"Mau ke mana, Dek?"
Pelan suaramu menyapaku yang baru saja selesai membayar di kasir. Aku mendekat. Pantas saja kau tidak terlihat dari kursi tempatku duduk di belakang. Kursimu terhalang tiang permanen yang lumayan besar.
"Mau ke warung kopi lain, Bang. Hidupku dari warkop ke warkop," kataku setengah bercanda.
Aku tidak bohong. Memang aku sudah berencana pindah kedai kopi setelah sejak pagi tadi bekerja di kedai kopi ini.
"Itu buku apa?" Kau bertanya karena melihat aku menenteng sebuah buku tebal.
Aku menunjukkan buku itu. Kau menyongsong mengambilnya. Meneliti kovernya yang berwarna abu-abu dan berilustrasi gedung pencakar langit. Sebaris judul in English semuanya dalam huruf kecil alus kasar.
"On proses difilmkan, diperankan oleh Putri Marino dan Nicholas Saputra."
Entah mengapa aku perlu menjelaskan itu. Mungkin karena aku suka dengan ceritanya, yang baru kubaca setengah dari total tiga ratus halaman. Buku itu kubeli di hari terakhir tahun lalu.
Sudah kali ke sekian kita bertemu di kedai kopi ini. Sejak pertemuan dan perkenalan pertama dua tahun lalu. Juga di kedai kopi ini. Tapi, kenapa terlalu sulit bagiku untuk mengingat namamu, ya, Bang.
Wajahmu tentu saja aku tidak lupa. Di mana pun aku bertemu denganmu, aku yakin akan mengenalmu. Tapi namamu? Ingin kutanyakan lagi, aku ragu, sudah pernah kutanyakan soalnya. Pasti tak etis kalau aku bertanya lagi.
Memang aku ini pengingat yang buruk. Memori ingatanku sangat-sangat jangka pendek. Lucunya, aku masih bisa mengingat nomor ponsel Zenja yang pernah digunakannya belasan tahun lalu. 08131783xxxx. Lucunya lagi, aku tidak kesulitan mengingat momen-momen indah yang terjadi di hidupku. Pertemuan dengan Zenja misalnya. Atau juga Pagi.
"Aku pun sedang membaca sebuah buku, tapi nonfiksi." Katamu kemudian.
"Mana?" aku penasaran.
Kau mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas selempang berbahan tenun. Ragam Akalbudi-nya Daniel C. Dennet. Buku terjemahan. Babnya tak lebih dari tujuh. Aku membolak-balik halaman buku itu. Tidak berat. Tapi tidak juga terlalu ringan. Pokoknya sangat portabel. Kovernya unik. Mungkin salah satu sel kanker. Bisa juga sel otak.
"Boleh kufoto?"
"Boleh."
Aku memotret kovernya dengan ponsel. Kali-kali aku perlu sebagai referensi untuk dicari di toko buku. Terus terang, mengetahui kenyataan kamu membawa buku sungguh menarik. Ini semacam kejutan.
Aku melihat jam di ponsel. Aku ada janji pukul setengah tiga. Aku permisi. Aku keluar dari pintu samping yang mengarah ke sungai. Lalu menyusuri trotoar di sepanjang bantaran sungai, menuju kedai kopi di sisi lain sungai ini.
Trotoar yang sepi. Hanya aku sendiri yang melintas. Langit agak mendung. Membuatku tak perlu tergesa-gesa untuk melangkah. Meski, tetap saja tubuh terasa lembab karena peluh. Sambil melangkah itu, kulihat lagi kover buku yang kutenteng. Entah mengapa aku merasa seperti salah satu tokoh di dalam buku itu. Ingin berlari dari hal-hal yang rumit. Jauh. Jauh sekali ....[]
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)