Kamis, 28 Desember 2023
Selasa, 15 Agustus 2023
Ayah, Ibu, dan Anak Bernama Damai
TERNYATA sudah delapan belas tahun usia perdamaian Aceh. Sejak GAM dan Pemerintah RI menandatangani selembar surat keramat di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.
Dalam imajinasi saya, perdamaian itu wujudnya adalah seorang anak. Maka sekarang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Mungkin kelas satu, bisa jadi kelas dua. Uhm, dalam imajinasi saya juga, anak itu adalah anak laki-laki. Maka di usia segitu biasanya juga sudah mulai (mengenal) merokok.
Lalu siapa orang tua anak ini? Ya, tentu saja Indonesia dan Aceh. Indonesia, kita taruhlah sebagai ayah yang perkasa. Yang dulu pernah memohon-mohon agar bisa menikahi ibu yang mestinya tak perlu tersakiti andai tak menerima atau terbuai bualan ayah.
Tapi, ibu perempuan, terkadang ia menjadi amat emosional. Sedikit saja menyentuh sisi paling femininnya, dengan bumbu-bumbu romantisme dan cerita utopia tentang kesetiaan, mudah sekali luluh.
Tapi, ayah laki-laki. Ucapannya sering seperti telur di ujung tanduk. Sedikit saja lengah, kata-kata manis itu pun meleset, melesat entah ke mana.
Di puncak rasa frustrasi dan kekecewaannya, ibu ingin bercerai, tetapi ayah pun berusaha mempertahankan mati-matian agar tidak berpisah.
Bagi ibu, berpisah berarti memperjuangkan harga diri yang selama ini diinjak-injak oleh yang semestinya menjadi pelipur lara.
Bagi ayah, tetap bersama ibu juga artinya memperjuangkan harga diri agar muruahnya sebagai laki-laki tetap terjaga. Tetapi, kita curiga, harga diri ayah terletak pada harta yang ibu punya.
Dan dalam kondisi mati-matian itu, ayah bukannya menunjukkan sikap baik, tapi cenderung represif. Bukan cenderung, melainkan memang represif. Ayah sangat ringan tangan. Hobinya memang mengancam. Mungkin memang ada sedikit darah-darah tertentu dalam saluran nadinya. Ia mudah murka.
Ibu pun, tak mau kalah. Ia melempari ayah dengan piring, atau gelas, atau kobokan untuk menunjukkan bahwa dirinya berdaya. Tangan lawan tangan. Begitu prinsipnya. Mungkin pun dalam darah ibu ada mengalir satu dua zat-zat yang lain. Sehingga sering pula dia menyebut-nyebut dirinya sebagai “yang terlebih”.
Sampai akhirnya suara ribut-ribut itu mengusik tetangga. Mereka pun akhirnya melibatkan diri. Sebagai tetangga, terkadang memang susah melawan desakan moral di dalam diri kita. Atas nama manusia, kita memang sering iba, empati, yang anehnya tidak dirasakan oleh dua orang yang sedang berselisih. Alhasil satu dua tetangga yang ingin menolong mental. Salto dengan teratur. Syukur-syukur tidak kena mental karena menghadapi dua manusia bebal.
Ini memang dua manusia keras kepala dengan ego setinggi Gunung Everest. Sedalam Palung Mariana. Sampai akhirnya, muncul seorang tetua dari ujung kampung, yang barangkali, karena sudah tua, pengalamannya banyak, sehingga ibu dan ayah sedikit melunak dan mau menerima kehadiran mereka hingga di beranda rumahnya.
Tapi, dalam kondisi melunak itu pun, mereka tetap masih gontok-gontokan. Tak peduli pada kepala yang benjol, atau paha yang memar-memar, yang penting tetap merasa diri paling benar. Kemudian terjadilah banjir besar. Rupanya ayah dan ibu sama-sama tak bisa berenang. Dan karena tidak bisa berenang itu rupanya kewarasan mereka kembali. Mereka dulu memang orang waras, tetapi entah kenapa belakangan jadi sangat gila.
Saat mereka waras, nasihat-nasihat dari tetua di ujung kampung itu lebih gampang masuk ke otak mereka. Tak lagi banyak cincong, tanpa alasan ini alasan itu, pokoknya mereka tak jadi bercerai. Sebagai bukti, ditandatanganilah selembar kertas keramat itu. Kelak ketika mereka berselisih, kertas keramat itu pula yang sering menjadi sebab musababnya.
Konsekuensi dari gagalcerai itu adalah lahirnya damai. Yang hari ini usianya tepat delapan belas tahun.
Bagi orang tua yang sudah sepuh, apalagi yang tak pernah berhasil menghalau curiga dari sanubari mereka, punya anak delapan belas tahun itu melelahkan. Laki-laki pula. Mungkin sedang bergajul-bergajulnya. Apalagi kalau sejak awal sudah salah asuh, yang berakibat pada salah arah. Dibilang A dijawab B, dibilang E dikira F.
Jadi, kalau banyak yang menaruh harap pada anak laki-laki seusia delapan belas tahun, mungkin kita perlu bilang hooo hooo tunggu dulu, jangan terlalu punya ekspekstasi lebih. Cebok saja belum beres dia. Mungkin pun, seperti anak lelaki satu-satunya: buet han geuyue, boh han geukoh. Ya sudah, begitu terus sebagaimana adanya. Syukur-syukur dia tak selamanya menetek pada ibunya.
Jadi, meski usia perdamaian Aceh sudah delapan belas tahun, apa yang bisa kita harapkan berubah dari keadaan itu? Karena dia telanjur lahir sebagai anak broken home, kita cuma bisa berharap dia tak salah langkah. Semoga![]
Selasa, 04 Juli 2023
Agar Rumoh Geudong Tak Jadi Dongeng
RUMOH GEUDONG adalah rumah milik seorang uleebalang (hulubalang) yang berdiri sejak tahun 1818 di Gampong Bili Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie. Rumah ini kemudian menjadi begitu lekat di ingatan masyarakat Aceh karena fungsinya di masa Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah.
Dalam rentang operasi tersebut sejak ‘89—‘98, rumoh geudong yang telah lama kosong dijadikan pos militer tanpa sepengetahuan pemiliknya. Dari sinilah semua bermula. Rumah yang menjadi salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Aceh itu akhirnya berubah menjadi “sarang maut”.
Seperempat abad kemudian, negara melalui pernyataan Presiden Jokowi pada Rabu, 11 Januari 2023, mengakui bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan satu dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh yang masuk 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dua lainnya, yakni peristiwa Simpang KKA (1999) di Aceh Utara dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan (2003).
Enam bulan setelah pengakuan tersebut, nama rumoh geudong kembali menjadi “buah bibir”. Kali ini bukan karena fungsinya, melainkan karena dia akan “diantar” ke peristirahatan terakhirnya nun di negeri dongeng. Sebagai gantinya, di atas tanah itu nantinya akan dibangun masjid. Sebuah bangunan yang ketika kita berada di dalamnya, maka kita akan lupa pada semua dendam dan beban hidup. Seiring dengan itu, perlahan-lahan ingatan kita tentang rumoh geudong pun memudar dengan sendirinya.
Saya di depan prasasti rumoh geudong di Gampong Bili Aroen, Kec. Geulumpang Tiga, Kab. Pidie pada 20 Agustus 2020. |
Sejarah kelam rumoh geudong sebagian besar sudah lama menjadi abu sejak masyarakat membakar rumah tersebut pada tahun ‘98. Namun, mereka punya alasan. Yarmen Dinamika—Wartawan Serambi Indonesia—sebagai saksi hidup yang sempat menyaksikan bara api terakhir di rumoh geudong bersama rekannya, Risman A. Rachman, mengatakan, pembakaran tersebut merupakan usaha masyarakat untuk mencegah kembali terjadinya penyiksaan di rumoh geudong.
Dalam diskusi Nestapa Duka Rumoh Geudong yang diselenggarakan Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (Fokusgampi) pada Sabtu malam (24/6/2023), Yarmen memutar ulang ingatannya 25 tahun silam. Suatu hari di bulan Agustus 1998, Biro Serambi Indonesia di Sigli mendapat telepon dari seorang pria. Telepon itu dijawab oleh Yarmen yang ketika itu baru tiba di biro tersebut karena ketinggalan rombongan Baharuddin Lopa yang hendak melakukan investigasi ke rumoh geudong.
Penelepon itu sebenarnya mencari Nona, wartawati Serambi di Sigli, tetapi Nona sudah berangkat dengan rombongan Baharuddin Lopa. Yarmen pun memperkenalkan dirinya sebagai wartawan Serambi. Kemudian si penelepon memberi tahu kalau mereka akan membakar rumoh geudong. “Kalau Abang mau melihat, datang sekarang! Kalau tidak, tetap akan kami bakar,” cerita Yarmen di hadapan puluhan anak muda yang mengikuti diskusi malam itu.
Yarmen sejenak ragu dengan informasi tersebut. Namun, setelah diskusi singkat dengan Risman, mereka memutuskan untuk menyewa labi-labi (angkot) dan segera pergi ke Bili Aron. “Begitu kami sampai di simpang itu, sudah terlihat api yang membara. Ketika tiba di lokasi, yang tersisa hanya beranda depan dan langsung saya potret dengan kamera poket,” ujar Yarmen.
Sebulan sebelum Baharuddin Lopa ke sana, sudah lebih dulu berkunjung Hari Sabarno yang pada tahun ‘97—’99 menjadi Ketua Fraksi ABRI MPR/DPR RI. Sebelum kunjungan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) itu, semua tahanan di rumoh geudong diungsikan sementara dan rumah tersebut dipoles sedemikian rupa untuk menghilangkan jejak kejahatan HAM. Namun, setelah kunjungan usai, para tahanan kembali dibawa ke rumoh geudong dan penyiksaan pun kembali berlanjut.
“Jadi, ketika Hari Sabarno datang ke sana, tidak ada tahanan di rumoh geudong sehingga terkesan apa yang disampaikan pegiat HAM atau jurnalis itu bohong. Masyarakat di situ sudah tahu, kalau pejabat datang, maka tahanan diungsikan. Atas dasar itulah masyarakat melakukan tindakan yang di luar perkiraan semua orang. Maka setelah kunjungan Baharuddin Lopa ke rumoh geudong, rumah itu dibakar supaya para tahanan tidak dibawa kembali ke rumoh geudong. Mereka sudah belajar dari pengalaman kunjungan Hari Sabarno,” kata salah satu penulis buku Aceh Bersimbah Darah itu.
Selain Yarmen, diskusi itu juga mendaulat Munawar Liza Zainal (juru runding GAM), Cut Asmaul Husna (aktivis perempuan asal Pidie), Masthur Yahya (Ketua KKR Aceh), dan Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh) sebagai pembicara. Semua pembicara sepakat bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan peristiwa sejarah yang tak boleh dilupakan, apalagi dimusnahkan. Kalaupun ingin dibangun sesuatu di atasnya, maka yang tepat adalah museum untuk merawat seluruh ingatan tentang apa yang pernah terjadi di sana. “Situs inilah yang kelak menjadi bukti bagi generasi selanjutnya bahwa ini bukan dongeng,” kata Cut Asmaul Husna.
Munawar Liza Zainal yang pernah menjadi wali Kota Sabang mengatakan, menghilangkan situs-situs konflik dengan dalih menghilangkan dendam merupakan penghinaan terhadap nalar manusia.
“Bisa tidak seseorang yang diperkosa atau dibunuh ayahnya disuruh lupakan saja, tidak boleh itu dalam kemanusiaan!” imbuhnya.
Dalam hal ini, menurutnya, pemerintah perlu belajar dari negara-negara lain bagaimana cara merawat ingatan mereka tentang sejarah kelam, seperti Jerman atau Kamboja. Melalui situs-situs yang masih terpelihara sampai sekarang, negara-negara itu telah mengajarkan kepada dunia tentang peristiwa dan model-model kekerasan/penyiksaan terhadap manusia yang pernah ada dengan tujuan tidak terulang lagi, baik di negara mereka atau di tempat lain.
Demikian juga harapannya dengan rumoh geudong. Apalagi, meskipun rumoh geudong secara administratif berada di Kabupaten Pidie, tetapi sejatinya “kenangan” itu adalah milik rakyat Aceh, Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
“Rumoh geudong ini bisa jadi tempat bagi dunia untuk belajar bahwa di Aceh pernah terjadi kekerasan yang tidak masuk akal. Kekerasan yang tidak boleh dilakukan oleh negara dan itu melanggar hukum negara. Tetapi mengapa ada yang ingin menutup ini, padahal negara sudah mengakui itu?” kata Munawar Liza.
Tampak sisa-sisa bangunan rumoh geudong di lahan yang kini sudah dibersihkan dan nantinya akan dibangun masjid. Foto diambil pada 20 Agustus 2020. |
Kick off penyelesaian nonyudisial terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi di lokasi rumoh geudong, Selasa, 27 Juni 2023. Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, dalam diskusi Fokusgampi itu mengatakan sudah ada komitmen dengan tim PP HAM bahwa tangga rumoh geudong tidak dirobohkan setelah kick off. “Itu harus kita kawal bersama, kita percaya tim Presiden mengedepankan kearifan lokal. KKR bersama mereka untuk memberikan sumbang saran,” katanya.
Namun, sebagaimana disampaikan Koordinator KontraS, Azharul Husna, kick off yang dilakukan di tengah kesibukan orang Aceh menyambut Iduladha (sibuk mak meugang), jangan sampai melengahkan perhatian publik terhadap upaya “mendongengkan” rumoh geudong. Sedikit saja lalai, bukan tidak mungkin tangga itu pun akan raib ditelan ambisi dengan dalih melenyapkan dendam masa lalu.
Kata Yarmen, jika tangga yang menjadi satu-satunya sisa dari rumoh geudong itu pun turut dihancurkan, maka itulah “bab penutup” ingatan tentang kamp konsentrasi penyiksaan paling parah di Aceh.[]
Tulisan ini telah tayang di Serambi Indonesia edisi Jumat, 30 Juni 2023.
Selasa, 28 Maret 2023
Memoar Matahari Terbit #3: Tentang Sebuah Langgar
Konon manusia itu selalu terikat dengan masa lalu. Istilah kerennya kenangan. Saya barangkali termasuk salah satu manusia yang seperti itu. Sulit melupakan momen-momen tertentu di dalam hidup saya. Khususnya masa-masa kecil yang membahagiakan dan menyenangkan.
Keluarga kami seperti keluarga kebanyakan di negeri ini, hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tetapi, mengapa saya merasa masa kecil saya sangat bahagia dan menyenangkan? Tak lain karena kehangatan keluarga, lingkungan tempat tinggal yang nyaman, dan karena saya masih bocah: belum tahu kalau hidup itu berat dan banyak persoalan.
Kehangatan itu tidak hanya ada di keluarga, tetapi juga dengan para penghuni kampung lainnya. Sesama anak-anak sangat kompak dan kami selalu bermain bersama. Mulai dari main karet gelang sampai main serimbang; pergi sekolah dan mengaji bersama; hingga mencari kayu bakar di kebun-kebun sambil mengangon ternak bagi yang punya ternak.
Para ibu sering saling berbagi makanan, bahkan terkadang memasak bersama, terutama saat bikin kue untuk hari raya. Padahal jarak satu rumah dengan rumah yang lain jauh-jauh.
Kampung saya dulu, seperti yang pernah saya tulis di cerita-cerita sebelumnya, berada di pelosok Aceh Timur. Dulu bagian dari Kecamatan Idi Rayek, setelah dimekarkan menjadi wilayah Kecamatan Darul Ihsan. Terusan dari kampung kami tembus ke PT Bumi Flora.
Jalannya belum beraspal (mungkin juga sampai sekarang ). Tidak ada listrik. Rumah-rumah penduduk berada di antara kebun-kebun, umumnya kelapa dan kakao. Tetapi kampungnya bersih. Rumah-rumah warga berpagar alami dari daun teh-tehan. Halamannya selalu bersih. Yang suka bebungaan seperti ibu saya, maka dipastikan halaman rumahnya penuh dengan bunga. Jenis bunga yang ditanam macam-macam, beberapa di antaranya pernah saya lihat saat ke Takengon. Termasuk juga aneka jenis keladi dan karena ini pula suatu malam pekarangan rumah kami menjadi serbuan babi.
Meski di kampung kami air bersih sesuatu yang langka, tetapi setiap harinya sebelum pukul lima sore kami sudah rapi jali. Mandi dan mencuci semuanya dilakukan di parit-parit yang jaraknya jauh sekali dari rumah. Karena itulah kami selalu mandi lebih awal karena kalau sudah sore pasti tak berani lagi pergi mandi.
Kalau malam, selain hanya mengandalkan terang dari lampu teplok, juga dari sinar bulan kalau sedang terang. Bertolak belakang dengan namanya Lorong Pelita.
Di kampung kami tidak ada masjid. Yang ada hanya langgar. Bentuknya panggung. Konstruksinya dari kayu beratapkan seng, tapi kokoh dan cukup memadai untuk menampung ibu-ibu wirid atau untuk salat Tarawih bagi warga Lorong Pelita yang bisa dihitung jari KK-nya. Dari jumlah yang minim itu pun tak semuanya rajin datang ke langgar.
Langgar itu terletak di sebidang tanah di tengah-tengah kebun warga. Semuanya kelapa dan kakao. Di sisi kanannya yang agak berbukit adalah kebun milik keluarga saya. Di sisi kiri langgar adalah kebun milik Keuchik Usman. Di tengah-tengah kawasan kebun ini terbentang parit kecil yang airnya hanya ada di musim hujan.
Tak ada satu rumah pun di sekitar langgar. Rumah-rumah warga bertumpuk-tumpuk: tumpuk CWC (eks kantor pertanian), tumpuk Wak Raban, tumpuk Wak Said, tumpuk Wak Pardi, dan tumpuk rumah kami. Hanya tumpuk rumah kami yang jaraknya paling dekat dengan langgar. Paling jauh tumpuk Wak Said dan tumpuk CWC dan tumpuk Wak Raban.
Oya, ada sebuah bak besar di depan langgar untuk menampung air hujan. Tak ada sumur atau sejenisnya di sana. Bak itu hanya terisi air, ya, ketika hujan turun. Dan jika air bak penuh, beberapa ibu datang untuk mencuci pakaian di sana.
Di malam hari, dengan kondisi tak ada penerangan apa pun, entah mengapa langgar ini jadi terkesan menyeramkan. Apalagi dengan adanya sebuah keranda yang digantung di bawah langgar. Maklum, letaknya di bawah bukit. Belum lagi kalau harus membayangkan pucuk-pucuk pohon yang bergoyang di kegelapan. Dalam gelap imajinasi kita memang sering di luar jangkauan.
Namun, suasananya berubah ketika bulan puasa tiba. Itu karena selepas magrib--sebagian--warga Lorong Pelita pasti datang ke langgar untuk salat Tarawih. Yang jadi imamnya Wak Min. Satu lampu petromax cukup untuk menerangi seluruh langgar. Yang sebentar-sebentar harus dipompa untuk menjaga nyalanya tetap stabil.
Laki-laki di baris depan paling banyak cuma dua saf itu pun sudah inklud para bocah. Di belakang, jamaah perempuan yang dibatasi dengan tabir kain merah juga tak lebih banyak. Bagi kami para bocah, yang memotivasi untuk pergi ke langgar sebetulnya karena tak ada pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Tak ada listrik, tak ada televisi, tak ada gadget atau lato-lato, siapa yang mau dikurung dalam gelap untuk disantap nyamuk?
Selain itu, kue-kue dan teh atau kopi yang dibawa untuk dinikmati usai Tarawih sangatlah menggiurkan. Selama bulan puasa setiap warga mendapat jatah membawa kue untuk jamaah Tarawih.
Maka, bagi para bocah, semakin sedikit jamaah yang hadir semakin bagus karena jatah kue bisa dapat lebih.
Setelah Tarawih selesai sekitar pukul sembilan, langgar kembali mencekam. Praktisnya langgar ini hanya berfungsi di waktu-waktu tertentu saja.
Karena letaknya yang tidak strategis, dalam artian tidak berada di jalan utama desa, langgar ini memang lebih banyak sepi sendiri. Belakangan warga sepakat memindahkan langgar ke pinggir jalan utama desa di tengah tengah antara tumpuk rumah kami dengan tumpuk CWC. Sejak saat itu langgar di kampung kami mulai ada rohnya.... Namun, ketika konflik memorakporandakan kampung kami, langgar kami kembali kehilangan rohnya...[]
Ilustrasi foto dari Pixabay