Alhamdulillah, sampai juga di titik ini: melihat adik bungsu saya lulus kuliah dan menjadi sarjana.
Tak ada "pesta" apa pun untuk merayakan kelulusannya. Tak juga ada kado atau buket uang sebagaimana yang sedang tren saat ini. Hanya ada buket bunga kecil supaya tangan tak kosong kali saat menyongsongnya keluar dari aula setelah seremoni wisuda.
Kalaulah bisa disebut sebagai "hadiah", saya ingin tulisan ini bisa menjadi hadiah bagi kelulusannya. Kata-kata yang selama bertahun-tahun ini terus berputar-putar di pikiran saya. Kata-kata yang ingin saya tulis khusus setelah dia menyelesaikan strata pertamanya di perguruan tinggi. Bahkan jika insomnia saya kambuh, kata-kata inilah yang menjadi "pengantar tidur" hingga akhirnya saya terlelap.
Kemarin, Selasa, 24 September 2024, D resmi menyandang status sebagai alumnus UIN Ar-Raniry. Ia memperoleh gelar sarjana hukum Islam dari FSH.
===
Kami memanggilnya D. Ia lahir di tengah gemuruh referendum Aceh pada tahun 1999. Ia pertama kali "mengungsi" saat masih di perut ibu. Lahir dalam kondisi prematur di tengah suasana kampung kami yang sangat tidak kondusif.
Saat D masih bayi, keluarga kami "kehilangan" tempat tinggal untuk yang pertama kali. Rumah semipermanen yang baru selesai dibangun oleh orang tua kami, terpaksa dibongkar untuk kemudian dipindahkan ke kampung lain. Kampung lain itulah yang menjadi kampung kami sekarang.
D menghabiskan masa balitanya dalam situasi darurat: Darurat Militer dan Darurat Sipil. Saat D berusia tiga tahun, saya berangkat ke Banda untuk melanjutkan sekolah. Setelah itu, praktis pertemuan saya dan D hanya beberapa kali dalam setahun saat libur kuliah. Utamanya saat hari raya. Masa itu saya juga belum menggunakan ponsel sehingga komunikasi dengan keluarga sama sekali tak terhubung.
Ayah berpulang saat usia D belum genap sepuluh tahun. D harus merasakan kehilangan di usia yang sangat belia. Di antara kami semua, saya yakin, D-lah yang sangat terpukul dengan kepergian ayah. Sebagai anak bungsu, perempuan lagi, D tentu saja menjadi kesayangan di rumah. Apalagi ketika itu dua adik saya yang laki-laki mondok di pesantren, otomatis cuma D satu-satunya yang ada di rumah.
Masa kecil saya dan D bisa dibilang berbanding terbalik. Ketika saya kecil, orang tua masih berakit-rakit, tapi hidup kami tenang karena situasi yang aman. Sebaliknya, ketika D kecil, orang tua mulai mapan, tapi hidup penuh ketakutan karena situasi yang tidak aman. Sejak kecil telinga D sudah akrab dengan salak suara bedil. Ia terbiasa juga melihat orang-orang berseragam melewati kampung kami dengan bedil-bedil bertengger di bahu.
Tahun-tahun pertama setelah ayah pergi, kehidupan kami masih baik-baik saja. Usaha yang ditinggalkan ayah cukup untuk menopang hidup kami. Tapi, yang namanya hidup, betul seperti kata pepatah: ibarat roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan ketika berada di bawah, jangankan untuk bisa kembali berada di atas, untuk sekadar bisa bergerak saja rasanya teramat sulit.
Setelah D tamat SD, ibu memasukkannya ke pesantren terpadu di Peureulak. Seminggu sekali ibu pergi menjenguk. Selama masa ini, pelan-pelan mulai terasa kesulitan. Usaha yang dijalankan ibu mulai tertatih-tatih. Puncaknya saat D kelas satu MA. Ibu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Selanjutnya butuh waktu bertahun-tahun untuk pemulihan. Beriringan dengan itu, usaha kami bangkrut. Satu per satu aset melayang.
Sebagai anak sulung, saya dituntut oleh keadaan untuk menjadi hero. Saya yang tadinya bekerja dan hanya fokus untuk diri sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan. Saya me-reset rencana-rencana pribadi saya. Saya atur ulang fokus hidup saya. Kami dari empat bersaudara jadi berpencar-pencar: saya di Banda, D di Aceh Timur, dua adik lelaki saya masing-masing di Aceh Selatan dan di Pulau Simeulue. Adapun ibu, karena perlu waktu untuk pemulihan, setelah keluar dari RSZA di Banda, saya bawa pulang ke tempat nenek di Pidie. Supaya lebih terjangkau bagi saya untuk menengoknya. Seminggu sekali, setiap Jumat sore saya menjenguk ibu, Senin pagi saya balik lagi ke Banda untuk bekerja. Itu saya lakukan hingga berbulan-bulan.
Komunikasi dengan D sepenuhnya via ponsel. Setelah usaha keluarga bangkrut, seluruh biaya keluarga otomatis bertumpu pada saya. Dengan penghasilan bekerja di media, saya harus membiayai diri sendiri, ibu, dan dua adik yang ada di pesantren. Untuk membayar uang sekolah D yang tak sampai Rp1 juta per bulan rasanya sungguh berat. SPP D sering tertunggak. Kiriman bulanan pun tak pernah berlebih. Namun, Allah selalu mencukupkan saya dengan segala kekuasaan-Nya.
Di tahun ketiga D di bangku MA, kondisi ibu mulai berangsur membaik. Ibu sempat minta pulang ke Idi. Tapi, lagi-lagi, siapa yang bisa menebak apa yang sudah direncanakan oleh Allah kepada hamba-Nya? Satu bulan sebelum kelulusan D, rumah kami dibakar orang. Setelah enam tahun meninggalkan rumah untuk mondok di pesantren, D malah tak bisa memijakkan kakinya di rumah setelah keluar dari pondok. Kerinduan bertahun-tahun berakhir dengan kemarahan dan kesedihan. Tapi lagi-lagi D pandai menyembunyikan semua perasaan itu. Tak sekali pun ia mengeluh. Tapi, bukan saya tak bisa membaca apa yang terpendam di hatinya. Kehilangan tempat tinggal membuat ibu kembali terpukul.
Saat itu hidup kami persis seperti sinetron: ayah pergi, usaha bangkrut, tempat tinggal hilang. Klop! Lagi-lagi, sebagai anak sulung, saya dipaksa oleh keadaan untuk tegak seperti tiang. Tak boleh oleng. Kalau saya oleng, ibu akan oleng, adik-adik saya akan oleng. Kadang-kadang saya bersikap seperti penceramah atau motivator, terutama kepada ibu, bahwa segala yang hilang, selama kita berikhtiar dan tak bosan-bosan berdoa, pasti bisa diperoleh kembali. Kadang-kadang saya bersikap masa bodoh, ceramah demi ceramah yang saya dapatkan dari orang-orang di sekitar saya, cukup numpang lewat saja di telinga. Kadang-kadang saya marah juga, kesal, ketika yang disampaikan itu-itu saja. Kadang-kadang lagi, tak merespons adalah cara saya merespons.
Setamat MA, D ikut saya ke Banda. Walau bagaimanapun, dia sudah bertekad untuk bisa kuliah. Saya harus mewujudkan keinginannya. Di awal-awal sempat terdengar dia ingin kuliah di fakultas kedokteran, mungkin karena terpicu oleh perasaan sentimental saat melihat hari-hari terakhir ayah yang begitu kesakitan. Namun, setelah melihat dan melewati banyak hal yang terjadi di keluarga kami, dia akhirnya termotivasi untuk kuliah di bidang hukum. Alhamdulillah, berjodoh dengan UIN Ar-Raniry.
Berbeda dengan dulu ketika saya hendak kuliah, ayah langsung yang mengantar saya ke Banda. Ayah yang mencarikan saya kos. Ayah pula yang berbelanja lemari, rak piring, sampai ke hanger untuk menggantung baju. Saat saya masuk SMA pun, ayah juga yang menemani saya berbelanja alat tulis dan ke tukang jahit untuk menjahit seragam. Saat D kuliah, peran ayah itu sudah digantikan oleh saya, kakaknya.
Saya pun, mulai berlagak seperti ayah. Pesan-pesan yang dulu disampaikan ayah ketika mengantar saya kuliah, saya sampaikan lagi kepada D. Jangan banyak gaya. Jangan pura-pura jadi orang kaya supaya diterima pergaulan. Apa adanya saja. Jangan boros. Banyak petuah lainnya yang saya sudah lupa. Kadang saya sampaikan dengan baik-baik, kadang saya sampaikan dengan kesal, kadang pula dengan cara diam. Adakalanya menangis diam-diam adalah cara melampiaskan yang paling jitu. Tergantung mood dan keadaan.
Di awal-awal kuliah, ketika D bilang perlu beli buku kuliah, saya minta dia untuk mencatat judul-judul buku yang akan dibeli berikut dengan harganya. Bukan saya tidak percaya, tapi saya ingin mengajarkan dia untuk menjadi orang yang "perhitungan". Jangan mudah mengeluarkan uang karena impulsif. Saya kuliah di akuntansi, saya tahu uang sangat berharga. Saat bayar SPP pun begitu, saya selalu memintanya untuk memberitahukan jauh-jauh hari sebelum mepet.
"Karena kalau Adek bilangnya mepet-mepet dan pas Kakak nggak punya uang, Kakak nggak tahu mau bilang atau minta ke siapa." Kata-kata itu sering saya ulang. Itu juga yang dulu saya lakukan. Saya tak pernah minta sesuatu pada orang tua secara tiba-tiba. Karena saya tahu, orang tua pasti kebingungan kalau anaknya minta tiba-tiba sementara mereka mungkin sedang tak punya uang. Untuk mengatakan tidak pun mereka pasti tak akan melakukannya. Tapi, pernah juga sekali waktu, D baru bilang bayar SPP beberapa hari sebelum tenggat. Tentu saja saya marah.
Setelah D lulus di perguruan tinggi dan mulai kuliah, barulah saya memberi jeda sejenak untuk diri saya. Saya memutuskan resign. Selain itu, saya juga berlatih bela diri dan bersepeda untuk melepaskan semua energi negatif yang bertahun-tahun bercokol di dalam diri saya. Saya bertemu dengan orang-orang baru. Pelan-pelan energi saya pulih kembali. Siap untuk melanjutkan babak selanjutnya dalam kehidupan ini.
Sebagai kakak, saya sadari kalau saya bukanlah kakak yang ideal bagi D. Karakter dan watak kami bertolak belakang sehingga saya sering bicara seperlunya saja. Banyak keinginan dan harapannya yang tak bisa saya penuhi. Bahkan uang jajan pun terkadang tidak saya beri secara gratis, tapi D harus "bekerja" terlebih dahulu. Entah itu membantu mentranskrip hasil wawancara saya, menemani saya wawancara atau liputan ke lapangan. Saya kerap memaksanya untuk ikut ini dan itu supaya dia bisa berada di lingkaran pertemanan yang lebih luas.
Dengan segala kendala dan keterbatasan, melihat D bisa menyelesaikan pendidikannya adalah kebahagiaan yang tak terkatakan bagi kami . Menyaksikannya berjuang membuat sendiri tugas akhirnya adalah kebanggaan bagi kami. Itulah yang selalu kami tekankan, bangga lulus dari perguruan tinggi hanya ketika tugas akhirnya buat sendiri. Saat D merasa mentok di tugas akhirnya dan memilih untuk bekerja pun kami biarkan saja. Tak ada buruknya jeda sebentar. Saat teman-teman seangkatannya satu per satu mulai diwisuda pun, kami tak pernah tanya-tanya kapan dia diwisuda. Kami juga tak pernah mempersoalkan print out skripsinya yang bertumpuk-tumpuk di rumah. Saat dia mengeluarkan uneg-unegnya, kami memvalidasi perasaanya.
Akhir tahun lalu, saat saya pulang menjelang magrib, saya dapati D sudah terisak-isak di kamar. Begitu saya tanya kenapa, tangisnya kembali pecah. Saat itu dia kesal, kesal sekesal-kesalnya karena gagal mendaftar sidang. "Sayang Kakak harus bayarin SPP D lagi," katanya dengan suara terbata-bata.
Mendengar penjelasannya, saya pun turut kesal, tapi saya cuma bisa membesarkan hatinya. "Sudah 13 semester Kakak bayarin SPP Adek, kalau cuma untuk membayar satu semester lagi itu kecil kali. Nggak usah terintimidasi sama kawan-kawan yang udah selesai. Anggap saja itu bonus, nggak semua orang merasakan 'kesempatan' kuliah tujuh tahun. Nggak semua orang punya kesempatan dibimbing profesor. Nggak semua orang punya kesempatan belajar di luar kampus ketika mereka masih kuliah."
Kapan pun D membaca tulisan ini, saya cuma ingin dia tahu kalau kami semua sangat sayang padanya.[]
Midnight, 26 September 2024