Senin, 16 Desember 2024

Pria Bertopi Flat Cap

Ilustrasi gambar dengan Bing

Uhm, hari-hari selama Desember ini terasa lebih longgar. Tidak seperti Desember-Desember yang telah lalu. Memasuki Desember ini, hanya ada satu deadline lagi yang perlu kuselesaikan. 

Terbiasa dikepung oleh deadline demi deadline, rasanya “aneh” juga ketika terasa memiliki banyak waktu luang begini. Tapi aku jadi punya lebih waktu untuk mengistirahatkan diri. Hanya beban pikiran saja yang tampaknya belum longgar karena ada "proyek" multiyears yang belum selesai.


Untuk “merayakan” kesenggangan itu, aku ingin bercerita tentang sesuatu. Tentang pengemis yang sering kutemui di kedai-kedai kopi.


Kedai kopi selalu menjadi pilihan utamaku untuk bekerja. Kedai kopi favoritku adalah sebuah kedai kopi di daerah kota, persis di tepi Krueng Aceh. Selain tempatnya yang terjangkau dari tempat tinggalku, aku suka citarasa kupi sareng di kedai ini. Seperti hari ini, meskipun aku sudah minum kopi dingin, tetapi rasanya kurang pas kalau belum kena kupi sareng. Alhasil, aku memesan secangkir kopi lagi.


Sudah beberapa jam aku duduk di sini, belum satu pun para peminta itu muncul. Berbeda dengan hari-hari biasa, selama tiga atau empat jam aku di kedai kopi, bisa lebih dari tiga atau empat pengemis yang menyodorkan tangannya. Perempuan, laki-laki, termasuk anak-anak. Belum lagi yang sambil mengamen.


Aku suka mengamati mereka. Cara memintanya macam-macam. Ada yang bermodal ucapan “minta sedekah dikit”; ada juga yang dengan doa-doa. Ada juga yang bermodal ekspresi semata. Tapi lebih banyak cuma modal satu kalimat tadi. Di antara para pengemis yang pernah menyodorkan tangannya ke hadapanku, ada satu yang begitu membekas di ingatanku.


Ia seorang pria. Kutaksir usianya belumlah mencapai lima puluh tahun. Perawakannya sedang, tidak tinggi tidak pendek; tidak kurus tidak juga gemuk. Tampaknya ia pernah terserang stroke ringan sehingga salah satu tangannya terlihat lemah. Saat berjalan pun sebelah kakinya terlihat seperti diseret. Yang melekat dari penampilannya adalah topi jenis flat cap (?) yang sering kulihat dipakai oleh seniman dan tas selempang kecil yang (mungkin) sekaligus berfungsi sebagai dompet.


Biasanya dia akan menghampiri para pengunjung satu demi satu dan saat menyodorkan tangannya tak sepatah kata pun terucap. Ia hanya menyodorkan senyuman. Sebagai pengunjung setia kedai kopi tersebut, bisa dibilang hampir tak pernah aku memberikan sumbangan kepada mereka. Ada beberapa pertimbanganku, di antaranya, kebanyakan yang kulihat memiliki kondisi fisik yang sempurna. Rentang usia mereka pun, meski tak muda lagi, tetapi juga bukan yang tergolong manula yang umumnya berusia di atas 60 tahun. Termasuk si yang bertopi flat cap tadi, hanya pernah kuberi di awal-awal dulu.


Awal November lalu, aku memenuhi undangan diskusi salah seorang rekan ke sebuah kafe. Dibandingkan kedai kopi yang biasa menjadi tongkronganku, kafe itu—sesuai namanya—tergolong elite, baik dari dekorasi dan interiornya, maupun dari variasi dan harga menu-menu yang dijual di sana. Kafe ini terbagi menjadi dua bagian dan bagian depan menghadap ke jalan protokol.  Siang atau malam selalu ramai. Satu sisi ruangannya ber-AC dan satu sisi lagi yang lebih luas non-AC. Di tempat yang non-AC ini biasanya lebih ramai para pria karena mereka bisa sambil menghirup lisong.


Malam itu kami duduk di ruang ber-AC. Kebetulan aku duduk menghadap jalan dan posisi ruangan yang non-AC ada di sebelah kiriku. Kedua ruangan ini dibatasi oleh tembok dan pintu kaca yang transparan. Sekonyong-konyong aku melihat sesosok lelaki di seberang sana. Ia duduk dengan posisi menghadap ke ruangan non-AC. Tampaknya ia tidak sendiri, tetapi aku tidak bisa melihat orang yang di depannya karena terhalang tempok. 


Laki-laki itu tampaknya sangat menikmati suasana malam itu. Ia duduk di kursi berlapis busa yang dibalut kulit sintetis. Dari telinganya tampak sejulur kabel mini yang menghubungkan ke perangkat digital. Kepalanya agak bergoyang-goyang, persis seperti orang yang sedang menikmati alunan musik. Sesekali tampak seperti merespons pembicaraan dengan orang di hadapannya. Sesekali terlihat tertawa sambil bercakap-cakap. Di hadapannya tersaji sepiring makanan dan segelas minuman. Ekspresinya menyiratkan kalau ia senang dan nyaman.


Aku mengenali orang itu karena sesuatu yang melekat di kepalanya, yaitu topi flat cap. Setelah memperhatikan lebih saksama, benar, memang orang yang sama yang sering aku lihat di kedai kopi tongkronganku. Bedanya kali itu ia sebagai pelanggan, bukan sebagai peminta-minta sebagaimana biasanya. Kenyataan itu membuat aku tak bisa berucap. Ingin tertawa rasanya. Untuk sesaat aku kehilangan fokus. 


Berminggu-minggu setelah malam itu, hingga detik aku menuliskan ini, belum sekali pun aku melihat pria dengan topi flat cap itu muncul di kedai kopi ini.[]

Sabtu, 07 Desember 2024

Merindukan Rumah untuk Pulang

Foto AI Generate (Bing)


Pada Agustus 2023, saya mengikuti pelatihan menulis memoar secara online yang diselenggarakan oleh panitia Balige Writers Festival sebagai prakegiatan puncak yang berlangsung pada Oktober 2023. Pelatihan tersebut diisi oleh dua pemateri, yaitu Danny Yatim dan Nuria Soeharto. Sebagaimana pelatihan pada umumnya, para peserta pun diminta untuk berlatih. Saya menuliskannya dengan penuh semangat.

Setelah lebih setahun tersimpan di laptop, hari ini, ketika saya sedang menikmati secangkir kopi hitam di sebuah kedai kopi di bantaran Krueng Aceh, saya kembali teringat pada tulisan tersebut. Maka, sebagai kenang-kenangan bagi masa depan, saya publikasikan tulisan tersebut di sini.

------------

 

SEWINDU sudah aku tak bisa merasakan “nikmatnya” berlebaran. Maksudku begini, jika Lebaran dimaknai sebagai sebuah ritual keagamaan: ada salat Id, ada salam-salaman dengan sanak saudara dan para tetangga, ada makan-makan, ya, tentu saja aku bisa menikmati semua itu. Namun, nikmat yang kumaksud ialah karena kami tidak berlebaran di rumah sendiri.

 

Dalam setahun ada dua kali Lebaran, dan selalu saja kami berpindah-pindah tempat untuk merayakannya. Paling sering di rumah Nenek di Teupin Raya, Kabupaten Pidie, yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari Banda Aceh—ibu kota Provinsi Aceh. Selebihnya, kami pernah berlebaran di Aceh Barat, sekitar lima atau enam jam perjalanan dari Banda Aceh.

 

Pernah juga berlebaran di Kota Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue, sebuah pulau dengan nama yang sama di lambung Samudra Hindia. Pulau ini satu gugus dengan Kepulauan Banyak di Singkil, seterusnya hingga ke Nias di Sumatera Utara. Perjalanan menembus lautan dari Pelabuhan Calang hingga ke Pelabuhan Sinabang tak kurang dari empat belas jam. Itu kalau cuacanya normal. Melelahkan, tetapi kami anggap itu sebagai petualangan. Oh ya, kenapa kusebut kami, karena selain  aku, juga ada Ibu dan Adik.

 

Kalau mau lebih pendek waktunya di kapal, kami bisa menyeberang dari pelabuhan di Aceh Selatan, tetapi harus menempuh perjalanan seharian dari Banda Aceh ke Aceh Selatan. Sama saja!

 

Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa harus pindah-pindah begitu? Jawabannya satu: karena kami tak punya rumah.

 

Aku yang sejak SMP harus indekos demi melanjutkan sekolah ke ibu kota kecamatan, dan telah berdomisili di Banda Aceh selama dua dekade, selalu mendambakan rumah untuk pulang. Waktu SMP aku pulang ke rumah sepekan atau dua pekan sekali. Pulang, yang artinya bisa bertemu dengan ayah dan ibu, bermain dengan adik, bersantap dengan lauk-pauk buatan ibu, sangatlah membahagikan. Aku benar-benar menemukan kehangatan di rumah.

 

Itu sebabnya, ketika rumah kami terbakar pada 2017 lalu, hatiku benar-benar hancur. Aku tak punya lagi tempat untuk pulang. Lebih dari itu, dengan terbakarnya rumah itu, ada banyak kenangan yang hilang. Terutama kenangan bersama Ayah. Ya, karena rumah itu dibangun oleh Ayah dengan susah payah. Ia mempertaruhkan tidak saja tenaga dan materi, tetapi juga nyawanya agar rumah itu bisa berdiri.

 

Rumah itu tidak kecil, meskipun tidak begitu besar. Namun, cukup leluasa untuk kami tinggali berenam. Ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dua ruang keluarga, dan satu ruang dapur. Halamannya luas. Selalu bersih dan penuh dengan bebungaan. Letaknya di tengah persawahan yang berbatasan langsung dengan jalan utama desa. Angin bisa masuk dengan leluasa dari jendela-jendela besar yang ada di setiap sisi rumah. Membuat suasana di dalam rumah jadi terasa sejuk.

 

Saat musim tanam padi tiba, pemandangan di sekitarnya benar-benar bikin terpesona. Hijau menyegarkan di awal-awal musim tanam dan kuning yang memancarkan harapan menjelang masa panen tiba. Di halaman rumah ada gazebo yang selalu menjadi tempat favorit untuk mengaso di siang hari. Terutama bagi orang-orang yang bekerja pada Ayah.

 

Rumah kami berada di sebuah desa di Kabupaten Aceh Timur. Itu rumah kedua yang dibangun ayah dalam rentang waktu hanya tiga tahun. Dibangun di tahun 2000-an di tengah kemuncak konflik yang saat itu sedang gila-gilanya di Aceh. Saat aku kelas dua SMP, ayah baru saja selesai membangun rumah di desa lain. Agak jauh ke arah selatan dari desa tempat rumah kedua didirikan. Rumah yang terpaksa dibongkar karena desakan situasi keamanan yang semakin mencekam. Bahkan cat yang melapisi dindingnya pun belum hilang baunya.

 

Aku masih ingat betul bagaimana cara kami meninggalkan rumah itu. Waktu itu tahun ‘99, aku baru tamat SMP dan sedang persiapan masuk SMA. Uhm, rasanya kurang tepat menyebut “persiapan” sebab memang tidak ada persiapan apa pun yang kulakukan. Hanya mendaftar bermodal surat keterangan tamat SMP. Di rumah hanya ada aku dan Ayah, sebab ibu dan dua adikku sudah pergi ke Kabupaten Bireuen, menjenguk kakek yang sakit parah.

 

Tiba-tiba keadaan menjadi "panas" karena munculnya surat kaleng yang meminta agar masyarakat meninggalkan desa. Khususnya bagi warga yang beretnis Jawa. Meski keluarga kami asli Aceh, kami tetap pergi meninggalkan desa. Siapa yang bisa menjamin keselamatan kami jika tetap bertahan di sana?

 

Ayah lantas menyuruhku membereskan barang-barang. Aku memasukkan gelas dan piring ke dalam ember; mengemasi pakaian dan membungkusnya dengan kain. Aku bingung. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, terutama ketika Ayah tidak di rumah.

 

Ayah punya satu mobil Chevrolet tua warna biru yang ia beli sekitar satu tahun sebelumnya. Mobil itu sangat berguna bagi Ayah yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi. Dengan mobil itu ia mengangkut hasil ladang seperti kopra atau kakao (biji cokelat) untuk dijual ke ibu kota kecamatan.

 

Di tengah situasi itu, rupanya jasa Ayah sebagai pemilik Chevrolet sangat diperlukan. Ayahlah satu-satunya yang punya mobil di kampung kami. Jadi, saban hari Chevrolet itu mengangkut barang-barang warga yang hendak mengungsi ke kota. Ketika kami meninggalkan kampung, rumah-rumah warga sudah banyak yang kosong. Jalanan sangat lengang. Bahkan angin pun seolah enggan berkesiur.

 

Semula Ayah tak berniat membongkar rumah itu, ia masih punya harapan keadaan akan segera kondusif dan kami bisa kembali pulang. Rupanya, alih-alih semakin membaik, keadaan justru semakin memanas. Bahkan rumah wawak (kakak Ayah) yang bersebelahan dengan rumah kami dibakar orang tak dikenal. Hangus jadi arang. Setelah itulah Ayah segera membongkar rumah semipermanen itu dan memindahkannya pada sebidang tanah di kampung yang sekarang kami tinggali.

 

Selain sebagai pedagang, Ayah juga punya sedikit kebun. Meski sudah mengungsi ke desa lain, kami tetap pergi ke desa yang lama untuk memetik hasil kebun. Dengan hasil kebun itulah kami bertahan hidup. Kami mulai beradaptasi dengan segala kekacauan itu, misalnya, saat hendak ke kebun tidak pergi sendiri, tetapi perlu mengajak teman. Teman itu, alangkah lebih baik lagi jika perempuan. Kalau nekat pergi sendirian atau semuanya lelaki, apabila kepergok dengan si baju hijau di kebun, bisa-bisa dianggap sebagai gerilyawan. Kalau sudah begitu, bisa habis kita!

 

Maka Ayah selalu mengajak Ibu setiap kali ke kebun. Sesekali dia mengajakku. Begitu juga bapak-bapak yang lain. Istri-istri mereka menjadi tameng. Begitulah peran perempuan di kubangan konflik. Terkadang kami pergi ramai-ramai dengan para tetangga di desa yang lama. Perginya, ya, dengan Si Biru yang dikemudikan Ayah. Pernah suatu sore, saking penuhnya muatan, Si Biru terjerembab di kubangan lumpur.

 

Dengan sisa-sisa kayu dari rumah lama itulah Ayah kembali membangun rumah kedua. Agar kami yang sudah sekian lama homeless ini bisa punya rumah. Kelak setelah rumah itu selesai dibangun, pada suatu sore di tahun 2002, menjelang keberangkatanku untuk kuliah ke Banda Aceh, Ayah pernah mengatakan pada seorang tetangga, “Kalau saya pergi nanti, setidaknya anak-anak sudah punya rumah sebagai tempat berteduh.”

 

Enam tahun kemudian Ayah pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia di usia yang sangat muda: 45 tahun. Sejak saat itu, saya sebagai anak sulung merasa perlu mengambil semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Lalu, rumah yang selama ini menaungi kami dari hujan dan terik itu pun terbakar. Setelah sejak 2015 ditinggalkan sementara oleh Ibu yang sakit dan dibawa berobat ke Banda Aceh. Sejak itu pula, kami tak pernah berlebaran di rumah dan Lebaran tak pernah sama lagi nikmatnya bagiku.[]

Kamis, 03 Oktober 2024

Happy Graduation, My Young Sista



Alhamdulillah, sampai juga di titik ini: melihat adik bungsu saya lulus kuliah dan menjadi sarjana.

Tak ada "pesta" apa pun untuk merayakan kelulusannya. Tak juga ada kado atau buket uang sebagaimana yang sedang tren saat ini. Hanya ada buket bunga kecil supaya tangan tak kosong kali saat menyongsongnya keluar dari aula setelah seremoni wisuda.
Kalaulah bisa disebut sebagai "hadiah", saya ingin tulisan ini bisa menjadi hadiah bagi kelulusannya. Kata-kata yang selama bertahun-tahun ini terus berputar-putar di pikiran saya. Kata-kata yang ingin saya tulis khusus setelah dia menyelesaikan strata pertamanya di perguruan tinggi. Bahkan jika insomnia saya kambuh, kata-kata inilah yang menjadi "pengantar tidur" hingga akhirnya saya terlelap.
Kemarin, Selasa, 24 September 2024, D resmi menyandang status sebagai alumnus UIN Ar-Raniry. Ia memperoleh gelar sarjana hukum Islam dari FSH.
===
Kami memanggilnya D. Ia lahir di tengah gemuruh referendum Aceh pada tahun 1999. Ia pertama kali "mengungsi" saat masih di perut ibu. Lahir dalam kondisi prematur di tengah suasana kampung kami yang sangat tidak kondusif.
Saat D masih bayi, keluarga kami "kehilangan" tempat tinggal untuk yang pertama kali. Rumah semipermanen yang baru selesai dibangun oleh orang tua kami, terpaksa dibongkar untuk kemudian dipindahkan ke kampung lain. Kampung lain itulah yang menjadi kampung kami sekarang.
D menghabiskan masa balitanya dalam situasi darurat: Darurat Militer dan Darurat Sipil. Saat D berusia tiga tahun, saya berangkat ke Banda untuk melanjutkan sekolah. Setelah itu, praktis pertemuan saya dan D hanya beberapa kali dalam setahun saat libur kuliah. Utamanya saat hari raya. Masa itu saya juga belum menggunakan ponsel sehingga komunikasi dengan keluarga sama sekali tak terhubung.
Ayah berpulang saat usia D belum genap sepuluh tahun. D harus merasakan kehilangan di usia yang sangat belia. Di antara kami semua, saya yakin, D-lah yang sangat terpukul dengan kepergian ayah. Sebagai anak bungsu, perempuan lagi, D tentu saja menjadi kesayangan di rumah. Apalagi ketika itu dua adik saya yang laki-laki mondok di pesantren, otomatis cuma D satu-satunya yang ada di rumah.
Masa kecil saya dan D bisa dibilang berbanding terbalik. Ketika saya kecil, orang tua masih berakit-rakit, tapi hidup kami tenang karena situasi yang aman. Sebaliknya, ketika D kecil, orang tua mulai mapan, tapi hidup penuh ketakutan karena situasi yang tidak aman. Sejak kecil telinga D sudah akrab dengan salak suara bedil. Ia terbiasa juga melihat orang-orang berseragam melewati kampung kami dengan bedil-bedil bertengger di bahu.
Tahun-tahun pertama setelah ayah pergi, kehidupan kami masih baik-baik saja. Usaha yang ditinggalkan ayah cukup untuk menopang hidup kami. Tapi, yang namanya hidup, betul seperti kata pepatah: ibarat roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan ketika berada di bawah, jangankan untuk bisa kembali berada di atas, untuk sekadar bisa bergerak saja rasanya teramat sulit.
Setelah D tamat SD, ibu memasukkannya ke pesantren terpadu di Peureulak. Seminggu sekali ibu pergi menjenguk. Selama masa ini, pelan-pelan mulai terasa kesulitan. Usaha yang dijalankan ibu mulai tertatih-tatih. Puncaknya saat D kelas satu MA. Ibu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Selanjutnya butuh waktu bertahun-tahun untuk pemulihan. Beriringan dengan itu, usaha kami bangkrut. Satu per satu aset melayang.
Sebagai anak sulung, saya dituntut oleh keadaan untuk menjadi hero. Saya yang tadinya bekerja dan hanya fokus untuk diri sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan. Saya me-reset rencana-rencana pribadi saya. Saya atur ulang fokus hidup saya. Kami dari empat bersaudara jadi berpencar-pencar: saya di Banda, D di Aceh Timur, dua adik lelaki saya masing-masing di Aceh Selatan dan di Pulau Simeulue. Adapun ibu, karena perlu waktu untuk pemulihan, setelah keluar dari RSZA di Banda, saya bawa pulang ke tempat nenek di Pidie. Supaya lebih terjangkau bagi saya untuk menengoknya. Seminggu sekali, setiap Jumat sore saya menjenguk ibu, Senin pagi saya balik lagi ke Banda untuk bekerja. Itu saya lakukan hingga berbulan-bulan.
Komunikasi dengan D sepenuhnya via ponsel. Setelah usaha keluarga bangkrut, seluruh biaya keluarga otomatis bertumpu pada saya. Dengan penghasilan bekerja di media, saya harus membiayai diri sendiri, ibu, dan dua adik yang ada di pesantren. Untuk membayar uang sekolah D yang tak sampai Rp1 juta per bulan rasanya sungguh berat. SPP D sering tertunggak. Kiriman bulanan pun tak pernah berlebih. Namun, Allah selalu mencukupkan saya dengan segala kekuasaan-Nya.
Di tahun ketiga D di bangku MA, kondisi ibu mulai berangsur membaik. Ibu sempat minta pulang ke Idi. Tapi, lagi-lagi, siapa yang bisa menebak apa yang sudah direncanakan oleh Allah kepada hamba-Nya? Satu bulan sebelum kelulusan D, rumah kami dibakar orang. Setelah enam tahun meninggalkan rumah untuk mondok di pesantren, D malah tak bisa memijakkan kakinya di rumah setelah keluar dari pondok. Kerinduan bertahun-tahun berakhir dengan kemarahan dan kesedihan. Tapi lagi-lagi D pandai menyembunyikan semua perasaan itu. Tak sekali pun ia mengeluh. Tapi, bukan saya tak bisa membaca apa yang terpendam di hatinya. Kehilangan tempat tinggal membuat ibu kembali terpukul.
Saat itu hidup kami persis seperti sinetron: ayah pergi, usaha bangkrut, tempat tinggal hilang. Klop! Lagi-lagi, sebagai anak sulung, saya dipaksa oleh keadaan untuk tegak seperti tiang. Tak boleh oleng. Kalau saya oleng, ibu akan oleng, adik-adik saya akan oleng. Kadang-kadang saya bersikap seperti penceramah atau motivator, terutama kepada ibu, bahwa segala yang hilang, selama kita berikhtiar dan tak bosan-bosan berdoa, pasti bisa diperoleh kembali. Kadang-kadang saya bersikap masa bodoh, ceramah demi ceramah yang saya dapatkan dari orang-orang di sekitar saya, cukup numpang lewat saja di telinga. Kadang-kadang saya marah juga, kesal, ketika yang disampaikan itu-itu saja. Kadang-kadang lagi, tak merespons adalah cara saya merespons.
Setamat MA, D ikut saya ke Banda. Walau bagaimanapun, dia sudah bertekad untuk bisa kuliah. Saya harus mewujudkan keinginannya. Di awal-awal sempat terdengar dia ingin kuliah di fakultas kedokteran, mungkin karena terpicu oleh perasaan sentimental saat melihat hari-hari terakhir ayah yang begitu kesakitan. Namun, setelah melihat dan melewati banyak hal yang terjadi di keluarga kami, dia akhirnya termotivasi untuk kuliah di bidang hukum. Alhamdulillah, berjodoh dengan UIN Ar-Raniry.
Berbeda dengan dulu ketika saya hendak kuliah, ayah langsung yang mengantar saya ke Banda. Ayah yang mencarikan saya kos. Ayah pula yang berbelanja lemari, rak piring, sampai ke hanger untuk menggantung baju. Saat saya masuk SMA pun, ayah juga yang menemani saya berbelanja alat tulis dan ke tukang jahit untuk menjahit seragam. Saat D kuliah, peran ayah itu sudah digantikan oleh saya, kakaknya.
Saya pun, mulai berlagak seperti ayah. Pesan-pesan yang dulu disampaikan ayah ketika mengantar saya kuliah, saya sampaikan lagi kepada D. Jangan banyak gaya. Jangan pura-pura jadi orang kaya supaya diterima pergaulan. Apa adanya saja. Jangan boros. Banyak petuah lainnya yang saya sudah lupa. Kadang saya sampaikan dengan baik-baik, kadang saya sampaikan dengan kesal, kadang pula dengan cara diam. Adakalanya menangis diam-diam adalah cara melampiaskan yang paling jitu. Tergantung mood dan keadaan.
Di awal-awal kuliah, ketika D bilang perlu beli buku kuliah, saya minta dia untuk mencatat judul-judul buku yang akan dibeli berikut dengan harganya. Bukan saya tidak percaya, tapi saya ingin mengajarkan dia untuk menjadi orang yang "perhitungan". Jangan mudah mengeluarkan uang karena impulsif. Saya kuliah di akuntansi, saya tahu uang sangat berharga. Saat bayar SPP pun begitu, saya selalu memintanya untuk memberitahukan jauh-jauh hari sebelum mepet.
"Karena kalau Adek bilangnya mepet-mepet dan pas Kakak nggak punya uang, Kakak nggak tahu mau bilang atau minta ke siapa." Kata-kata itu sering saya ulang. Itu juga yang dulu saya lakukan. Saya tak pernah minta sesuatu pada orang tua secara tiba-tiba. Karena saya tahu, orang tua pasti kebingungan kalau anaknya minta tiba-tiba sementara mereka mungkin sedang tak punya uang. Untuk mengatakan tidak pun mereka pasti tak akan melakukannya. Tapi, pernah juga sekali waktu, D baru bilang bayar SPP beberapa hari sebelum tenggat. Tentu saja saya marah.
Setelah D lulus di perguruan tinggi dan mulai kuliah, barulah saya memberi jeda sejenak untuk diri saya. Saya memutuskan resign. Selain itu, saya juga berlatih bela diri dan bersepeda untuk melepaskan semua energi negatif yang bertahun-tahun bercokol di dalam diri saya. Saya bertemu dengan orang-orang baru. Pelan-pelan energi saya pulih kembali. Siap untuk melanjutkan babak selanjutnya dalam kehidupan ini.
Sebagai kakak, saya sadari kalau saya bukanlah kakak yang ideal bagi D. Karakter dan watak kami bertolak belakang sehingga saya sering bicara seperlunya saja. Banyak keinginan dan harapannya yang tak bisa saya penuhi. Bahkan uang jajan pun terkadang tidak saya beri secara gratis, tapi D harus "bekerja" terlebih dahulu. Entah itu membantu mentranskrip hasil wawancara saya, menemani saya wawancara atau liputan ke lapangan. Saya kerap memaksanya untuk ikut ini dan itu supaya dia bisa berada di lingkaran pertemanan yang lebih luas.
Dengan segala kendala dan keterbatasan, melihat D bisa menyelesaikan pendidikannya adalah kebahagiaan yang tak terkatakan bagi kami . Menyaksikannya berjuang membuat sendiri tugas akhirnya adalah kebanggaan bagi kami. Itulah yang selalu kami tekankan, bangga lulus dari perguruan tinggi hanya ketika tugas akhirnya buat sendiri. Saat D merasa mentok di tugas akhirnya dan memilih untuk bekerja pun kami biarkan saja. Tak ada buruknya jeda sebentar. Saat teman-teman seangkatannya satu per satu mulai diwisuda pun, kami tak pernah tanya-tanya kapan dia diwisuda. Kami juga tak pernah mempersoalkan print out skripsinya yang bertumpuk-tumpuk di rumah. Saat dia mengeluarkan uneg-unegnya, kami memvalidasi perasaanya.
Akhir tahun lalu, saat saya pulang menjelang magrib, saya dapati D sudah terisak-isak di kamar. Begitu saya tanya kenapa, tangisnya kembali pecah. Saat itu dia kesal, kesal sekesal-kesalnya karena gagal mendaftar sidang. "Sayang Kakak harus bayarin SPP D lagi," katanya dengan suara terbata-bata.
Mendengar penjelasannya, saya pun turut kesal, tapi saya cuma bisa membesarkan hatinya. "Sudah 13 semester Kakak bayarin SPP Adek, kalau cuma untuk membayar satu semester lagi itu kecil kali. Nggak usah terintimidasi sama kawan-kawan yang udah selesai. Anggap saja itu bonus, nggak semua orang merasakan 'kesempatan' kuliah tujuh tahun. Nggak semua orang punya kesempatan dibimbing profesor. Nggak semua orang punya kesempatan belajar di luar kampus ketika mereka masih kuliah."
Kapan pun D membaca tulisan ini, saya cuma ingin dia tahu kalau kami semua sangat sayang padanya.[]



Midnight, 26 September 2024

Selasa, 27 Agustus 2024

Pertemuan Demi Pertemuan



Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? Namun, yang menjadi pertanyaannya, sejauh apa kita bisa menjadikan setiap pertemuan itu bermakna? Karena, sering kali, di antara pertemuan demi pertemuan itu, yang banyak justru mendatangkan kecewa dan luka.

Setiap manusia punya hati. Tapi, hati yang kumaksud tentulah bukan sebuah organ yang memiliki fungsi untuk membantu proses metabolisme di dalam tubuh kita. Hati yang kumaksud, adalah sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, tetapi ada. Ketika kita merasa sakit, nyerinya sulit sekali untuk pulih. 

Aku selalu penasaran, bagaimana jika manusia tidak punya "hati"? Apakah hidupnya akan lebih baik karena tidak bisa "merasai" apa pun yang melukainya? Atau, justru karena itulah kita akan semakin sakit. Karena tak bisa merasakan apa-apa.

Rasa sakit itu, kenapa sukar sekali sembuh? Sekuat apa pun aku berusaha, mengapa rasanya selalu seperti kembali ke titik semula. Di satu titik di perjalanan terjauh ini, aku berulang kali bertanya pada diriku sendiri. Kapan aku akan merasa baik-baik saja?

Kupikir aku sudah tak punya waktu lagi untuk bersedih. Untuk merasakan sebilah sembilu mengiris-ngiris perasaan dan hatiku. Untuk merasa, bahwa aku ternyata masih bisa terluka. Ternyata, kesibukan demi kusibukan, yang terkadang kupaksakan itu, hanya membuatku teralih sebentar saja.

Tuhan, aku tahu kamu telah memelukku. Erat. Begitu erat. Kau telah menghiburku dengan banyak hal. Tapi, apakah ini cara-Mu untuk menghilangkan semua bintik-bintik noda di hidupku? Bukankah dari setiap rasa kecewa, rasa sakit, atau ketidaknyamanan yang seorang hamba rasakan, adalah sebentuk kasih sayang dari-Mu?

Tuhan, Kau Mahatahu tentang apa yang terjadi hingga sejauh perjalanan hidupku. Tapi, biarkan aku tetap bercerita. Selalu dan selalu. Aku hanya ingin bersandar, sambil meresapi sisi terhalus perasaanku. Kurasakan betapa nyeri ini terasa nyeri. Mengalir perlahan merambati rongga-rongga di dadaku. 

Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? 

Jumat, 02 Agustus 2024

Why Every Woman Needs a Feelingirl Bodysuit in Her Closet





Every fashionista knows that the fashion trends keep changing. The old ones go away, and the new ones take their place. The interesting thing is that many fashion trends make a comeback. Similarly, bodysuits are one of them. They were extremely famous in the 80s and were known as onesies as well.

However, this time, people are wearing them all the time and anywhere they want. You can see people wearing slimming bodysuit during workouts, brunch dates, and night outs. This is because they are easy to wear.

Feelingirl has a lot of bodysuit options available. This is a perfect brand for anyone who wants to purchase bodysuits. So, let’s see why you should choose this brand!





Versatility


The top benefit of using a bodysuit is its versatility. You will never run out of designs, colors, and styles. This means you will not run out of choices. The good thing is that Feelingirl has bodysuits available in straps and full sleeves, so there is something for every woman.


There are bodysuits available in mesh and low backs as well. These options are perfect for women who want a hot option. Also, if you want some bedroom fun, there are lace bodysuits available as well.


Practicality


What we love about a full body shaper or bodysuit is that they are one-piece clothes. This is amazing because you don’t have to worry about the pairing. The bodysuits won’t get untucked. You can wear them with your regular jeans or formal pants with a higher waist. All of these options will create a seamless and smooth look.


In simpler words, there won’t be any slips and readjustments. The good thing is that Feelingirl has added adjustable shoulder straps, making it easier to adjust support for breasts. In addition, you can easily move around without any part of your body showing.




 

Flattering Design


This is the biggest benefit of using bodysuits. The bodysuits look amazing on slim as well as chubby people. The good thing is that a black bodysuit is a blessing for chubby women. This will make you look slim and hide all the imperfections.


This happens because bodysuits have a smoothing effect. They keep your body parts in the right place. Also, you can wear the seamless bodysuit shorts with a blazer or on their own, they will look amazing.

 




Unable to Go to Bathroom – The Only Con


Many women don’t purchase a bodysuit because they have to use the bathroom a lot. It is a common concept that they will have to take off the entire bodysuit to pee. However, if you use bodysuits from Feelingirl, there won’t be any such issues.


This is because Feelingirl uses snap closures in the bodysuits. This means you can open the gusset area with buttons and use the restroom. In addition, some of them are available with an open gusset, so you can easily use the restroom.




 

In simpler words, there’s no reason for you to say no to a Feelingirl bodysuit, so start shopping![]

 


Jumat, 31 Mei 2024

Happy Birthday from Lingisczka



Aku tidak tahu siapa yang meng-add lebih dulu, aku atau dia. Yang jelas kami, berteman di Facebook. Awalnya aku sempat berpikir bahwa dia adalah lelaki, sebab aku tidak pernah memeriksa info profilnya. Juga aku men-setting akun Facebook-ku untuk tidak menghadirkan foto profil, untuk menghemat paket internet. Setelah berteman di Facebook. Aku coba mengobrol melalui inbox, tujuanku hanya satu, yaitu ingin meminjam novel Moo Yan, Big Breasts and Wide Hips. Aku melihat dia mem-posting-kan foto novel itu di statusnya.

Kami mengobrol agak panjang melalui inbox Facebook. Intinya dia bilang bahwa meminjamkan novel atau buku kepada orang lain sama halnya sepeti meminjamkan celana dalam, itu sangat privasi. Mendengarkan dia bilang seperti, nyaliku agak melemah untuk minta pinjam buku itu. Namun, setelah mengobrol kembali, aku memberanikan diri untuk menulis: “Bolehkah aku pinjam celana dalammu?”

“Boleh,” jawabnya.

Aku heran dengan jawaban dia, padahal kenal juga baru beberapa hari, dengan kurang ajarnya aku minta pinjam celana dalamnya. Mungkin dia tidak takut meminjamkan itu, sebab dia kenal kakak sepupuku di Banda Aceh. Saat itu aku tidak lagi tinggal di Banda Aceh, aku sudah pulang ke Aceh Utara. Tapi salah satu adikku masih kuliah di Banda Aceh yang berencana mau pulang karena liburan. Lantas aku menyuruh adikku untuk menemuia dia dan mengambil novel itu.

Dua hari kemudian novel itu tiba di tanganku, aku menamatkannya dalam waktu satu minggu, waktuku untuk membaca novel itu memang satu minggu, sebab liburan adikku cuma satu minggu. Tak lama setelah adikku mengembalikan buku itu, kami tidak pernah mengobrol lagi. Aku menghilang dari Facebook.

Lalu 14 tahun kemudian, tanpa sengaja kami bertemu kembali di ruang Zoom Buku Bandit, dia sebagai pembicara, kalau tidak salah topiknya tentang perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kami tidak pernah bertemu di dunia nyata, pertemuan kami selalu di dunia maya.

Hari ini tanggal 6 Mei 2024, besok tanggal 7 dia berulang tahun yang ke 38. Usia kami sama, hanya beda bulan, aku lahir 6 Juni. Aku menulis ini untuk mengenang pertemuan dunia maya dan persahabatan kami, aku menulis ini di atas ketinggian di tempat kerjaku. Persamaan kami yang paling mencolok adalah kami sama-sama lajang. Bisa jadi kami sama-sama tidak ingin menikah, atau juga belum ketemu jodoh.

Aku sudah punya bidadari, jadi tidak perlu menikah lagi. Kata “bidadari” serapan dari bahasa Sanskerts, dari kata Vidyadhari, yang berarti: Pembawa Pengetahuan. Pembawa pengetahuan itu ya buku. Ketika sedang membaca buku, artinya aku sedang bersenggama. Ini jauh lebih enak dan menyenangkan ketimbang berhubungan badan atau ngeseks. Itulah alasanku butuh melajang. Aku tidak percaya dongeng ada malaikat di sisi kanan dan kiri yang menulis perbuatan manusia. Melainkan manusia itu sendiri yang menuliskannya. 

Selamat ulang tahun Ihan.


Note:

Dikirim pada 6 Mei 2024 oleh Lingisczka, kuposting sebagai kenang-kenangan di masa depan.


Senin, 06 Mei 2024

Make Your Priority

www.duperrin.com


Make your priority adalah cara yang saya terapkan untuk membuat hidup saya tetap seimbang. Sebagai orang yang cenderung introvert, saya memang lebih suka menikmati kesendirian. Terasa menyenangkan ketika sendiri dan interaksi dengan orang lain lebih terbatas. 

Namun, aktivitas membuat saya harus bertemu dengan orang orang. Basi-basi bukanlah tindakan yang terlalu saya sukai. Dan jika saya paksakan, adakalanya menjadi garing. Interaksi yang berlebihan terkadang membuat saya lelah. 

Itu sebabnya, di akhir pekan saya lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Tidur adalah aktivitas yang paling saya sukai. Saya tak pernah merindukan pantai sebagai tempat melepas lelah. Saya juga tak pernah mengidamkan tempat semacam mal untuk menghabiskan waktu. 

Saya selalu mencari kedai kopi yang tak begitu ramai untuk saya kunjungi. Saya lebih suka berdiam lama di satu tempat, ketimbang bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam durasi yang cepat. Saya lebih suka mengobrol deep dengan hanya satu atau dua orang, ketimbang haha hihi dengan banyak orang sekaligus.

Teman dekat saya hanya berbilang jari. Dan di antara itu, hanya satu dua saja yang sangat-sangat intens berkomunikasi. Saya tidak menutup diri untuk menjalin pertemanan dengan orang-orang baru. Tapi itu artinya, semua harus dimulai dari nol. Dan hanya dengan mereka yang sangat intens itulah saya berbagi tentang banyak hal, terutama terkait dengan pekerjaan yang memang jarang sekali saya ceritakan pada siapa pun. 

Orang-orang seperti saya, mungkin, bukanlah orang yang pandai menunjukkan antusiasme. Saya tak punya idola dalam bidang apa pun. Buat saya, semua orang punya sisi menarik, pada saat yang bersamaan juga punya sisi sebaliknya. Mengidolakan orang-orang tertentu hanya membuat bingung. Menambah beban. Karena itu artinya kita harus selalu update tentang perkembangan orang tersebut, bukan tak mungkin mengikuti apa yang mereka lakukan yang belum tentu cocok dengan kita.

Bagaimana saya membuat prioritas? Yakni berdasarkan konsep empat kuadran: penting dan genting; penting dan tidak genting; tidak penting dan genting; tidak penting dan tidak genting. Kuadran ini saya dapatkan ketika saya masih aktif mengikuti kelas-kelas pengembangan diri di suatu komunitas. 

Dengan berpatokan pada kuadran ini, saya tidak akan merasa bersalah ketika menolak ajakan untuk ngopi sementara di saat yang sama ada deadline pekerjaan yang saya mesti tuntaskan. Saya pilih yang kedua. Di waktu berbeda, saya memilih minum kopi dengan kawan ketimbang menemani ibu berkunjung ke rumah keluarga. Minum kopi dengan kawan adalah salah satu cara saya menjaga relasi. Relasi penting bagi perjalanan karier saya. Karier penting untuk eksistensi saya sebagai manusia. Berkat eksistensi itulah Allah membuka jalan rezeki saya. Realistis sekali, ya? :-)

Begitulah hidup. Saya menyadari hidup sebagai sebuah perjalanan yang penuh konsekuensi. Wajar jika di setiap titik perjalanan itu kita ingin meninggalkan jejak yang berkesan bagi orang lain. Dan karena itulah kita berhak memutuskan untuk bertemu dan berelasi dengan siapa, mendengar apa, melihat apa,  dan melakukan apa. 

Hal yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah apakah tidak pernah bertemu dengan orang yang salah? Melakukan kesalahan? Melihat dan mendengar yang tidak ingin kita dengar dan kita lihat? Justru sering. Saking seringnya saya lupa ada berapa banyak. Dan saya tak ingin menyesalinya tanpa berbuat apa apa.[]

Sabtu, 23 Maret 2024

Idi Lautan Api



Penampakan Simpang Empat (Simpang Peut) Kota Idi Rayek, Aceh Timur. Saya jepret menjelang pukul satu siang tiga hari lalu (Selasa, 19 Maret 2024) sambil memicingkan mata di tengah terik yang bikin meledak kepala buaya. Setelah dilihat-lihat kembali, kesemrawutan kabel listrik itu memberikan efek estetis (plus dramatis) tersendiri. Seperti lukisan abstrak. Harganya mahal meski maknanya sukar dipahami oleh orang awam.


Jika kita dari arah Banda Aceh, ke kiri dari Simpang Empat ini akan berujung ke Kuala Idi. Kalau lurus tentulah ke Sumut. Kalau ke kanan, bisa tembus ke Keude Geurubak, ke PT Bumi Flora, Idi Cut, bahkan Alur Merah. Rumah saya yang sekarang hanya berselang dua kampung dari simpang ini. Rumah yang sebelumnya berselang enam kampung dari simpang ini. Agak ke depan sedikit, di sebelah kiri, dulunya Polres Aceh Timur.

Saya akrab dengan Simpang Empat ini. Punya memori khusus. Di pojok kanan itu dulunya ada warung bakso. Beberapa kali Ayah pernah membawa kami (saya dan sepupu) untuk makan bakso di sana. Itu ketika saya masih SMP. Di pojok itu juga ada warung Selera Anda yang menjual mi dan martabak. Ayah sering membeli mi goreng dan martabak di sana. Bersebab itu pula saya lebih suka mi goreng ketimbang yang rebus. Kenangan ternyata mampu mengubah rasa di lidah seseorang. Di tempat Selera Anda itu sekarang sudah jadi toko obat. Simpang ini juga jadi tempat mangkal RBT yang makin ke sini jumlahnya makin menyusut.

Waktu SMP saya kos di Idi Rayek. Mulanya di Asrama Koramil Idi Rayek. Di rumah orang tua salah satu guru SD saya. Ketika di sinilah untuk pertama kalinya saya melihat seorang pemuda mabuk. Jalannya tenggen. Mulutnya menceracau. Tetap "fly" meski ibunya berteriak mengeluarkan sumpah serapah dan mengusirnya. Ketika di sini pula, karena sering melihat cucu ibu kos membuat grafiti, saya pun jadi suka grafiti.

Beberapa bulan kos di asrama koramil, kami pindah ke Gp. Blang. Tinggal di rumah salah seorang kenalan ayah. Rumah milik seorang tauke besar di masanya di Idi Rayek. Di sini lumayan lama, setidaknya kami bertahan hingga naik kelas dua SMP. Dari sini kemudian pindah lagi, masih di Gp. Blang juga, tapi di Lr. Blang Pidie. Tentunya kami tinggal di rumah orang Pidie. 🙂 Persisnya seberang Masjid Jamik Idi Rayek. Dari ketiga tempat kos ini saya dan teman-teman berjalan kaki ke sekolah di SMP N 1 Idi. Di Jalan Peutua Husen, arah ke Kuala Idi.

Suatu hari di pertengahan tahun '98, kami sedang belajar dengan serius. Hari masih belum terlalu siang. Mungkin sekitar pukul sepuluhan. Tiba-tiba tampak asap hitam membubung tinggi di angkasa. Segera warga sekolah kasak-kusuk. Guru menjadi panik. Anak murid apa lagi. Waktu itu, menjelang runtuhnya Orde Baru, kerusuhan demi kerusuhan besar memang terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di Kota Idi yang banyak orang Tionghoa. Umumnya mereka membuka usaha bengkel. Ada juga yang dealer motor. Sebagian berjualan emas.

Sekolah dibubarkan. Guru meminta murid-murid segera pulang. Ah, senangnya. Tapi, saya dan beberapa teman tak langsung pulang ke kos. Sampai di simpang Kantor Camat Idi Rayek, kami justru berbelok ke kanan, ke arah pusat kota, mestinya lurus saja ke seberang jalan besar. Kami penasaran. Dari mana sumber asap tadi berasal. Apa yang terjadi?

Sampai di kota, yang ada hanya kelengangan. Rusuh-rusuh sudah selesai. Kami masuk ke Tepekong Chin Sui Co Su (Vihara Murni Sakti). Ini salah satu bangunan bersejarah di Kota Idi. Sebelumnya setiap Imlek banyak warga Tionghoa dari luar yang berziarah ke sini. Bangunan vihara hancur. Rusak total. Lama-lama di situ, muncul juga kengerian sehingga kami memutuskan untuk segera pulang ke kos. Itu pertama dan terakhir kalinya saya masuk ke vihara itu.

Seingat saya, bermula dari rusuh-rusuh di bulan Mei itulah kondisi di tempat kami semakin tak kondusif. Saya yang waktu itu masih remaja belum begitu memahami situasi. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ketika tragedi Idi Cut terjadi di bulan Februari 1999, saya masih di tempat kos. Malam itu semua panik. Waswas. Apakah kejadian yang bermula dari dakwah itu sampai merembet ke Idi?

Karena kondisi yang semakin tak menentu, akhirnya kami pulang ke rumah. Tidak kos lagi. Orang tua pasti lebih merasa aman kalau anaknya ada di rumah bersama mereka. Di sisa kelas tiga SMP, untuk beberapa waktu saya pergi ke sekolah dari rumah yang jaraknya lumayan jauh. Syukurlah waktu itu sudah bisa membawa motor. Ayah mengizinkan saya membawa motor.

Masa-masa menjelang tamat SMP hingga tamat SMA saya lalui dalam deraan konflik yang demikian parah. Alih-alih memikirkan mau sambung ke mana setelah tamat SMP, kami justru sibuk mengungsi. Ketika sudah di SMA pun, suatu hari, setiba di sekolah terpaksa pulang lagi karena sekolahnya dibakar. 🙁 Rentetan kejadian lainnya, perlu banyak waktu untuk merenungi kembali.

Puncak ketidaktenangan di Kota Idi mungkin pada tahun 2001. Di bulan Maret tanggal satu. Bulan yang sama ketika saya menjepret Simpang Empat ini tiga hari yang lalu. Waktu itu menjelang Iduladha. Terjadi baku tembak sejak menjelang magrib hingga malam harinya antara GAM dengan aparat bersenjata RI. Toko, rumah, hingga boat milik warga Idi dibakar. Idi menjadi "lautan api". Rumah saya, yang berselang dua desa dari Kota Idi, menjadi ramai. Orang entah dari mana-mana berdatangan untuk menyelamatkan diri. Utamanya laki-laki. Satu di antara yang masih saya ingat adalah Teungku Ramit, tauke besar di Idi.

Esoknya, tanggal 2, setelah aparat kembali menguasa kota, mereka melakukan penyisiran. Bahkan hingga ke kampung kami. Alhamdulillah tak sampai ke kawasan rumah saya. Waktu itu, saya sedang bikin kue untuk Lebaran. Ayah tidak ada di rumah. Pergi menjauh ke desa lain. Surat-surat penting sudah diamankan. Baju mantel Ayah yang berwarna dongker dan panjangnya selutut, kami cemplungkan ke dalam sumur. Di masa itu, orang bisa saja ditangkap karena di rumahnya kedapatan barang-barang semacam mantel, kesamaan nama, atau kemiripan wajah/postur.

Efek dari kejadian itu, berbulan-bulan Kota Idi menjadi kota mati. Angker. Berada di kawasan Simpang Empat ini terasa mencekam. Untuk keperluan berbelanja mesti ke Peureulak atau ke Kota Langsa. Kalau yang dekat-dekat bisa seputaran Keude Pliek atau Keude Geurubak.

Melihat Simpang Empat 23 tahun setelah kejadian itu rasanya ada yang lain di hati. Toko-toko lama kini berganti menjadi toko-toko baru. Kota Idi yang pernah mati suri sudah berdenyut kembali. Tapi, seiring dengan itu, pelan-pelan kejadian itu akan semakin dilupakan. Apalagi--sepengetahuan saya--tidak ada monumen atau sejenisnya dibangun untuk "mengabadikan" sejarah kelam itu.[]

Bna, 22 Maret 2024