November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.
Kamis, 24 Februari 2022
Rabu, 02 Februari 2022
Lingkungan Rusak Perempuan Binasa
Rubama @Ihan |
Cerita-cerita tentang dampak kerusakan lingkungan hidup selama ini masih dipotret sebatas "peristiwa" bencana alam semata. Seolah-olah terjadi begitu saja karena faktor alam tanpa terlibat "campur tangan" manusia. Kenyataannya, bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, atau kekeringan tidak akan terjadi secara masif jika manusia bisa menjalin harmonisasi dengan alam. Tidak menjadikan lingkungan sebagai objek komoditas yang dieksploitasi terus-menerus. Lebih dari itu, masih minim yang memotret bagaimana relevansi antara lingkungan dengan keberlangsungan hidup dan kualitas perempuan.
Hal ini menjadi perbincangan serius dalam focus group discussion yang diselenggarakan Perempuan Peduli Leuser (PPL) dan bekerja sama dengan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh pada Selasa, 1 Februari 2022. Diskusi ini berlangsung di Gampong Nusa. Sebuah desa yang apik dengan lanskap berupa gugusan perbukitan, persawahan, dan sungai yang terhubung ke laut. Desa yang berhasil disulap sehingga menjadi desa wisata dan baru-baru ini mendapatkan Anugerah Desa Wisata Kategori Homestay dalam Anugerah Pesona Indonesia 2022.
Dengan berkunjung ke desa ini, peserta menjadi semakin terbuka wawasannya, bahwa ketika alam dijaga dan dirawat dengan baik, maka keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat setempat bisa lebih besar dan bersifat jangka panjang. Perempuan di desa setempat juga menjadi terberdayakan.
Adalah Rubama dan Refa, dua tokoh utama yang didapuk sebagai narasumber dalam FGD tersebut. Meski sama-sama bergiat di lingkungan, keduanya memiliki latar belakang aktivitas yang berbeda. Rubama bekerja untuk Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Kerja-kerjanya di lapangan lebih menitikberatkan pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, khususnya perempuan sebagai upaya penyelamatan lingkungan atau konservasi. Rubama juga tercatat sebagai warga asli di Gampong Nusa dan perubahan desa tersebut tak terlepas dari kerja kerasnya belasan tahun silam.
Sedangkan Refa, pengurus FJL Aceh dan sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis. FJL sebagai salah satu komunitas tempat para wartawan di Aceh berkumpul, fokus mengangkat dan mengawal pemberitaan terkait dengan isu-isu lingkungan seperti perdagangan satwa, kematian gajah sumatra, konservasi laut, dan lain-lain. Adapun para peserta FGD ini terdiri atas anggota PPL dan FJL. Mereka duduk di bawah teratak yang didirikan di pinggir sungai. Silir angin yang bebas berlalu-lalang menghalau hawa panas di tengah cuaca terik. Peserta dan narasumber berdiskusi sambil mengudap kacang rebus dan buah-buahan potong.
Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator PPL, Ayu 'Ulya, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi ruang kritis perempuan untuk saling bertukar pengetahuan, dan yang paling penting adalah seluruh peserta bisa mendapatkan persepsi yang sama bahwa memiliki korelasi yang erat antara (kerusakan) lingkungan dengan perempuan. Kolaborasi antara jurnalis dan warga diharapkan bisa semakin menggaungkan berbagai problem perempuan akar rumput yang muncul akibat kerusakan lingkungan.
Rubama yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan masyarakat, memaparkan lebih banyak potret buram kehidupan perempuan yang berhasil ia tangkap di lapangan. Kerusakan lingkungan maupun berkurangnya lahan sebagai sumber penghidupan karena terjadinya homogenisasi atau penyeragaman jenis tanaman, telah menimbulkan kemiskinan yang berdampak sangat besar terhadap perempuan. Perempuan mengalami beban ganda (double burden) karena harus bekerja mencari nafkah dengan tetap melakukan pekerjaan domestik.
Homogenisasi lahan kata Rubama, hanya mampu dilakukan oleh individu-individu dengan modal yang besar. Hal ini membuat tutupan hutan yang selama ini menjadi tempat bagi masyarakat untuk bergantung hidup, berubah menjadi areal perkebunan milik segelintir orang. Alhasil, masyarakat semakin kekurangan ruang sebagai tempat mencari nafkah. Efeknya tidak bisa dianggap sederhana, karena dengan berkurangnya sumber penghasilan bisa memicu tekanan psikologis yang berdampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
"Ada banyak hal yang kami capture di lapangan ketika bicara lingkungan hidup dan perempuan," kata Rubama mengawali pembicaraanya, "ada banyak yang bikin sesak dada," katanya lagi.
Di antara yang sukar lekang dari ingatan Rubama adalah tentang seorang ibu muda di pedalaman Kabupaten Bener Meriah, Gayo, yang kini berusia 21 tahun dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun. Kisah hidup ibu muda ini bisa dibilang memilukan. Menikah di usia yang sangat dini, usia yang seharusnya masih dihabiskan di bangku sekolah. Di hari dia melahirkan anak pertamanya, suami yang seharusnya mendampingi entah ada di mana. Di hari ketiga suaminya pulang ke rumah.
"Tapi dengan membawa perempuan lain dan menalak istrinya. Bayinya masih sangat merah. Itu salah satu kasus yang ada hubungannya antara kemiskinan (akibat berkurangnya ketersediaan ruang untuk hidup) dengan kemiskinan yang menghancurkan perempuan," ujarnya.
Di antara persoalan yang terjadi terkait pengelolaan SDA |
Contoh lain kerasnya hidup dialami perempuan di Aceh Singkil. Banyak perempuan di sana yang bekerja sebagai penjala ikan air tawar di sungai-sungai. Mereka mengayuh perahu menyusuri sungai, lalu melempar jala untuk menangkap ikan. Ikan-ikan itu kemudian disalai dan dijual untuk menopang ekonomi keluarga. Pekerjaan yang sangat berisiko tinggi.
Tutupan-tutupan hutan yang berkurang pun menjangkau wilayah-wilayah "haram" yang seharusnya dilindungi. Contohnya kata perempuan yang akrab disapa Ru ini, Kawasan Ekosistem Leuser yang terbentang di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara, dan 98 persennya berada di Aceh. Kawasan ini terus mengalami deforestasi yang jika dilihat setiap waktu maka ada saja pohon yang tumbang dan kawasan yang semakin plontos. Kawasan hutan yang harusnya cenderung gelap ketika dilihat dengan GIS, justru menjadi putih. Ilustrasi sederhananya mungkin seperti kita melihat hasil rontgent paru-paru yang sudah tidak sehat lagi. Penyebabnya tentu saja macam-macam. Ada yang untuk kepentingan warga hingga pembangunan.
Dampak dari terjadinya kerusakan di hulu tidak hanya mengancam perempuan-perempuan yang ada di wilayah sekitar hutan saja. Namun, juga mengancam hajat hidup orang banyak di daerah hilir. Misalnya, kerusakan wilayah hutan yang menjadi kantong-kantong sumber mata air telah memicu terjadinya kekeringan. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih. Lagi-lagi, perempuan selaku ibu rumah tangga yang notabenenya menghabiskan waktu lebih banyak di rumah akan kesulitan mendapatkan air bersih untuk memasak atau mencuci. Sejauh apa kita berpikir, bahwa kerusakan sumber mata air di hulu membuat orang-orang kota akan bergadang di malam hari? Atau tidak mandi saat pergi bekerja di pagi hari? Bahkan mungkin harus bertayamum untuk bisa melaksanakan kewajiban salat lima waktu?
Begitu juga saat terjadinya bencana alam. Penanganan yang berperspektif gender tampaknya masih jauh panggang dari api. Misalnya, bantuan yang disalurkan belum menjangkau kebutuhan perempuan seperti perlunya memasukkan tampon atau pembalut dalam daftar bantuan. Begitu juga tenda-tenda pengungsian yang tidak aman dan nyaman bagi perempuan dan anak, juga berpotensi munculnya kekerasan berbasis gender di lokasi bencana.
Rubama menjelaskan, perempuan perlu terlibat lebih jauh dalam upaya penyelamatan lingkungan. Keterlibatan mereka tidak cukup pada sebatas partisipasi, tetapi sudah saatnya beraksi dan melakukan kontrol terhadap eksploitasi lingkungan atau sumber daya alam. Praktik baik ini sudah dilakukan oleh sekelompok perempuan di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Mereka pada akhirnya secara sukarela menjadi ranger demi menyelamatkan hutan yang akan diwariskan untuk anak cucu mereka ke depan. Namun, apa yang sebelumnya terjadi di desa ini sehingga para perempuan mengambil kendali?
"Pada tahun 2015 menjadi catatan sejarah bagi mereka, saat itu terjadi banjir bandang di Damaran Baru. Mereka sadar ada yang rusak di hulu, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Kemudian muncul keinginan dan kebutuhan untuk mengelola kawasan hutan agar tidak rusak," kata Ru lagi.
Di sinilah HAkA sebagai sebuah lembaga berbasis swadaya masyarakat memainkan perannya untuk menguatkan kapasitas perempuan di level akar rumput. Hasilnya memang tidak instan, tetapi berkat kegigihan dan keikhlasan para perempuan tersebut, "Damaran Baru kini menjadi referensi baik di Aceh maupun nasional dalam hal keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lingkungan," ujarnya.
Di sisi lain kata Ru, hal ini juga perlu menjadi renungan bagi banyak pihak, ketika peluang dan akses kepada perempuan dibuka, ternyata mereka bisa menunjukkan kecakapannya. Terbukti perempuan mampu bekerja dengan otak, alih-alih mengedepankan otot. Masyarakat di tingkat tapak, khususnya perempuan, perlu terus diberi penguatan karena ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup, mereka berada pada level pertama dari kelompok yang terkena dampak.
"Partisipasi perempuan tidak hanya sebatas hadir, duduk, dan mendengarkan, tetapi harus ada aksi. Sekarang bukan lagi saatnya berpartisipasi, tetapi sudah saatnya merebut," ujar Ru.
Refa mengamini apa yang disampaikan oleh Ru. Ia tak menampik jika isu-isu lingkungan, apalagi yang berkaitan dengan perempuan memang belum mendapat porsi yang sesuai di media arus utama. Hal ini, selain karena jurnalis umumnya mengawal banyak isu sekaligus, juga karena minimnya jurnalis yang berperspektif lingkungan. Di sinilah kata Refa, FJL hadir sebagai jembatan untuk peningkatan kapasitas jurnalis agar lebih peka terhadap isu-isu lingkungan.
Produk-produk yang lahir dari tangan-tangan cekatan para jurnalis tidak saja akan meningkatkan perhatian publik terhadap suatu isu, tetapi juga akan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saat ini para jurnalis yang terhimpun di FJL sedang fokus mengawal kasus hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi di Aceh.
"Di FJL ada beberapa isu yang menjadi fokus saat ini, di antaranya marine, perdagangan dan perburuan satwa dilindungi," kata Refa.
Menarik juga menyimak pengalaman Cut Nouval, anggota FJL yang saat masih kuliah dulu pernah melakukan KKN di sebuah desa yang bisa dikatakan kesadaran warganya untuk kebersihan masih sangat rendah. Sumur-sumur warga berada tidak jauh dari lokasi tumpukan sampah sehingga mencemari kualitas air sumur. Mengonsumsi air yang tercemar bertahun-tahun telah berdampak pada lahirnya anak-anak dengan kualitas kesehatan yang rendah. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengedukasi masyarakat. Persoalan lingkungan kata Cut Noval, juga menjadi masalah serius bagi masyarakat urban. Tidak hanya berdampak pada ekonomi, lingkungan juga berpengaruh pada kesehatan individu.
Hal-hal semacam inilah yang menurut Refa perlu banyak dipotret. Dalam perjalanannya bersama rekan-rekan jurnalis beberapa waktu lalu, Refa melihat ada masyarakat yang terpaksa membabat hutan di area-area "terlarang" demi bertahan hidup. Di sisi lain ia juga melihat ada ranger yang sedang berupaya merestorasi lahan untuk menyelamatkan lingkungan. Kehidupan yang ideal tampaknya memang hanya sebuah utopia.[]