Sabtu, 01 Maret 2025

Selamat jalan, Black

Selamat jalan, Black

 Selamat jalan, Black.

Terima kasih sudah bertahun-tahun bersama kami.

Kau hadir sebagai pelipur di tengah kebosanan saat pandemi melanda.

Kerincingan di lehermu yang riuh saat menyambut kami pulang akan selalu jadi kenangan.

Kamu kucing yang manis, manja, tetapi tidak rewel.

Tatap pandangmu selalu teduh

Ekormu yang superpendek begitu lucu

dan “kaus putih” di kakimu itu menjadikanmu semakin istimewa bagi kami.

Black, kemarin kamuu masih bersama kami. Kau memang sakit dan tampak lemas, tapi bukankah setiap Ramadan kamu selalu sakit? Hingga tak sedikit pun kami curiga bahwa ini sakit yang akan mengantarmu pada peristirahatan terakhir.

Kemarin siang aku mendengar suaramu yang memilukan. Menyayat hatiku. Apakah kau bermaksud memberi tahu?

Black, sering kudengar cerita-cerita tentang kucing-kucing yang mau meninggal justru meninggalkan rumahnya, supaya pemiliknya tidak sedih dan berduka.

Tapi kamu justru membiarkan kami menyaksikan kepergianmu. Di waktu subuh di hari pertama Ramadan.


Black, ternyata kepergianmu bisa bikin patah hati.

AKu menguburkanmu pagi ini. Kugali tanah dengan cangkul dengan keringat dingin mengucur. Antar capai dan sedih. Kubalut jasadmu dengan kain putih dari Bu De. Kumassukkan kamu ke liang itu dan kututup dengan tanah. Tak lama kemudian hujan turun, seperti melengkapi rasa sedihku.

Kami nelangsa sekali. Kupikir, kehilangan kamu yang seekor kucing takkan sebesar ini, tapi rasa aku patah hati.


Beristirahat dengan tenang ya, Black.

Sabtu, 15 Februari 2025

Rumah untuk Pulang

Rumah kita yang belum sempurna, tapi kehadirannya sangat-sangat membahagiakan.
 

Assalamualaikum, Ayah.


Ayah, 

per 16 Januari 2025 sudah 17 tahun Ayah berpulang. Usiaku belum terlalu matang ketika Ayah pergi, tetapi pelan-pelan, aku yang tadinya meraba-raba dan gamang bisa berdiri dengan tegak. Sepeninggal Ayah, banyak yang terjadi di rumah kita dan itu semua membuatku semakin memahami apa artinya menjadi dewasa. Mengingat betapa Ayah begitu "memanjakan" aku dulu, kupikir aku tak bisa semandiri ini. Namun, cinta Ayahlah yang membuatku menjadi seperti sekarang. Ayah kebanggaanku dan akan selalu begitu.


Ayah, 

aku ingin bercerita. Kali ini, cerita yang membahagiakan. 


Sebentar lagi Ramadan, Yah. Berbeda dengan tahun-tahun yang telah lalu, Ramadan ini akan menjadi istimewa karena kami, khususnya Mamak, akan menyambutnya dengan ber-makmeugang di rumah. Itu artinya, kami bisa "dekat" lagi dengan Ayah.


Rumah kita tampak dari belakang, Yah. Dapurnya tak lagi sebesar dulu, tak apa kan, Yah?


Ayah,

rumah kita yang pada 14 Maret 2017 dibakar orang sudah kubangun lagi. Sudah utuh kembali. Meski belum sempurna, tapi aku senang karena akhirnya Mamak dan adik-adik jadi punya rumah (lagi) untuk pulang. Betapa bahagianya melihat senyum mereka. Pun aku, yang sejak SMP sudah kos di rumah orang, sejatinya selalu merindukan rumah untuk pulang.


Ayah,

kini aku bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah Ayah rasa. Ketika pertama sekali Ayah berhasil membangun rumah kita yang pertama--di tengah huru-hara negeri kita yang mematikan harapan. Waktu itu aku sekitar kelas dua SMP. Betapa berbunga-bunganya hatiku saat setiap akhir pekan pulang ke rumah. Tidur di kamar sendiri di tempat tidur yang berkelambu. 


Kata Mamak, salah satu yang membuat Ayah bersegera membangun rumah adalah karena Ayah punya anak perempuan. Di rumah itu pula aku pernah menangis sambil menggelesot karena tak mau pulang ke tempat kos. Lalu Ayah membujukku pelan-pelan hingga akhirnya tangisku reda. Lucu sekali mengingat aku sudah SMP. 


Namun, rumah itu tak bertahan lama, huru-hara di kampung kita tak hanya merenggut harapan anak manusia, tetapi juga benda-benda yang mereka miliki. Bekas rumah itu sampai sekarang masih ada, sumurnya juga masih tetap mengeluarkan air. 


Lalu, setelah kita pindah ke kampung yang baru, Ayah kembali membangun rumah untuk kita bernaung. Rumah itu selesai saat aku kelas dua SMA. Rumah itu menjadi saksi atas banyak peristiwa. Di sumur di rumah kita itu, ada mantel Ayah yang kami "sembunyikan" setelah peristiwa besar yang terjadi di Kota Idi.


Setahun kemudian, aku pun (kembali) meninggalkan rumah untuk kuliah. Hari-hari menjelang aku berangkat ke Banda, saat aku menyapu halaman, sempat kucuri dengar obrolan Ayah dengan seorang tetangga. Ayah bilang, kelak jika pun Ayah pergi, Ayah sudah "tenang". Sudah ada rumah bagi kami untuk berlindung dari terik dan hujan; ada sepetak dua petak kebun yang sudah menghasilkan untuk bertahan hidup. Selebihnya, ilmulah yang menjadi penentu jalan hidup kami. Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang paling tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.

Abu Wahab menepungtawari rumah kita pada pagi Kamis, 14 Februari 2025. Kami ahlibait turut dipeusijuek oleh Abu, Yah.


Ayah,

ketenangan seperti itulah yang (mungkin) kini menyelimuti hatiku. Aku yang selama bertahun-tahun menyimpan kegusaran, kini merasakan kelegaan luar biasa; ringan luar biasa. Aku sempat merasakan kehampaan karena rumah yang Ayah tinggalkan untuk kami pada akhirnya hilang dengan cara seperti itu. Sesungguhnya, yang paling berharga dari sebuah rumah adalah kenangannya. Kenangan bersama Ayah. 

Ini penampakan  ruang depan dan sebagian ruang tengah, Yah, yang kini telah lebih multifungsi: ada musala dan mezanine di atasnya yang terhubung ke rooftop. 


Ayah,

aku sangat sedih ketika Adek D tamat SMA dan dia tak punya rumah untuk pulang. Alhamdulillah, sekarang dia sudah tamat kuliah dan bisa melengkapi kebahagiaannya dengan bisa pulang ke rumah. Sebagai anak bungsu dan usianya masih sangat dini ketika Ayah pergi, Adek D tentulah yang merasa paling kehilangan. Ia memendam isi hatinya selama bertahun-tahun dan belakangan baru mulai berani ia sampaikan. Saat Ramadan atau Lebaran tiba, keceriaannya seperti tertahan. Semoga ke depan tak lagi begitu.


Ayah,

aku takjub pada cara Allah menggerakkan hati manusia, tepatnya hatiku. Selama bertahun-tahun aku tak pernah sedikit pun punya niat untuk membangun lagi rumah kita. Selain karena keterbatasan finansial, kupikir, kalau ada rezeki, sebaiknya aku membeli rumah di Banda saja. Tapi, selama bertahun-tahun itu pula aku memanjaatkan doa yang sangat khusus. Dan ketika niatku menjadi bulat untuk membangun kembali rumah kita pada pertengahan tahun 2023, aku yakin itu adalah jawaban dari Allah Swt. atas doa-doaku yang khusus itu. Semua takkan terjadi tanpa kehendak-Nya kan, Yah? 


Pada Desember 2023, aku pulang ke kampung untuk bertemu tukang, membicarakan biayanya, dan akhirnya berjabat tangan sebagai tanda "deal". Alhamdulillah, setelah setahun lebih sedikit, rumah kita akhirnya bisa ditempati. Bertepatan dengan 13 Februari 2025/14 Syakban 1446 Hijriah, Abu menepungtawari rumah kita dan malam hari sebelumnya ada samadiah untuk segala arwah. Semoga keberkahan selalu tercurahkan kepada keluarga kita, Yah.  


Mamak salat untuk yang pertama kalinya di rumah setelah ia meninggalkan rumah karena sakit usai Idulfitri tahun 2015. Ternyata itu sudah sepuluh tahun lalu ya, Yah?


Ayah,

tak ada yang berubah dari rumah kita dulu, aku hanya memperlebar sedikit dari dua kamar tidur utama dan ruang tamunya supaya sedikit lebih leluasa. Di kamar tempat Mamak tidur, aku tambahkan kamar mandi di dalamnya supaya mudah bagi Mamak jika ingin berwudu untuk salat malam. Di ruang tengah aku tambahkan mezanine dan di bawahnya aku jadikan musala supaya ada tempat khusus untuk salat. Aku juga memindahkan pintu samping di sisi kiri ke sebelah kanan untuk melancarkan sirkulasi udara dan cahaya matahari. Dulu Ayah ingin rumah punya kita ada teras, kan? Keinginan Ayah sudah kuwujudkan. 

Ini kamar mandi di kamar Mamak, Yah. Mamak sering mandi sebelum salat malam atau salat Subuh, Yah. Semoga keberadaan kamar mandi ini membuat Mamak semakin nyaman dan tenang beribadah.


Ayah,

aku sanggup karena doa-doa yang setiap malam dipanjatkan Mamak dalam salatnya. Doa-doa yang selalu disertai dengan isak tangis dan sering kudengar sayup-sayup di dalam tidurku. Bukankah doa seorang ibu tak bertabir?

Ini cucu Ayah, namanya Hurein Nazhifa Amina, anak Johan dan Zahra. Sebenarnya, Yah, aku menjadi mantap membangun lagi rumah kita setelah Dek Johan menikah pada Juli 2023. 


Ayah,

terima kasih sudah mendukungku dengan caramu. Terima kasih sudah hadir melalui mimpi-mimpiku untuk menguatkanku. Aku sangat bahagia, Yah, karena banyak sekali yang tulus menyayangiku, banyak yang mendoakan usahaku, dan banyak yang mendukungku. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan itu dan memudahkan serta mengabulkan segala harap dan doa mereka. 



Agar terhubung dengan teras aku juga membuat jalan setepak serupa ini, Yah. Ini foto sebelum ditaruh batu.



Ayah,

saat aku menuliskan ini, aku sudah kembali ke Banda Aceh, mungkin ini saatnya aku fokus lagi untuk menyusun impian-impianku yang sempat tertunda (?)


(15/2/2025)

Senin, 27 Januari 2025

When My Lapie Collapse



Januari 2025 hampir berakhir. Nyaris empat pekan terlalui olehku dengan ritme aktivitas yang belum begitu padat. Aku jadi punya banyak waktu lebih untuk membaca buku, untuk rebahan, juga untuk berolahraga ke taman. 

Pergantian tahun ini kulalui di kampungku di Aceh Timur. Ini pergantian tahun pertama yang kulalui di sana setelah 17 tahun berlalu. Dua hari menjelang pergantian tahun, aku pulang ke kampung untuk mengecek proses finishing rumah yang sedang kubangun di sana. Aku kembali ke Banda Aceh beberapa hari setelahnya.

Januari kuawali dengan kejadian yang tak mengenakkan. Aku tiba di Banda Aceh pada pagi Minggu dan berencana pergi ke Sabang keesokannya. Setiba di Banda Aceh, seperti biasa, aku yang sudah kangen minum kopi pergi ke warung kopi langganan pada sorenya. Suasana warung kopi ramai. Aku duduk di salah satu meja yang agak dekat dengan dinding. 

Setelah memesan kopi, aku mengeluarkan laptop, berniat mencicil tulisan. Per Desember 2024 lalu aku memulai proyek penulisan buku baru dengan target harus selesai pada bulan Januari 2025 karena mengejar tenggat pelantikan kepala daerah di Aceh. Itu sebab, selama di kampung pun, aku tetap mencicil menulis, kulakukan di sela-sela segala urusan rumah. Saat kutekan tombol daya, laptop tidak mau menyala. Kukira baterainya habis, meskipun seingatku kali terakhir kupakai saat masih di kampung, baterainya full. Kukeluarkan MacSave untuk mengisi daya. 

Warna daya kuning, pertanda arusnya naik, tetapi saat kunyalakan kembali, laptopnya tetap tidak mau hidup. Beberapa saat kemudian muncul kotak folder di layar yang serbahitam disertai dengan tanda tanya.  Ini pertama kalinya tanda seperti itu muncul. Saat terakhir kupakai pada Jumat malam, laptopku tidak menunjukkan gejala apa-apa. Masih menyala dan berfungsi seperti biasa. Makanya, aku heran dan bingung saat tiba-tiba padam. Aku segera mengontak beberapa kawan untuk menanyakan perihal masalah tersebut, juga berselancar di internet untuk mencari tahu apa masalahnya. Termasuk bertanya pada Meta.

Malamnya segera kubawa laptop ke iColor di Peunayong. Aku tak bisa menunda-nunda, bahkan menunggu esok. Ini cangkul kerjaku, dengan kondisi ada pekerjaan yang sedang kuburu seperti ini, kerusakan alat kerja tentu saja merisaukan. Sebagai cadangan, untuk sementara waktu, aku sudah berpikir untuk menggunakan laptop adik. 

Tiba di iColor, aku mendapatkan beberapa penjelasan yang intinya hampir mirip dengan hasil penjelasan yang kudapatkan di internet. Dijelaskan juga bahwa kemungkinan, jika diperbaiki seluruh data akan hilang. Inilah yang lebih merisaukan lagi. Meski begitu, mekaniknya akan memeriksa terlebih dahulu dan kesimpulan baru bisa diberikan setelah selesai pemeriksaan. Katanya lagi, jika kerusakannya parah dan perlu perbaikan lanjut, maka unit harus dikirim ke Jakarta. Malam itu laptopku harus dirawat inap di IColor. 

Esoknya menjelang siang, ada pesan masuk dari iColor yang menjelaskan seperti ini:

Halo kak, Kami Dari Icolor Apple Service Aceh. Bermaksud Konfirmasi Mengenai Perbaikan Unit Kaka Di iColor Aceh

Unit : Macbook A1466

Kerusakan awal : Mati total

Mohon maaf sebelumnya, untuk kerusakan pada unit kaka sudah dicoba maksimalkan perbaikannya namun tetap tidak berhasil, untuk kerusakan unit kaka pada bagian SSD/Mesin sudah dimaksimalkan teknisi kami tetapi masih tetap tidak berhasil perbaikan, Dan mohon maaf sekali untuk perbaikannya sudah tidak bisa di lanjutkan kembali di kami, kondisi unit sudah di rapihkan dan kondisi sesuai awal masuk.

Untuk unitnya sudah bisa diambil kembali ya kak, dan karena tidak berhasil perbaikan maka tidak dikenakan biaya.

Terima kasih atas waktu dan kepercayaan yang sudah diberikan kepada kami.

Demi Kenyamanan Bersama Untuk Device Yang Sudah Di Konfirmasi Baik Sudah Selesai Atau Cancel Harap Segera Diambil.

Cuma satu inti dari pesan yang panjang dan bertele-tele itu, yakni laptopku tidak bisa diperbaiki di situ. Di satu sisi aku lega karena tidak ada beban biaya yang mesti kubayar. Di sisi lain aku terpikir, kalau di pusat servis resmi saja tidak bisa diperbaiki, konon lagi di tempat lain? 

Namun, entah mengapa, aku tidak begitu panik. Hatiku juga tidak terlalu risau. Aku tak ingin terlalu membebani pikiranku dengan sesuatu yang belum pasti. Selain, barangkali karena sudah ada alternatif jalan keluar. Jika laptop itu benar-benar tak bisa dipakai, aku akan gunakan laptop adikku.

Selepas siang aku mengambil laptop ke iColor dan tak ada ada penjelasan apa pun lagi dari mekaniknya. Aku datang, mengambil laptop, lalu pulang, tapi bukan pulang ke rumah. Tujuanku ke Kampung Laksana, tak begitu jauh dari Peunayong. Berdasarkan rekomendasi seorang teman aku mendatangi toko servis khusus produk-produk Apple yang ada di Jalan Darma. Namanya Apple Repair Aceh (ARA).

Sampai di ARA, segera kukeluarkan laptop dan kusampaikan masalahnya. Intinya, laptop juga harus diperiksa dulu oleh teknisi dan akan segera dikabari jika sudah terdeteksi. Baiklah. Sepulang dari sana kami ke toko laptop di Jalan Pocut Baren untuk mengganti kibor laptop adikku yang beberapa tombolnya sudah tidak berfungsi.

Malam harinya, sekitar pukul delapan malam, aku menerima pesan dari ARA yang isinya sebagai berikut:

Assalamualaikum

Bg saya dri Apple repair aceh mau konfirmasi untuk macbook nya kemungkinan rusak SSD

Klo ganti SSD yg ori APPLE yg 128 1,3 klo yg 256 1,8

Pesan yang singkat, padat, dan jelas. Sebagai pelanggan yang notabenenya sangat awam dengan persoalan semacam itu, informasi tersebut sangat melegakan. Aku jadi tahu apa masalahnya, apa solusinya, dan berapa biayanya. Bagi pelanggan, persoalan biaya sangat menjadi pertimbangan. Setelah kupertimbangkan, akhirnya kupilih yang 256 GB. Tak apa mahal sedikit, tetapi kapasitasnya bisa lebih besar. Berdasarkan informasi dari adminnya, malam itu juga laptopku diperbaiki, dengan permintaan waktu sekitar semingguan--barangkali karena harus antre. 

Namun, pada Senin malam, aku kembali mendapat kabar kalau laptopku sudah pulih kembali. Alhamdulillah, akhirnya cangkulku berfungsi kembali, meskipun semua datanya tidak dapat dipulihkan, ya sudahlah.[] 

Sabtu, 25 Januari 2025

Mengoptimalkan "Soft Power" Aceh

 




MENTERI Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, yang dilantik oleh Presiden Prabowo pada 21 Oktober 2024 lalu bersama 47 menteri lainnya di Kabinet Merah Putih Periode 2024–2029 melakukan kunjungan perdananya sebagai menteri ke Provinsi Aceh selama dua hari pada Minggu–Senin, 12–13 Januari 2025. Dalam kunjungan tersebut Fadli Zon memiliki beberapa agenda, yaitu mengunjungi kantor Balai Pelestarian Kebudayan Wilayah I; mengunjungi rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Lhoknga; mengunjungi Museum Pedir dan Museum Tsunami, serta meresmikan pemugaran Taman Sari Gunongan di Jalan Teuku Umar. 


Ia juga sempat berziarah ke makam Syekh Abdurrauf As-Singkili atau Syiah Kuala di Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala. Pada Minggu malam ia juga bertemu dan bersilaturahmi dengan para pegiat kebudayaan di Aceh. Esoknya, ia mengisi kuliah umum bertema Pemajuan Kebudayaan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Keacehan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Kota Jantho, Senin (13/1/2025).


Kuliah umum dimulai sekitar pukul 09.30 WIB setelah pembukaan dan sambutan dari Rektor ISBI Aceh, Prof Wildan Abdullah, dan dari Pj. Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal MSi. Pria kelahiran Tanah Minang pada 1971 silam itu memberi kuliah selama 30 menit dan mengawali dengan “nostalgia” pertamanya ke Aceh pada tahun ‘90-an saat masih menjadi mahasiswa. Beberapa tempat di Aceh seperti Pidie dan Lhokseumawe pernah ia kunjungi, termasuk pernah berkali-kali ke Sabang. Menurutnya, Aceh punya warisan budaya yang sangat kaya yang menjadi bagian dari sejarah peradaban Islam Nusantara ataupun dunia. Secara kasatmata dapat dilihat melalui peninggalan artefak-artefak kebudayaan. Warisan budaya ini dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik.


“Budaya adalah soft power. Sebagai produk, budaya bisa masuk ke berbagai hal,” katanya.


Ia mencontohkan bagaimana produk-produk budaya–terutama film–dari Amerika, Korea Selatan, Jepang, Cina, bahkan India telah menjadi kekuatan baru (soft power) yang mampu memengaruhi gaya hidup masyarakat dunia dan pada akhirnya mendatangkan manfaat finansial yang besar bagi negara-negara tersebut. Sehingga muncullah istilah-istilah semacam Disneyfication (Disneyfikasi) yaitu transformasi sosial atau budaya yang berkiblat pada produk-produk ciptaan Disney yang (ironisnya) justru dapat menyebabkan budaya lokal tergeser. Lebih spesifik lagi ia menyebutkan bagaimana soft power Korea Selatan dalam industri hiburan (musik dan film) telah menciptakan gelombang Korea (Korean Wave) atau Hallyu yang kini “menggempur” negara lain melalui produk-produk budaya mereka, bahkan hingga ke mi instan.


Berkaca dari fenomena tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa Indonesia, khususnya Aceh, harus mengoptimalkan potensi soft power ini. Apalagi, ini merupakan mandat dari UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam ayat (1) Pasal 32 yang berbunyi: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.


Jika dibandingkan dengan kebudayaan di negara-negara lain, Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam yang oleh Fadli Zon disebut sebagai “megadiversity”. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah sudah menjadikan kebudayaan sebagai soft power?


“Menurut saya belum karena belum menganggap kebudayaan sebagai kekuatan, tetapi masih dijadikan sebagai beban. Masih dianggap sebagai ekspresi budaya. Kita masih menganggap kekayaan negara adalah batu bara, nikel, oil and gas. Industri ekstraksi juga penting, tetapi bukan itu saja. Korea Selatan tidak punya batu bara dan oil and gas, tetapi mereka merancang pop culture melalui film dan musik; begitu juga India dengan Bollywood-nya,” katanya.


Di ujung kuliah umum tersebut Menteri Kebudayaan menegaskan, identitas dan jati diri bangsa Indonesia secara umum dan Aceh secara khusus, haruslah berangkat dari nilai-nilai kebudayaan. Apalagi, kemajuan Aceh memang sudah terlihat sejak zaman dahulu, di antaranya, dapat dilihat dari model koin-koin atau mata uang yang digunakan pada era Kerajaan Samudra Pasai. Upaya menjadikan budaya Aceh sebagai soft power juga tidak berangkat dari nol karena banyak produk budaya Aceh yang telah dikenal secara luas hingga ke mancanegara. Salah satunya adalah tari saman yang sejak 2011 silam telah diakui oleh UNESCO sebagai karya budaya Indonesia yang berasal dari Aceh. Di event-event global, tak jarang tari saman dipertunjukkan oleh penari-penari asing. Di bidang produk makanan, Aceh juga memiliki kopi jenis arabika Gayo yang karena cita rasa dan kualitasnya telah mampu menembus pasar-pasar global di berbagai benua. 


Ia juga mendorong agar media-media baru, terutama film, terus dioptimalkan untuk mempromosikan kebudayaan sebagai upaya mewujudkan soft power. Termasuk menghadirkan bioskop sebagai medium untuk mengekspresikan kebudayaan. Festival-festival film juga perlu terus digalakkan untuk menstimulasi terciptanya rantai ekonomi kreatif sehingga tak hanya menjadikan industri ekstraksi sebagai tumpuan andalan kekuatan daerah.


Dalam konteks inilah ISBI Aceh yang notabenenya sebagai satu-satunya perguruan tinggi seni dan budaya di Aceh perlu mengambil peran lebih besar. ISBI Aceh dapat berkontribusi melalui program-program pendidikan dan penelitian untuk menggali dan mendalami warisan budaya Aceh agar dapat dilestarikan; mempertahankan kearifan lokal seperti nilai-nilai keislaman dan adat istiadat melalui kurikulum dan program-program pendidikan yang berbasis pada tradisi lokal; serta mendorong insan kampus untuk senantiasa berkarya dan berinovasi di bidang seni dan kebudayaan.


“Melalui pelestarian, inovasi, pendidikan, dan promosi, ISBI Aceh dapat berkontribusi menjadikan kearifan lokal Aceh sebagai fondasi kemajuan Aceh,” kata Menbud.


Kehadiran Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017 merupakan instrumen turunan dari Pasal 32 UUD 1945 yang menjadi dasar bagi masyarakat dalam melakukan dan melestarikan kebudayaan. Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk berkomitmen menjadikan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai bangsa dengan masyarakat yang berkepribadian secara budaya, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik. 

Kuliah umum ini selain dihadiri oleh mahasiswa dan dosen ISBI Aceh juga dihadiri para undangan, di antaranya, Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Marwan; Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia Bireuen, Prof Afridar; Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Herman Fithra; dan akademisi dari UIN Ar-Raniry. Hadir pula Kepala BPK Wilayah I Aceh, Piet Rusdy, dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, Fadhlullah, serta anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil. 


Pada kesempatan itu, Menteri Kebudayaan juga meluncurkan buku autobiografi Rektor ISBI, Wildan Abdullah, yang berjudul Menggapai Matahari. Selanjutnya, buku yang disunting oleh Yarmen Dinamika dan Ihan Nurdin tersebut dibedah oleh dua narasumber, yaitu Prof. Marwan dan Nasir Djamil. Isi buku ini juga memiliki benang merah dengan konteks pidato Menteri Kebudayaan. Pada salah satu bab Wildan menyebutkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal telah membentuk kepribadiannya sebagai seorang individu.[]



Tulisan ini sudah tayang dan dimuat di Serambi Indonesia edisi Senin, 20 Januari 2025