Bahkan kau pun tahu, betapa besar harapanku untuk melihatmu menjadi seperti elang. Yang bisa terbang tinggi, tinggi, tinggi sekali. Melampaui apa yang bisa kamu mimpikan tentang hidupmu sendiri.
Kau mengepakkan sayap dengan bebas dan leluasa, melanglang di angkasa yang begitu luas. Menjangkau langit biru. Berkelana di antara awan gemawan. Menaklukkan angin.
Tentu saja, tanpa melupakan tempat dari mana kamu berasal.
Kukira, kau pun tahu, harapan itu bukan sekadar ucapan manis sebagai penghias bibir semata. Dan kukira, tak ada yang lebih tulus dari doa-doa dan harapan yang dipanjatkan dalam keheningan. Untuk kemudian kularungkan bersama angin hingga sampai ke puncak nirwana. Semoga Tuhan mendengarkan. Semoga Tuhan mengabulkan.
Namun, ada hal-hal yang kusadari kemudian. Harapanku tentu bukan harapanmu. Keinginanku tentu bukan keinginanmu. Doaku tentu bukan doamu.
Ketika akhirnya kamu menjadi bukan seperti yang kuharapkan, aku tak perlu menyalahkan diri sendiri. Aku tak perlu merutuk mengapa harapanku tak dikabulkan oleh Tuhan?
Sekuat apa pun aku berdoa agar kamu bisa terbang tinggi, tetapi jika kamu hanya ingin memijak tanah, aku bisa apa?
Karena untuk terbang tinggi memang tak mudah. Perlu fokus dan konsentrasi. Tak mudah terlena oleh cacing-cacing yang bergeliat di bawah daun.
Agar bisa terbang tinggi, kita hanya perlu memahami diri sendiri. Karena hanya dengan memahami diri sendirilah kita bisa menutupi kelemahan diri. Bukan sebaliknya, justru terjerat oleh kelemahan itu sendiri. Menuruti segala kelemahan, sama dengan membuka jurang lalu kita melompat ke dalam jurang itu.
Untuk bisa terbang tinggi, kita tidak membutuhkan kepala yang besar, bukan pula ketinggian hati, melainkan kepala yang selalu bisa berpikir secara logis, juga hati yang lebih rendah. Rendah hati, tentu bukan bermakna rendah diri.
Kepala yang besar, hati yang tinggi, adalah jebakan yang tak kasat mata. Sering kali justru melesakkan hingga seseorang jatuh terpuruk....[]