MENTERI Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, yang dilantik oleh Presiden Prabowo pada 21 Oktober 2024 lalu bersama 47 menteri lainnya di Kabinet Merah Putih Periode 2024–2029 melakukan kunjungan perdananya sebagai menteri ke Provinsi Aceh selama dua hari pada Minggu–Senin, 12–13 Januari 2025. Dalam kunjungan tersebut Fadli Zon memiliki beberapa agenda, yaitu mengunjungi kantor Balai Pelestarian Kebudayan Wilayah I; mengunjungi rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Lhoknga; mengunjungi Museum Pedir dan Museum Tsunami, serta meresmikan pemugaran Taman Sari Gunongan di Jalan Teuku Umar.
Ia juga sempat berziarah ke makam Syekh Abdurrauf As-Singkili atau Syiah Kuala di Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala. Pada Minggu malam ia juga bertemu dan bersilaturahmi dengan para pegiat kebudayaan di Aceh. Esoknya, ia mengisi kuliah umum bertema Pemajuan Kebudayaan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Keacehan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Kota Jantho, Senin (13/1/2025).
Kuliah umum dimulai sekitar pukul 09.30 WIB setelah pembukaan dan sambutan dari Rektor ISBI Aceh, Prof Wildan Abdullah, dan dari Pj. Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal MSi. Pria kelahiran Tanah Minang pada 1971 silam itu memberi kuliah selama 30 menit dan mengawali dengan “nostalgia” pertamanya ke Aceh pada tahun ‘90-an saat masih menjadi mahasiswa. Beberapa tempat di Aceh seperti Pidie dan Lhokseumawe pernah ia kunjungi, termasuk pernah berkali-kali ke Sabang. Menurutnya, Aceh punya warisan budaya yang sangat kaya yang menjadi bagian dari sejarah peradaban Islam Nusantara ataupun dunia. Secara kasatmata dapat dilihat melalui peninggalan artefak-artefak kebudayaan. Warisan budaya ini dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik.
“Budaya adalah soft power. Sebagai produk, budaya bisa masuk ke berbagai hal,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana produk-produk budaya–terutama film–dari Amerika, Korea Selatan, Jepang, Cina, bahkan India telah menjadi kekuatan baru (soft power) yang mampu memengaruhi gaya hidup masyarakat dunia dan pada akhirnya mendatangkan manfaat finansial yang besar bagi negara-negara tersebut. Sehingga muncullah istilah-istilah semacam Disneyfication (Disneyfikasi) yaitu transformasi sosial atau budaya yang berkiblat pada produk-produk ciptaan Disney yang (ironisnya) justru dapat menyebabkan budaya lokal tergeser. Lebih spesifik lagi ia menyebutkan bagaimana soft power Korea Selatan dalam industri hiburan (musik dan film) telah menciptakan gelombang Korea (Korean Wave) atau Hallyu yang kini “menggempur” negara lain melalui produk-produk budaya mereka, bahkan hingga ke mi instan.
Berkaca dari fenomena tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa Indonesia, khususnya Aceh, harus mengoptimalkan potensi soft power ini. Apalagi, ini merupakan mandat dari UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam ayat (1) Pasal 32 yang berbunyi: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Jika dibandingkan dengan kebudayaan di negara-negara lain, Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam yang oleh Fadli Zon disebut sebagai “megadiversity”. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah sudah menjadikan kebudayaan sebagai soft power?
“Menurut saya belum karena belum menganggap kebudayaan sebagai kekuatan, tetapi masih dijadikan sebagai beban. Masih dianggap sebagai ekspresi budaya. Kita masih menganggap kekayaan negara adalah batu bara, nikel, oil and gas. Industri ekstraksi juga penting, tetapi bukan itu saja. Korea Selatan tidak punya batu bara dan oil and gas, tetapi mereka merancang pop culture melalui film dan musik; begitu juga India dengan Bollywood-nya,” katanya.
Di ujung kuliah umum tersebut Menteri Kebudayaan menegaskan, identitas dan jati diri bangsa Indonesia secara umum dan Aceh secara khusus, haruslah berangkat dari nilai-nilai kebudayaan. Apalagi, kemajuan Aceh memang sudah terlihat sejak zaman dahulu, di antaranya, dapat dilihat dari model koin-koin atau mata uang yang digunakan pada era Kerajaan Samudra Pasai. Upaya menjadikan budaya Aceh sebagai soft power juga tidak berangkat dari nol karena banyak produk budaya Aceh yang telah dikenal secara luas hingga ke mancanegara. Salah satunya adalah tari saman yang sejak 2011 silam telah diakui oleh UNESCO sebagai karya budaya Indonesia yang berasal dari Aceh. Di event-event global, tak jarang tari saman dipertunjukkan oleh penari-penari asing. Di bidang produk makanan, Aceh juga memiliki kopi jenis arabika Gayo yang karena cita rasa dan kualitasnya telah mampu menembus pasar-pasar global di berbagai benua.
Ia juga mendorong agar media-media baru, terutama film, terus dioptimalkan untuk mempromosikan kebudayaan sebagai upaya mewujudkan soft power. Termasuk menghadirkan bioskop sebagai medium untuk mengekspresikan kebudayaan. Festival-festival film juga perlu terus digalakkan untuk menstimulasi terciptanya rantai ekonomi kreatif sehingga tak hanya menjadikan industri ekstraksi sebagai tumpuan andalan kekuatan daerah.
Dalam konteks inilah ISBI Aceh yang notabenenya sebagai satu-satunya perguruan tinggi seni dan budaya di Aceh perlu mengambil peran lebih besar. ISBI Aceh dapat berkontribusi melalui program-program pendidikan dan penelitian untuk menggali dan mendalami warisan budaya Aceh agar dapat dilestarikan; mempertahankan kearifan lokal seperti nilai-nilai keislaman dan adat istiadat melalui kurikulum dan program-program pendidikan yang berbasis pada tradisi lokal; serta mendorong insan kampus untuk senantiasa berkarya dan berinovasi di bidang seni dan kebudayaan.
“Melalui pelestarian, inovasi, pendidikan, dan promosi, ISBI Aceh dapat berkontribusi menjadikan kearifan lokal Aceh sebagai fondasi kemajuan Aceh,” kata Menbud.
Kehadiran Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017 merupakan instrumen turunan dari Pasal 32 UUD 1945 yang menjadi dasar bagi masyarakat dalam melakukan dan melestarikan kebudayaan. Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk berkomitmen menjadikan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai bangsa dengan masyarakat yang berkepribadian secara budaya, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik.
Kuliah umum ini selain dihadiri oleh mahasiswa dan dosen ISBI Aceh juga dihadiri para undangan, di antaranya, Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Marwan; Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia Bireuen, Prof Afridar; Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Herman Fithra; dan akademisi dari UIN Ar-Raniry. Hadir pula Kepala BPK Wilayah I Aceh, Piet Rusdy, dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, Fadhlullah, serta anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil.
Pada kesempatan itu, Menteri Kebudayaan juga meluncurkan buku autobiografi Rektor ISBI, Wildan Abdullah, yang berjudul Menggapai Matahari. Selanjutnya, buku yang disunting oleh Yarmen Dinamika dan Ihan Nurdin tersebut dibedah oleh dua narasumber, yaitu Prof. Marwan dan Nasir Djamil. Isi buku ini juga memiliki benang merah dengan konteks pidato Menteri Kebudayaan. Pada salah satu bab Wildan menyebutkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal telah membentuk kepribadiannya sebagai seorang individu.[]
Tulisan ini sudah tayang dan dimuat di Serambi Indonesia edisi Senin, 20 Januari 2025
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)