Senin, 16 Desember 2024

Pria Bertopi Flat Cap

Ilustrasi gambar dengan Bing

Uhm, hari-hari selama Desember ini terasa lebih longgar. Tidak seperti Desember-Desember yang telah lalu. Memasuki Desember ini, hanya ada satu deadline lagi yang perlu kuselesaikan. 

Terbiasa dikepung oleh deadline demi deadline, rasanya “aneh” juga ketika terasa memiliki banyak waktu luang begini. Tapi aku jadi punya lebih waktu untuk mengistirahatkan diri. Hanya beban pikiran saja yang tampaknya belum longgar karena ada "proyek" multiyears yang belum selesai.


Untuk “merayakan” kesenggangan itu, aku ingin bercerita tentang sesuatu. Tentang pengemis yang sering kutemui di kedai-kedai kopi.


Kedai kopi selalu menjadi pilihan utamaku untuk bekerja. Kedai kopi favoritku adalah sebuah kedai kopi di daerah kota, persis di tepi Krueng Aceh. Selain tempatnya yang terjangkau dari tempat tinggalku, aku suka citarasa kupi sareng di kedai ini. Seperti hari ini, meskipun aku sudah minum kopi dingin, tetapi rasanya kurang pas kalau belum kena kupi sareng. Alhasil, aku memesan secangkir kopi lagi.


Sudah beberapa jam aku duduk di sini, belum satu pun para peminta itu muncul. Berbeda dengan hari-hari biasa, selama tiga atau empat jam aku di kedai kopi, bisa lebih dari tiga atau empat pengemis yang menyodorkan tangannya. Perempuan, laki-laki, termasuk anak-anak. Belum lagi yang sambil mengamen.


Aku suka mengamati mereka. Cara memintanya macam-macam. Ada yang bermodal ucapan “minta sedekah dikit”; ada juga yang dengan doa-doa. Ada juga yang bermodal ekspresi semata. Tapi lebih banyak cuma modal satu kalimat tadi. Di antara para pengemis yang pernah menyodorkan tangannya ke hadapanku, ada satu yang begitu membekas di ingatanku.


Ia seorang pria. Kutaksir usianya belumlah mencapai lima puluh tahun. Perawakannya sedang, tidak tinggi tidak pendek; tidak kurus tidak juga gemuk. Tampaknya ia pernah terserang stroke ringan sehingga salah satu tangannya terlihat lemah. Saat berjalan pun sebelah kakinya terlihat seperti diseret. Yang melekat dari penampilannya adalah topi jenis flat cap (?) yang sering kulihat dipakai oleh seniman dan tas selempang kecil yang (mungkin) sekaligus berfungsi sebagai dompet.


Biasanya dia akan menghampiri para pengunjung satu demi satu dan saat menyodorkan tangannya tak sepatah kata pun terucap. Ia hanya menyodorkan senyuman. Sebagai pengunjung setia kedai kopi tersebut, bisa dibilang hampir tak pernah aku memberikan sumbangan kepada mereka. Ada beberapa pertimbanganku, di antaranya, kebanyakan yang kulihat memiliki kondisi fisik yang sempurna. Rentang usia mereka pun, meski tak muda lagi, tetapi juga bukan yang tergolong manula yang umumnya berusia di atas 60 tahun. Termasuk si yang bertopi flat cap tadi, hanya pernah kuberi di awal-awal dulu.


Awal November lalu, aku memenuhi undangan diskusi salah seorang rekan ke sebuah kafe. Dibandingkan kedai kopi yang biasa menjadi tongkronganku, kafe itu—sesuai namanya—tergolong elite, baik dari dekorasi dan interiornya, maupun dari variasi dan harga menu-menu yang dijual di sana. Kafe ini terbagi menjadi dua bagian dan bagian depan menghadap ke jalan protokol.  Siang atau malam selalu ramai. Satu sisi ruangannya ber-AC dan satu sisi lagi yang lebih luas non-AC. Di tempat yang non-AC ini biasanya lebih ramai para pria karena mereka bisa sambil menghirup lisong.


Malam itu kami duduk di ruang ber-AC. Kebetulan aku duduk menghadap jalan dan posisi ruangan yang non-AC ada di sebelah kiriku. Kedua ruangan ini dibatasi oleh tembok dan pintu kaca yang transparan. Sekonyong-konyong aku melihat sesosok lelaki di seberang sana. Ia duduk dengan posisi menghadap ke ruangan non-AC. Tampaknya ia tidak sendiri, tetapi aku tidak bisa melihat orang yang di depannya karena terhalang tempok. 


Laki-laki itu tampaknya sangat menikmati suasana malam itu. Ia duduk di kursi berlapis busa yang dibalut kulit sintetis. Dari telinganya tampak sejulur kabel mini yang menghubungkan ke perangkat digital. Kepalanya agak bergoyang-goyang, persis seperti orang yang sedang menikmati alunan musik. Sesekali tampak seperti merespons pembicaraan dengan orang di hadapannya. Sesekali terlihat tertawa sambil bercakap-cakap. Di hadapannya tersaji sepiring makanan dan segelas minuman. Ekspresinya menyiratkan kalau ia senang dan nyaman.


Aku mengenali orang itu karena sesuatu yang melekat di kepalanya, yaitu topi flat cap. Setelah memperhatikan lebih saksama, benar, memang orang yang sama yang sering aku lihat di kedai kopi tongkronganku. Bedanya kali itu ia sebagai pelanggan, bukan sebagai peminta-minta sebagaimana biasanya. Kenyataan itu membuat aku tak bisa berucap. Ingin tertawa rasanya. Untuk sesaat aku kehilangan fokus. 


Berminggu-minggu setelah malam itu, hingga detik aku menuliskan ini, belum sekali pun aku melihat pria dengan topi flat cap itu muncul di kedai kopi ini.[]

Sabtu, 07 Desember 2024

Merindukan Rumah untuk Pulang

Foto AI Generate (Bing)


Pada Agustus 2023, saya mengikuti pelatihan menulis memoar secara online yang diselenggarakan oleh panitia Balige Writers Festival sebagai prakegiatan puncak yang berlangsung pada Oktober 2023. Pelatihan tersebut diisi oleh dua pemateri, yaitu Danny Yatim dan Nuria Soeharto. Sebagaimana pelatihan pada umumnya, para peserta pun diminta untuk berlatih. Saya menuliskannya dengan penuh semangat.

Setelah lebih setahun tersimpan di laptop, hari ini, ketika saya sedang menikmati secangkir kopi hitam di sebuah kedai kopi di bantaran Krueng Aceh, saya kembali teringat pada tulisan tersebut. Maka, sebagai kenang-kenangan bagi masa depan, saya publikasikan tulisan tersebut di sini.

------------

 

SEWINDU sudah aku tak bisa merasakan “nikmatnya” berlebaran. Maksudku begini, jika Lebaran dimaknai sebagai sebuah ritual keagamaan: ada salat Id, ada salam-salaman dengan sanak saudara dan para tetangga, ada makan-makan, ya, tentu saja aku bisa menikmati semua itu. Namun, nikmat yang kumaksud ialah karena kami tidak berlebaran di rumah sendiri.

 

Dalam setahun ada dua kali Lebaran, dan selalu saja kami berpindah-pindah tempat untuk merayakannya. Paling sering di rumah Nenek di Teupin Raya, Kabupaten Pidie, yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari Banda Aceh—ibu kota Provinsi Aceh. Selebihnya, kami pernah berlebaran di Aceh Barat, sekitar lima atau enam jam perjalanan dari Banda Aceh.

 

Pernah juga berlebaran di Kota Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue, sebuah pulau dengan nama yang sama di lambung Samudra Hindia. Pulau ini satu gugus dengan Kepulauan Banyak di Singkil, seterusnya hingga ke Nias di Sumatera Utara. Perjalanan menembus lautan dari Pelabuhan Calang hingga ke Pelabuhan Sinabang tak kurang dari empat belas jam. Itu kalau cuacanya normal. Melelahkan, tetapi kami anggap itu sebagai petualangan. Oh ya, kenapa kusebut kami, karena selain  aku, juga ada Ibu dan Adik.

 

Kalau mau lebih pendek waktunya di kapal, kami bisa menyeberang dari pelabuhan di Aceh Selatan, tetapi harus menempuh perjalanan seharian dari Banda Aceh ke Aceh Selatan. Sama saja!

 

Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa harus pindah-pindah begitu? Jawabannya satu: karena kami tak punya rumah.

 

Aku yang sejak SMP harus indekos demi melanjutkan sekolah ke ibu kota kecamatan, dan telah berdomisili di Banda Aceh selama dua dekade, selalu mendambakan rumah untuk pulang. Waktu SMP aku pulang ke rumah sepekan atau dua pekan sekali. Pulang, yang artinya bisa bertemu dengan ayah dan ibu, bermain dengan adik, bersantap dengan lauk-pauk buatan ibu, sangatlah membahagikan. Aku benar-benar menemukan kehangatan di rumah.

 

Itu sebabnya, ketika rumah kami terbakar pada 2017 lalu, hatiku benar-benar hancur. Aku tak punya lagi tempat untuk pulang. Lebih dari itu, dengan terbakarnya rumah itu, ada banyak kenangan yang hilang. Terutama kenangan bersama Ayah. Ya, karena rumah itu dibangun oleh Ayah dengan susah payah. Ia mempertaruhkan tidak saja tenaga dan materi, tetapi juga nyawanya agar rumah itu bisa berdiri.

 

Rumah itu tidak kecil, meskipun tidak begitu besar. Namun, cukup leluasa untuk kami tinggali berenam. Ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dua ruang keluarga, dan satu ruang dapur. Halamannya luas. Selalu bersih dan penuh dengan bebungaan. Letaknya di tengah persawahan yang berbatasan langsung dengan jalan utama desa. Angin bisa masuk dengan leluasa dari jendela-jendela besar yang ada di setiap sisi rumah. Membuat suasana di dalam rumah jadi terasa sejuk.

 

Saat musim tanam padi tiba, pemandangan di sekitarnya benar-benar bikin terpesona. Hijau menyegarkan di awal-awal musim tanam dan kuning yang memancarkan harapan menjelang masa panen tiba. Di halaman rumah ada gazebo yang selalu menjadi tempat favorit untuk mengaso di siang hari. Terutama bagi orang-orang yang bekerja pada Ayah.

 

Rumah kami berada di sebuah desa di Kabupaten Aceh Timur. Itu rumah kedua yang dibangun ayah dalam rentang waktu hanya tiga tahun. Dibangun di tahun 2000-an di tengah kemuncak konflik yang saat itu sedang gila-gilanya di Aceh. Saat aku kelas dua SMP, ayah baru saja selesai membangun rumah di desa lain. Agak jauh ke arah selatan dari desa tempat rumah kedua didirikan. Rumah yang terpaksa dibongkar karena desakan situasi keamanan yang semakin mencekam. Bahkan cat yang melapisi dindingnya pun belum hilang baunya.

 

Aku masih ingat betul bagaimana cara kami meninggalkan rumah itu. Waktu itu tahun ‘99, aku baru tamat SMP dan sedang persiapan masuk SMA. Uhm, rasanya kurang tepat menyebut “persiapan” sebab memang tidak ada persiapan apa pun yang kulakukan. Hanya mendaftar bermodal surat keterangan tamat SMP. Di rumah hanya ada aku dan Ayah, sebab ibu dan dua adikku sudah pergi ke Kabupaten Bireuen, menjenguk kakek yang sakit parah.

 

Tiba-tiba keadaan menjadi "panas" karena munculnya surat kaleng yang meminta agar masyarakat meninggalkan desa. Khususnya bagi warga yang beretnis Jawa. Meski keluarga kami asli Aceh, kami tetap pergi meninggalkan desa. Siapa yang bisa menjamin keselamatan kami jika tetap bertahan di sana?

 

Ayah lantas menyuruhku membereskan barang-barang. Aku memasukkan gelas dan piring ke dalam ember; mengemasi pakaian dan membungkusnya dengan kain. Aku bingung. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, terutama ketika Ayah tidak di rumah.

 

Ayah punya satu mobil Chevrolet tua warna biru yang ia beli sekitar satu tahun sebelumnya. Mobil itu sangat berguna bagi Ayah yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi. Dengan mobil itu ia mengangkut hasil ladang seperti kopra atau kakao (biji cokelat) untuk dijual ke ibu kota kecamatan.

 

Di tengah situasi itu, rupanya jasa Ayah sebagai pemilik Chevrolet sangat diperlukan. Ayahlah satu-satunya yang punya mobil di kampung kami. Jadi, saban hari Chevrolet itu mengangkut barang-barang warga yang hendak mengungsi ke kota. Ketika kami meninggalkan kampung, rumah-rumah warga sudah banyak yang kosong. Jalanan sangat lengang. Bahkan angin pun seolah enggan berkesiur.

 

Semula Ayah tak berniat membongkar rumah itu, ia masih punya harapan keadaan akan segera kondusif dan kami bisa kembali pulang. Rupanya, alih-alih semakin membaik, keadaan justru semakin memanas. Bahkan rumah wawak (kakak Ayah) yang bersebelahan dengan rumah kami dibakar orang tak dikenal. Hangus jadi arang. Setelah itulah Ayah segera membongkar rumah semipermanen itu dan memindahkannya pada sebidang tanah di kampung yang sekarang kami tinggali.

 

Selain sebagai pedagang, Ayah juga punya sedikit kebun. Meski sudah mengungsi ke desa lain, kami tetap pergi ke desa yang lama untuk memetik hasil kebun. Dengan hasil kebun itulah kami bertahan hidup. Kami mulai beradaptasi dengan segala kekacauan itu, misalnya, saat hendak ke kebun tidak pergi sendiri, tetapi perlu mengajak teman. Teman itu, alangkah lebih baik lagi jika perempuan. Kalau nekat pergi sendirian atau semuanya lelaki, apabila kepergok dengan si baju hijau di kebun, bisa-bisa dianggap sebagai gerilyawan. Kalau sudah begitu, bisa habis kita!

 

Maka Ayah selalu mengajak Ibu setiap kali ke kebun. Sesekali dia mengajakku. Begitu juga bapak-bapak yang lain. Istri-istri mereka menjadi tameng. Begitulah peran perempuan di kubangan konflik. Terkadang kami pergi ramai-ramai dengan para tetangga di desa yang lama. Perginya, ya, dengan Si Biru yang dikemudikan Ayah. Pernah suatu sore, saking penuhnya muatan, Si Biru terjerembab di kubangan lumpur.

 

Dengan sisa-sisa kayu dari rumah lama itulah Ayah kembali membangun rumah kedua. Agar kami yang sudah sekian lama homeless ini bisa punya rumah. Kelak setelah rumah itu selesai dibangun, pada suatu sore di tahun 2002, menjelang keberangkatanku untuk kuliah ke Banda Aceh, Ayah pernah mengatakan pada seorang tetangga, “Kalau saya pergi nanti, setidaknya anak-anak sudah punya rumah sebagai tempat berteduh.”

 

Enam tahun kemudian Ayah pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia di usia yang sangat muda: 45 tahun. Sejak saat itu, saya sebagai anak sulung merasa perlu mengambil semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Lalu, rumah yang selama ini menaungi kami dari hujan dan terik itu pun terbakar. Setelah sejak 2015 ditinggalkan sementara oleh Ibu yang sakit dan dibawa berobat ke Banda Aceh. Sejak itu pula, kami tak pernah berlebaran di rumah dan Lebaran tak pernah sama lagi nikmatnya bagiku.[]