RUMOH GEUDONG adalah rumah milik seorang uleebalang (hulubalang) yang berdiri sejak tahun 1818 di Gampong Bili Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie. Rumah ini kemudian menjadi begitu lekat di ingatan masyarakat Aceh karena fungsinya di masa Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah.
Dalam rentang operasi tersebut sejak ‘89—‘98, rumoh geudong yang telah lama kosong dijadikan pos militer tanpa sepengetahuan pemiliknya. Dari sinilah semua bermula. Rumah yang menjadi salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Aceh itu akhirnya berubah menjadi “sarang maut”.
Seperempat abad kemudian, negara melalui pernyataan Presiden Jokowi pada Rabu, 11 Januari 2023, mengakui bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan satu dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh yang masuk 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dua lainnya, yakni peristiwa Simpang KKA (1999) di Aceh Utara dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan (2003).
Enam bulan setelah pengakuan tersebut, nama rumoh geudong kembali menjadi “buah bibir”. Kali ini bukan karena fungsinya, melainkan karena dia akan “diantar” ke peristirahatan terakhirnya nun di negeri dongeng. Sebagai gantinya, di atas tanah itu nantinya akan dibangun masjid. Sebuah bangunan yang ketika kita berada di dalamnya, maka kita akan lupa pada semua dendam dan beban hidup. Seiring dengan itu, perlahan-lahan ingatan kita tentang rumoh geudong pun memudar dengan sendirinya.
Saya di depan prasasti rumoh geudong di Gampong Bili Aroen, Kec. Geulumpang Tiga, Kab. Pidie pada 20 Agustus 2020. |
Sejarah kelam rumoh geudong sebagian besar sudah lama menjadi abu sejak masyarakat membakar rumah tersebut pada tahun ‘98. Namun, mereka punya alasan. Yarmen Dinamika—Wartawan Serambi Indonesia—sebagai saksi hidup yang sempat menyaksikan bara api terakhir di rumoh geudong bersama rekannya, Risman A. Rachman, mengatakan, pembakaran tersebut merupakan usaha masyarakat untuk mencegah kembali terjadinya penyiksaan di rumoh geudong.
Dalam diskusi Nestapa Duka Rumoh Geudong yang diselenggarakan Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (Fokusgampi) pada Sabtu malam (24/6/2023), Yarmen memutar ulang ingatannya 25 tahun silam. Suatu hari di bulan Agustus 1998, Biro Serambi Indonesia di Sigli mendapat telepon dari seorang pria. Telepon itu dijawab oleh Yarmen yang ketika itu baru tiba di biro tersebut karena ketinggalan rombongan Baharuddin Lopa yang hendak melakukan investigasi ke rumoh geudong.
Penelepon itu sebenarnya mencari Nona, wartawati Serambi di Sigli, tetapi Nona sudah berangkat dengan rombongan Baharuddin Lopa. Yarmen pun memperkenalkan dirinya sebagai wartawan Serambi. Kemudian si penelepon memberi tahu kalau mereka akan membakar rumoh geudong. “Kalau Abang mau melihat, datang sekarang! Kalau tidak, tetap akan kami bakar,” cerita Yarmen di hadapan puluhan anak muda yang mengikuti diskusi malam itu.
Yarmen sejenak ragu dengan informasi tersebut. Namun, setelah diskusi singkat dengan Risman, mereka memutuskan untuk menyewa labi-labi (angkot) dan segera pergi ke Bili Aron. “Begitu kami sampai di simpang itu, sudah terlihat api yang membara. Ketika tiba di lokasi, yang tersisa hanya beranda depan dan langsung saya potret dengan kamera poket,” ujar Yarmen.
Sebulan sebelum Baharuddin Lopa ke sana, sudah lebih dulu berkunjung Hari Sabarno yang pada tahun ‘97—’99 menjadi Ketua Fraksi ABRI MPR/DPR RI. Sebelum kunjungan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) itu, semua tahanan di rumoh geudong diungsikan sementara dan rumah tersebut dipoles sedemikian rupa untuk menghilangkan jejak kejahatan HAM. Namun, setelah kunjungan usai, para tahanan kembali dibawa ke rumoh geudong dan penyiksaan pun kembali berlanjut.
“Jadi, ketika Hari Sabarno datang ke sana, tidak ada tahanan di rumoh geudong sehingga terkesan apa yang disampaikan pegiat HAM atau jurnalis itu bohong. Masyarakat di situ sudah tahu, kalau pejabat datang, maka tahanan diungsikan. Atas dasar itulah masyarakat melakukan tindakan yang di luar perkiraan semua orang. Maka setelah kunjungan Baharuddin Lopa ke rumoh geudong, rumah itu dibakar supaya para tahanan tidak dibawa kembali ke rumoh geudong. Mereka sudah belajar dari pengalaman kunjungan Hari Sabarno,” kata salah satu penulis buku Aceh Bersimbah Darah itu.
Selain Yarmen, diskusi itu juga mendaulat Munawar Liza Zainal (juru runding GAM), Cut Asmaul Husna (aktivis perempuan asal Pidie), Masthur Yahya (Ketua KKR Aceh), dan Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh) sebagai pembicara. Semua pembicara sepakat bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan peristiwa sejarah yang tak boleh dilupakan, apalagi dimusnahkan. Kalaupun ingin dibangun sesuatu di atasnya, maka yang tepat adalah museum untuk merawat seluruh ingatan tentang apa yang pernah terjadi di sana. “Situs inilah yang kelak menjadi bukti bagi generasi selanjutnya bahwa ini bukan dongeng,” kata Cut Asmaul Husna.
Munawar Liza Zainal yang pernah menjadi wali Kota Sabang mengatakan, menghilangkan situs-situs konflik dengan dalih menghilangkan dendam merupakan penghinaan terhadap nalar manusia.
“Bisa tidak seseorang yang diperkosa atau dibunuh ayahnya disuruh lupakan saja, tidak boleh itu dalam kemanusiaan!” imbuhnya.
Dalam hal ini, menurutnya, pemerintah perlu belajar dari negara-negara lain bagaimana cara merawat ingatan mereka tentang sejarah kelam, seperti Jerman atau Kamboja. Melalui situs-situs yang masih terpelihara sampai sekarang, negara-negara itu telah mengajarkan kepada dunia tentang peristiwa dan model-model kekerasan/penyiksaan terhadap manusia yang pernah ada dengan tujuan tidak terulang lagi, baik di negara mereka atau di tempat lain.
Demikian juga harapannya dengan rumoh geudong. Apalagi, meskipun rumoh geudong secara administratif berada di Kabupaten Pidie, tetapi sejatinya “kenangan” itu adalah milik rakyat Aceh, Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
“Rumoh geudong ini bisa jadi tempat bagi dunia untuk belajar bahwa di Aceh pernah terjadi kekerasan yang tidak masuk akal. Kekerasan yang tidak boleh dilakukan oleh negara dan itu melanggar hukum negara. Tetapi mengapa ada yang ingin menutup ini, padahal negara sudah mengakui itu?” kata Munawar Liza.
Tampak sisa-sisa bangunan rumoh geudong di lahan yang kini sudah dibersihkan dan nantinya akan dibangun masjid. Foto diambil pada 20 Agustus 2020. |
Kick off penyelesaian nonyudisial terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi di lokasi rumoh geudong, Selasa, 27 Juni 2023. Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, dalam diskusi Fokusgampi itu mengatakan sudah ada komitmen dengan tim PP HAM bahwa tangga rumoh geudong tidak dirobohkan setelah kick off. “Itu harus kita kawal bersama, kita percaya tim Presiden mengedepankan kearifan lokal. KKR bersama mereka untuk memberikan sumbang saran,” katanya.
Namun, sebagaimana disampaikan Koordinator KontraS, Azharul Husna, kick off yang dilakukan di tengah kesibukan orang Aceh menyambut Iduladha (sibuk mak meugang), jangan sampai melengahkan perhatian publik terhadap upaya “mendongengkan” rumoh geudong. Sedikit saja lalai, bukan tidak mungkin tangga itu pun akan raib ditelan ambisi dengan dalih melenyapkan dendam masa lalu.
Kata Yarmen, jika tangga yang menjadi satu-satunya sisa dari rumoh geudong itu pun turut dihancurkan, maka itulah “bab penutup” ingatan tentang kamp konsentrasi penyiksaan paling parah di Aceh.[]
Tulisan ini telah tayang di Serambi Indonesia edisi Jumat, 30 Juni 2023.
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)