Senin kedua di tahun 2024. Aku memulai hari dengan keluar dari rumah pada pukul setengah sembilan pagi. Tujuanku ke Jalan Angsa 23 di Batoh. Ada rapat yang mesti kuhadiri.
Hari ini, di agendaku tercatat ada dua jadwal pertemuan. Pukul sepuluh pagi dan siang setelah Zuhur. Rupa-rupanya yang setelah Zuhur diundur ke besok siang karena sang empunya hajat hari ini tidak bisa.
Di sela-sela waktu sebelum rapat dimulai, kumaksimalkan untuk menyunting draf sebuah autobiografi milik petinggi sebuah institut. Alhamdulillah, kelar satu bab. Bonus waktu rapat yang molor.
Pagi tadi aku terbangun oleh suara ibu. "Kita ke rumah sakit, ya."
"Mamak pigi sama Diah, ya?"
"Iya."
Sudah dua bulanan ini kondisi ibu bisa dibilang lebih banyak tak sehatnya dibandingkan sehatnya. Selain berobat ke puskesmas, ibu juga berobat alternatif. Kondisi ibu tentu saja menambah beban pikiranku. Aku berusaha untuk tetap enjoy. Tapi, ya, nggak bisa. Sulit untuk enjoy dengan apa yang ada di pikiranku akhir-akhir ini.
Aku bangkit dan menuju kamar sebelah. Kubangunkan Diah--adikku yang perempuan. Di rumah cuma ada kami bertiga: aku, ibu, dan Diah.
Aku dan Diah sering berbagi peran. Karena aku sibuk bekerja, Diah lah yang kebagian untuk menemani ibu berobat atau bepergian ke tempat lain. Baik ke puskesmas, maupun ke tempat praktik dokter. Atau ke Lhoknga--seperti yang sudah sebulan lebih dilakukan ibu.
Aku meminta Diah yang membawa ibu ke puskesmas, setelah sebelumnya dia kuminta juga untuk mengantarku ke Jalan Angsa. Itu sebab aku datang satu jam lebih awal dari jadwal rapat pukul sepuluh.
Sembari mengikuti rapat, aku memonitor Diah. Kutanyakan apa sudah ke puskesmas. Sudah, katanya. Dokter di puskesmas mengeluarkan rujukan agar ibu dibawa ke rumah sakit. Aku meminta Diah mengabari kalau ada apa-apa. Katanya pukul setengah tiga disuruh balik ke rumah sakit. "Sudah daftar, tinggal tunggu ditelepon," katanya.
Pukul dua lewat aku naik Gojek dari Jalan Angsa dengan tujuan kedai kopi di pinggir Krueng Aceh. Kedai kopi ini dekat dengan rumah sakit tempat ibu dirujuk. Juga tak begitu jauh dari tempat tinggalku.
Aku mengabari Diah, kukatakan kalau aku di kedai kopi itu. Aku sengaja tidak pulang. Tidak juga ke rumah sakit. Toh sudah ada Diah. Tapi sengaja duduk di kedai kopi itu sambil menyambi kerja supaya kalau ada yang mendesak atau mendadak di rumah sakit, aku bisa segera meluncur.
Betul saja. Sekitar pukul tiga Diah mengabari: dokter menyarankan supaya ibu dirawat inap. Ibu dirawat dengan diagnosa diabetes tipe dua. Ketika diperiksa tadi siang, kadar gula dalam darahnya "cuma" 180. Tapi dokter menyarankan inap karena ibu agak demam, detak jantungnya juga sangat cepat, ibu juga lemas.
Kopi yang baru kupesan belum lagi tandas. Masih tersisa setengah di cangkir. Aku bergegas ke rumah sakit yang cuma selemparan batu. Berjalan kaki. Tiba di rumah sakit, kulihat ibu dan Diah sedang menunggu di depan meja resepsionis.
Setelah urusan administrasi selesai, seorang juru rawat memberi tahu kalau ibu dapat kamar di lantai tiga: Ruang Geureudong Pase. Kami naik melalui tangga datar. Ibu didorong oleh seorang petugas dengan kursi roda. Kami mengiringi.
Di kamar di lantai tiga ini ada tiga ranjang pasien, tapi cuma ibu satu-satunya pasien. Kamarnya cukup luas dan leluasa. Ada dua kipas angin. Sudah cukup meski tanpa AC. Mengingat ibu selalu kepanasan efek dari diabetesnya itu. Jadi, kalau di rumah, ibu enggak akan bisa tidur tanpa nyala kipas angin. Mau hujan selebat apa pun, kipas angin tetap on fire selama 24 jam di rumah.
Kamar tempat ibu dirawat langsung menghadap ke jalan raya. Dari jendela berkaca transparan tampak jelas sungai di seberangnya. Di seberangnya lagi tampak punggung-punggung toko di Jalan Ahmad Yani Peunayong. Pepohonan di taman bantaran sungai hijau asri.
Sementara itu, seharian ini aku merasa lelah. Sangat lelah malah. Pikirankulah yang lelah. Empat baris pesan yang masuk ke ponselku siang tadi membuat pikiranku recok nyaris sepanjang hari. Dua cangkir kopi yang kuminum ternyata tak memberi efek apa pun. Alih-alih terjaga, sepanjang sore tadi aku malah terus-menerus merasa kantuk. Tapi setiap aku berusaha untuk tidur, justru mataku enggan mengatup. Yang ada kepalaku malah sakit. Hidung dan tenggorokanku pun mulai terasa nyeri. Seperti akan pilek.
Dari kamar di lantai tiga ini, aku melihat pemandangan di malam hari yang lebih indah karena terang lelampu. Tapi ini rumah sakit. Sebagus-bagusnya pemandangan, tetap saja tidak bisa membuat kita merasa seolah-olah seperti berada di kamar hotel. Dan, kepalaku masih terus direcoki oleh pesan empat baris tadi siang.[]
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)