Apa yang istimewa dari malam pergantian tahun untukku? Tak ada. Biasa saja. Kecuali kutemukan fakta bahwa bertambah pula usiaku. Anehnya, di setiap malam pergantian tahun, keinginanku untuk tidur lebih awal selalu memuncak. Setidaknya aku tidur sebelum pukul 00.00 WIB. Pun pada pergantian tahun ini. Dan ketika aku bangun esok pagi, selalu saja kutemukan satu atau dua ucapan selamat tahun baru dari orang-orang terdekat. Juga pada pergantian tahun kali ini.
"Welcome to 2024."
Pesan itu kau kirim pukul 01.11 WIB. Satu jam berselang setelah tahun berganti dari 2023 ke 2024. Aku sudah terlelap di pukul segitu. Saat kubaca pukul setengah tujuh pagi di hari pertama tahun baru, segera kubalas dengan dua emot meniup terompet lidah.
Perbincangan terakhir kita semalam hanya sampai pukul sepuluh malam kurang dua menit. Berawal dari foto gerobak bakso yang kamu kirimkan dengan ajakan, "Sini yuk makan bakso haha." Kamu ketawa karena mana mungkin aku membalas ajakan itu.
"Di daerah mana itu?" tanyaku.
Kau menyebutkan nama kotamu yang kubalas sambil bersungut-sungut, "Tahu. Sekitaran mana maksudnya? Kotamu kan luas."
"Sekitaran kawasan jasdam. Lumayan jauh dari lokasi semalam."
Gayamu bicara. Duh! Sumatra kali!
"Lokasi semalam?" pura-pura saja aku tak tahu maksudmu.
Jawabanmu tepat seperti dugaanku, kau menyebut sebuah nama tempat. Tempat terakhir kali kita bertemu beberapa bulan yang lalu. "Semalam" untuk beberapa bulan lalu. :-D Tempat kita mengobrol sejak lampu-lampu masih menyala hingga lampu-lampu dipadamkan. Tempat kita mengobrol dan harus kita sudahi karena aku sudah benar-benar mengantuk.
Setengah jam kemudian, kamu kembali mengirimkan foto. "Ini tempat kedua. Nasgornya enak. Legend."
"Nasgor kambing?"
"Ini lebih jauh, tapi dekat dengan perbatasan," katamu dan melanjutkan, "Bukan kambing, jarang nasgor kambing. Ini telur, bakso, atau ayam. Yang kambing daerah pusat kota sana kemungkinan. Ingat nasgor kambing jadi teringat Dago, Bandung."
"Pingin keliling-keliling ke kotamu lagi, tapi kalau ke sana selalu terburu-buru."
Kali ini inginnya betulan. Aku merasa jenuh. Tapi bukan karena pekerjaan. Walaupun, memang masih ada beberapa sisa pekerjaan tahun lalu yang belum tuntas dan itu membuatku kepikiran. Tapi ini bukan jenuh karena itu. Seperti yang sering diucapkan di drama-drama, aku sepertinya butuh udara segar. Paru-paruku terasa pengap.
Pesan-pesan pendek yang kamu kirimkan, entah mengapa jadi terasa mengasyikkan. Terutama saat kita membicarakan tentang kereta api. Moda transportasi umum yang untuk pertama kalinya kucoba pada 2011 silam. Bersama seorang teman, saat itu kami naik dari stasiun Pasar Minggu Jakarta dan turun di Kota Bogor. Berdiri berjejalan bersama penumpang lain sambil memeluk erat-erat ransel di dada. Takut kecopetan. Sepanjang perjalanan Jakarta-Bogor itu pikiranku berkelana jauh.
Sama seperti saat aku naik kereta api pertengahan tahun lalu di kotamu. Dan sepanjang perjalanan itu, pikiranku tetap saja berkelana. Banyak yang kupikirkan, salah satunya, ingin segera ketemu kamu. Mungkin karena sudah lama sekali kita enggak ketemu. Jadi merasa banyak yang ingin diceritakan. Tapi, aku malah gagal ketemu kamu. Gara-gara listrik di tempatmu padam. Kamu tidak bisa mengisi daya ponsel. Pesan yang kukirimkan untukmu tertunda. Dan hari-hari berikutnya aku sudah sibuk. Begitulah domino effect bekerja.
Jadinya kita malah ketemu di malam terakhir aku di kotamu. Kita enggak bisa berkeliling kota. Enggak bisa melihat lampu-lampu jalan. Enggak bisa melihat keramaian. Enggak bisa makan di pinggir jalan. Atau duduk di Lapangan Merdeka. Kita hanya mengobrol di tempat, yang saat itu hanya ada kita saja. Duduk berhadapan dan hanya dipisahkan oleh meja persegi kecil. Di dekat dinding transparan yang di seberangnya ada kolam renang. Cahaya lampu memantul di permukaannya.
Omong-omong soal domino effect, apakah pertemuan kita malam itu juga bagian dari itu? Entahlah, yang jelas, membicarakan kereta api di malam tahun baru terasa menyenangkan. Tidak biasa. Alih-alih membicarakan harapan-harapan untuk tahun berikutnya. Harapanku, kalaupun bisa dibilang harapan, mungkin secepatnya bisa naik kereta api dan melintasi jalur-jalur yang kamu sebutkan itu. Dan, ya, tentu saja dengan kamu. "Kalau sendiri nggak asyik."
Selesai ngobrolin kereta api, lanjut ke tol. Ya, ampun. Percakapan apa ini. Mengapa random sekali. Dari bakso, nasi goreng, kereta api, dan ... tol. Apa kalau ngobrol sama "orang teknik" memang begitu, ya? Sampai akhirnya kamu bilang, "Di sini lagi rame."
Aku maklum. Di kota-kota metropolitan seperti itu, malam tahun baru selalu dinantikan dan disambut dengan gegap gempita. Bunyi terompet. Warna-warni kembang api. Lalu lintas yang menjadi berlipat-lipat padatnya. Tak lengkap tanpa semua itu. Kau pun, sebagai salah satu warga kota metropolitan itu pada akhirnya membuat pengakuan. Sampai pernah menyewa kamar hotel demi melihat keramaian malam tahun baru di pusat kota. See? Ngeluarin duit cuma untuk melihat keramaian. Lalu di tengah keramaian itu merasa sendirian pula. Hahaha.
"Kalau mau nikmati kembang api ya naik ke lantai paling tinggi lah. Kalau di bawah ya nggak ada romantis-romantisnya, lautan manusia."
Dari hiruk pikuk malam tahun baru di kota metropolitan, obrolan kita melompat ke Sabang, kota yang santai banget. Tapi juga ramai di hari-hari pergantian tahun seperti ini. Katamu sudah lama tak ke Sabang, pertama dan terakhir 2007. Kalau aku, pinginnya ke Toba lagi, pertama dan terakhir tahun 2004. Idih, sudah lama sekali, ya? Itu zaman Patung Sigale-Gale masih di semak-semak belukar. Beda dengan sekarang.
Kubilang aku ingin backpacker-an. Kamu juga menginginkan hal yang sama. Ternyata kita banyak samanya juga, ya, sama-sama bisa pergi ke sana ke sini karena urusan pekerjaan. Sama-sama masih bisa bercerita dengan nyaman. Sama-sama suka bakso. Dan sampai pada titik itu, aku bersyukur. Bersyukur bisa kenal kamu. Bersyukur punya kamu. Bersyukur karena entah bagaimana caranya, kita selalu terhubung.
Aku bersyukur karena kamu mengirimkan ucapan welcome to 2024. Itu artinya, aku harus melupakan semua yang menyakitkan pada tahun sebelumnya. Melupakan kesedihanku. Melupakan segala yang membuatku terluka. Melupakan kelelahan dan kebisingan karena suara-suara yang terus berdenging di kepalaku. Riuh. Riuh sekali. Terima kasih, karena kamu selalu hadir di waktu-waktu tak terduga.[]