasan yang sulit melepaskan diri dari imej ganja. Lalu menyaksikan kamuflase Bastian menjadi petani kunyit yang hidup serumah dengan istri gadungan, Loria.
Sebelumnya saat di Rigaih, Aceh Jaya, Bastian juga pernah serumah dengan istri gadungan yang lain untuk sebuah misi sebagai OTK. Seseorang yang hanya dia sebut sebagai Zu. Saya menunggu-nunggu kekhilafan Bastian atau "istrinya" yang tiba-tiba menempel di tubuh "suaminya" seperti cecak. Tapi, meski tangan mereka sama-sama berlumur darah dan identitas "OTK" membuat mereka harus menyaru sebagai suami istri, serta perasaan mereka sedikit terkontaminasi dengan hal-hal yang bersifat melankolia, tetapi agaknya mereka tetap menjunjung "profesionalitas". Kontaminasi perasaan antara Bastian, Loria, dan Zu menjadi garam yang menggurihkan cerita.
Lewat Bastian pula, kita bisa melihat bagaimana transformasi pemuda-pemuda sangak di masa konflik yang putus sekolah, tidak punya keahlian khusus, tetapi karena sepercik dendam yang terus menyala di sanubari mereka, mampu menjelma menjadi sosok yang (seolah-olah) berwibawa, merasa diri seorang hero, ingin menyelamatkan bangsa, dan karenanya menuai simpatik dari warga. Pada akhirnya malah menjadi boneka dari orang-orang pintar, tetapi licik.
Kedua, saya menemukan sisi lain dari kisah dalam buku ini. Sisi yang barangkali hanya menjadi "sampingan" saja dalam cerita-cerita bertema konflik Aceh. Petunjuknya ada di judul novel ini. Istilah "orang tak dikenal" atau OTK memang sangat akrab di telinga orang Aceh saat masih konflik. Kejadian-kejadian tanpa pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang berkonflik (GAM-RI) selalu ditujukan kepada OTK ini. Pertanyaan yang selalu mengusik ruang sehat dan kewarasan kita adalah, "Siapa OTK itu?"
Dalam novel ini--meskipun kita tahu ini hanyalah kisah fiksi yang tidak bisa ditelan mentah-mentah sebagai sebuah kebenaran--pembaca mendapat gambaran tentang OTK, bagaimana mereka menjadi OTK, untuk siapa mereka bekerja, apa motivasinya, apa yang mereka kerjakan, bagaimana mereka bekerja, dan ke mana uang yang mereka dapatkan sebagai OTK itu dihabiskan. Tidak mengejutkan jika ada dalang di belakang para OTK ini. Setiap dalang memiliki OTK-nya masing-masing. Mereka dipelihara dan difasilitasi. Setiap OTK memiliki target masing-masing dan di lain waktu mereka sendiri yang menjadi target (untuk dihabisi). Sialnya, korban para OTK ini tak pernah mendapat peradilan dunia. Siapa pula yang mau repot-repot mengurai benang kusut untuk membuka kedok atau identitas OTK?
Potongan demi potongan dalam cerita ini membuat saya memutar ulang berbagai memori masa lalu konflik Aceh. Gedung-gedung sekolah dan rumah warga yang dibakar, orang-orang tak bersalah yang diculik dan dibunuh dengan keji, perampokan, berbagai peristiwa kontak senjata, termasuk kisah-kisah berangta yang membumbui sederet peristiwa tersebut, seperti lakon sebuah film. Sebuah film, tentu ada skenario dan sutradaranya 'kan? Bedanya, jika dalam novel ada konklusinya, maka di kehidupan nyata semuanya serba di awang-awang. Sebuah lakon yang menguatkan pemeo "perangnya ecek-ecek, matinya beneran".
Entah mengapa, nama-nama tokoh dalam novel ini, seperti Ampon Mustafa, Tuan Yusuf, Tu Sem, berikut tempat tinggal mereka yang disebut sebagai istana, membuat pikiran saya menjadi liar dan mengait-ngaitkannya dengan beberapa nama dan kejadian di dunia nyata. Merekalah sutradaranya. Seseorang (geng) yang sangat dekat dengan kita, berjubah sebagai pelindung atau pemberi rasa aman, tapi ternyata lintah yang tega mengisap darah bangsanya sendiri.
Kisah dalam buku ini seolah menegaskan kembali, dalam kondisi sesempit apa pun, selalu ada orang yang mengambil keuntungan, ada orang yang dijadikan tumbal dan dibodohkan sehingga mudah dicucuk hidungnya, dan banyak yang menjadi pion tanpa sadar karena terbuai dengan sedikit sanjung puja semacam label "pejuang" atau "pembela tanah air".[]