TERNYATA sudah delapan belas tahun usia perdamaian Aceh. Sejak GAM dan Pemerintah RI menandatangani selembar surat keramat di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.
Dalam imajinasi saya, perdamaian itu wujudnya adalah seorang anak. Maka sekarang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Mungkin kelas satu, bisa jadi kelas dua. Uhm, dalam imajinasi saya juga, anak itu adalah anak laki-laki. Maka di usia segitu biasanya juga sudah mulai (mengenal) merokok.
Lalu siapa orang tua anak ini? Ya, tentu saja Indonesia dan Aceh. Indonesia, kita taruhlah sebagai ayah yang perkasa. Yang dulu pernah memohon-mohon agar bisa menikahi ibu yang mestinya tak perlu tersakiti andai tak menerima atau terbuai bualan ayah.
Tapi, ibu perempuan, terkadang ia menjadi amat emosional. Sedikit saja menyentuh sisi paling femininnya, dengan bumbu-bumbu romantisme dan cerita utopia tentang kesetiaan, mudah sekali luluh.
Tapi, ayah laki-laki. Ucapannya sering seperti telur di ujung tanduk. Sedikit saja lengah, kata-kata manis itu pun meleset, melesat entah ke mana.
Di puncak rasa frustrasi dan kekecewaannya, ibu ingin bercerai, tetapi ayah pun berusaha mempertahankan mati-matian agar tidak berpisah.
Bagi ibu, berpisah berarti memperjuangkan harga diri yang selama ini diinjak-injak oleh yang semestinya menjadi pelipur lara.
Bagi ayah, tetap bersama ibu juga artinya memperjuangkan harga diri agar muruahnya sebagai laki-laki tetap terjaga. Tetapi, kita curiga, harga diri ayah terletak pada harta yang ibu punya.
Dan dalam kondisi mati-matian itu, ayah bukannya menunjukkan sikap baik, tapi cenderung represif. Bukan cenderung, melainkan memang represif. Ayah sangat ringan tangan. Hobinya memang mengancam. Mungkin memang ada sedikit darah-darah tertentu dalam saluran nadinya. Ia mudah murka.
Ibu pun, tak mau kalah. Ia melempari ayah dengan piring, atau gelas, atau kobokan untuk menunjukkan bahwa dirinya berdaya. Tangan lawan tangan. Begitu prinsipnya. Mungkin pun dalam darah ibu ada mengalir satu dua zat-zat yang lain. Sehingga sering pula dia menyebut-nyebut dirinya sebagai “yang terlebih”.
Sampai akhirnya suara ribut-ribut itu mengusik tetangga. Mereka pun akhirnya melibatkan diri. Sebagai tetangga, terkadang memang susah melawan desakan moral di dalam diri kita. Atas nama manusia, kita memang sering iba, empati, yang anehnya tidak dirasakan oleh dua orang yang sedang berselisih. Alhasil satu dua tetangga yang ingin menolong mental. Salto dengan teratur. Syukur-syukur tidak kena mental karena menghadapi dua manusia bebal.
Ini memang dua manusia keras kepala dengan ego setinggi Gunung Everest. Sedalam Palung Mariana. Sampai akhirnya, muncul seorang tetua dari ujung kampung, yang barangkali, karena sudah tua, pengalamannya banyak, sehingga ibu dan ayah sedikit melunak dan mau menerima kehadiran mereka hingga di beranda rumahnya.
Tapi, dalam kondisi melunak itu pun, mereka tetap masih gontok-gontokan. Tak peduli pada kepala yang benjol, atau paha yang memar-memar, yang penting tetap merasa diri paling benar. Kemudian terjadilah banjir besar. Rupanya ayah dan ibu sama-sama tak bisa berenang. Dan karena tidak bisa berenang itu rupanya kewarasan mereka kembali. Mereka dulu memang orang waras, tetapi entah kenapa belakangan jadi sangat gila.
Saat mereka waras, nasihat-nasihat dari tetua di ujung kampung itu lebih gampang masuk ke otak mereka. Tak lagi banyak cincong, tanpa alasan ini alasan itu, pokoknya mereka tak jadi bercerai. Sebagai bukti, ditandatanganilah selembar kertas keramat itu. Kelak ketika mereka berselisih, kertas keramat itu pula yang sering menjadi sebab musababnya.
Konsekuensi dari gagalcerai itu adalah lahirnya damai. Yang hari ini usianya tepat delapan belas tahun.
Bagi orang tua yang sudah sepuh, apalagi yang tak pernah berhasil menghalau curiga dari sanubari mereka, punya anak delapan belas tahun itu melelahkan. Laki-laki pula. Mungkin sedang bergajul-bergajulnya. Apalagi kalau sejak awal sudah salah asuh, yang berakibat pada salah arah. Dibilang A dijawab B, dibilang E dikira F.
Jadi, kalau banyak yang menaruh harap pada anak laki-laki seusia delapan belas tahun, mungkin kita perlu bilang hooo hooo tunggu dulu, jangan terlalu punya ekspekstasi lebih. Cebok saja belum beres dia. Mungkin pun, seperti anak lelaki satu-satunya: buet han geuyue, boh han geukoh. Ya sudah, begitu terus sebagaimana adanya. Syukur-syukur dia tak selamanya menetek pada ibunya.
Jadi, meski usia perdamaian Aceh sudah delapan belas tahun, apa yang bisa kita harapkan berubah dari keadaan itu? Karena dia telanjur lahir sebagai anak broken home, kita cuma bisa berharap dia tak salah langkah. Semoga![]