Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? Namun, yang menjadi pertanyaannya, sejauh apa kita bisa menjadikan setiap pertemuan itu bermakna? Karena, sering kali, di antara pertemuan demi pertemuan itu, yang banyak justru mendatangkan kecewa dan luka.
Setiap manusia punya hati. Tapi, hati yang kumaksud tentulah bukan sebuah organ yang memiliki fungsi untuk membantu proses metabolisme di dalam tubuh kita. Hati yang kumaksud, adalah sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, tetapi ada. Ketika kita merasa sakit, nyerinya sulit sekali untuk pulih.
Aku selalu penasaran, bagaimana jika manusia tidak punya "hati"? Apakah hidupnya akan lebih baik karena tidak bisa "merasai" apa pun yang melukainya? Atau, justru karena itulah kita akan semakin sakit. Karena tak bisa merasakan apa-apa.
Rasa sakit itu, kenapa sukar sekali sembuh? Sekuat apa pun aku berusaha, mengapa rasanya selalu seperti kembali ke titik semula. Di satu titik di perjalanan terjauh ini, aku berulang kali bertanya pada diriku sendiri. Kapan aku akan merasa baik-baik saja?
Kupikir aku sudah tak punya waktu lagi untuk bersedih. Untuk merasakan sebilah sembilu mengiris-ngiris perasaan dan hatiku. Untuk merasa, bahwa aku ternyata masih bisa terluka. Ternyata, kesibukan demi kusibukan, yang terkadang kupaksakan itu, hanya membuatku teralih sebentar saja.
Tuhan, aku tahu kamu telah memelukku. Erat. Begitu erat. Kau telah menghiburku dengan banyak hal. Tapi, apakah ini cara-Mu untuk menghilangkan semua bintik-bintik noda di hidupku? Bukankah dari setiap rasa kecewa, rasa sakit, atau ketidaknyamanan yang seorang hamba rasakan, adalah sebentuk kasih sayang dari-Mu?
Tuhan, Kau Mahatahu tentang apa yang terjadi hingga sejauh perjalanan hidupku. Tapi, biarkan aku tetap bercerita. Selalu dan selalu. Aku hanya ingin bersandar, sambil meresapi sisi terhalus perasaanku. Kurasakan betapa nyeri ini terasa nyeri. Mengalir perlahan merambati rongga-rongga di dadaku.
Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan?