Konon manusia itu selalu terikat dengan masa lalu. Istilah kerennya kenangan. Saya barangkali termasuk salah satu manusia yang seperti itu. Sulit melupakan momen-momen tertentu di dalam hidup saya. Khususnya masa-masa kecil yang membahagiakan dan menyenangkan.
Keluarga kami seperti keluarga kebanyakan di negeri ini, hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tetapi, mengapa saya merasa masa kecil saya sangat bahagia dan menyenangkan? Tak lain karena kehangatan keluarga, lingkungan tempat tinggal yang nyaman, dan karena saya masih bocah: belum tahu kalau hidup itu berat dan banyak persoalan.
Kehangatan itu tidak hanya ada di keluarga, tetapi juga dengan para penghuni kampung lainnya. Sesama anak-anak sangat kompak dan kami selalu bermain bersama. Mulai dari main karet gelang sampai main serimbang; pergi sekolah dan mengaji bersama; hingga mencari kayu bakar di kebun-kebun sambil mengangon ternak bagi yang punya ternak.
Para ibu sering saling berbagi makanan, bahkan terkadang memasak bersama, terutama saat bikin kue untuk hari raya. Padahal jarak satu rumah dengan rumah yang lain jauh-jauh.
Kampung saya dulu, seperti yang pernah saya tulis di cerita-cerita sebelumnya, berada di pelosok Aceh Timur. Dulu bagian dari Kecamatan Idi Rayek, setelah dimekarkan menjadi wilayah Kecamatan Darul Ihsan. Terusan dari kampung kami tembus ke PT Bumi Flora.
Jalannya belum beraspal (mungkin juga sampai sekarang ). Tidak ada listrik. Rumah-rumah penduduk berada di antara kebun-kebun, umumnya kelapa dan kakao. Tetapi kampungnya bersih. Rumah-rumah warga berpagar alami dari daun teh-tehan. Halamannya selalu bersih. Yang suka bebungaan seperti ibu saya, maka dipastikan halaman rumahnya penuh dengan bunga. Jenis bunga yang ditanam macam-macam, beberapa di antaranya pernah saya lihat saat ke Takengon. Termasuk juga aneka jenis keladi dan karena ini pula suatu malam pekarangan rumah kami menjadi serbuan babi.
Meski di kampung kami air bersih sesuatu yang langka, tetapi setiap harinya sebelum pukul lima sore kami sudah rapi jali. Mandi dan mencuci semuanya dilakukan di parit-parit yang jaraknya jauh sekali dari rumah. Karena itulah kami selalu mandi lebih awal karena kalau sudah sore pasti tak berani lagi pergi mandi.
Kalau malam, selain hanya mengandalkan terang dari lampu teplok, juga dari sinar bulan kalau sedang terang. Bertolak belakang dengan namanya Lorong Pelita.
Di kampung kami tidak ada masjid. Yang ada hanya langgar. Bentuknya panggung. Konstruksinya dari kayu beratapkan seng, tapi kokoh dan cukup memadai untuk menampung ibu-ibu wirid atau untuk salat Tarawih bagi warga Lorong Pelita yang bisa dihitung jari KK-nya. Dari jumlah yang minim itu pun tak semuanya rajin datang ke langgar.
Langgar itu terletak di sebidang tanah di tengah-tengah kebun warga. Semuanya kelapa dan kakao. Di sisi kanannya yang agak berbukit adalah kebun milik keluarga saya. Di sisi kiri langgar adalah kebun milik Keuchik Usman. Di tengah-tengah kawasan kebun ini terbentang parit kecil yang airnya hanya ada di musim hujan.
Tak ada satu rumah pun di sekitar langgar. Rumah-rumah warga bertumpuk-tumpuk: tumpuk CWC (eks kantor pertanian), tumpuk Wak Raban, tumpuk Wak Said, tumpuk Wak Pardi, dan tumpuk rumah kami. Hanya tumpuk rumah kami yang jaraknya paling dekat dengan langgar. Paling jauh tumpuk Wak Said dan tumpuk CWC dan tumpuk Wak Raban.
Oya, ada sebuah bak besar di depan langgar untuk menampung air hujan. Tak ada sumur atau sejenisnya di sana. Bak itu hanya terisi air, ya, ketika hujan turun. Dan jika air bak penuh, beberapa ibu datang untuk mencuci pakaian di sana.
Di malam hari, dengan kondisi tak ada penerangan apa pun, entah mengapa langgar ini jadi terkesan menyeramkan. Apalagi dengan adanya sebuah keranda yang digantung di bawah langgar. Maklum, letaknya di bawah bukit. Belum lagi kalau harus membayangkan pucuk-pucuk pohon yang bergoyang di kegelapan. Dalam gelap imajinasi kita memang sering di luar jangkauan.
Namun, suasananya berubah ketika bulan puasa tiba. Itu karena selepas magrib--sebagian--warga Lorong Pelita pasti datang ke langgar untuk salat Tarawih. Yang jadi imamnya Wak Min. Satu lampu petromax cukup untuk menerangi seluruh langgar. Yang sebentar-sebentar harus dipompa untuk menjaga nyalanya tetap stabil.
Laki-laki di baris depan paling banyak cuma dua saf itu pun sudah inklud para bocah. Di belakang, jamaah perempuan yang dibatasi dengan tabir kain merah juga tak lebih banyak. Bagi kami para bocah, yang memotivasi untuk pergi ke langgar sebetulnya karena tak ada pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Tak ada listrik, tak ada televisi, tak ada gadget atau lato-lato, siapa yang mau dikurung dalam gelap untuk disantap nyamuk?
Selain itu, kue-kue dan teh atau kopi yang dibawa untuk dinikmati usai Tarawih sangatlah menggiurkan. Selama bulan puasa setiap warga mendapat jatah membawa kue untuk jamaah Tarawih.
Maka, bagi para bocah, semakin sedikit jamaah yang hadir semakin bagus karena jatah kue bisa dapat lebih.
Setelah Tarawih selesai sekitar pukul sembilan, langgar kembali mencekam. Praktisnya langgar ini hanya berfungsi di waktu-waktu tertentu saja.
Karena letaknya yang tidak strategis, dalam artian tidak berada di jalan utama desa, langgar ini memang lebih banyak sepi sendiri. Belakangan warga sepakat memindahkan langgar ke pinggir jalan utama desa di tengah tengah antara tumpuk rumah kami dengan tumpuk CWC. Sejak saat itu langgar di kampung kami mulai ada rohnya.... Namun, ketika konflik memorakporandakan kampung kami, langgar kami kembali kehilangan rohnya...[]
Ilustrasi foto dari Pixabay