Hari ini sebulan yang lalu, kau pergi dengan membawa segala kenangan tentang kita. Aku terlampau bersedih hingga tak sanggup menuliskan apa pun untuk "mengantar" kepergianmu ketika itu. Kecuali hanya beberapa potong kalimat. Hari ini, sedihku telah berkurang, tetapi justru kerinduanku yang semakin bertambah.
Nyaris setiap hari aku membuka kotak pesan darimu. Entah untuk melihat pesan-pesan bercentang satu yang (tetap) kukirimkan untukmu. Entah sekadar untuk membaca ulang pesan-pesan terdahulu. Yang pasti, di sana masih terdapat foto terakhirmu yang kau kirim untukku. Kau berada di sebuah resto, sedang menyuap nasi berwarna kuning yang dimasak dari beras basmati. Kau bilang itu nasi kebuli. Menggugah seleraku saat kau kirimkan foto itu.
Setiap kali membuka kotak pesan itu, aku berharap centangnya menjadi ganda. Atau mungkin pesanku kemudian berbalas. Sekalipun bukan olehmu. Seperti pagi itu, sebulan yang lalu, aku sedang berolahraga di taman seperti biasa. Kusempatkan buka WhatsApp untuk melihat pembaruan terkini dari daftar kontak. Ada pembaruan darimu. Sebuah foto yang memperlihatkan seseorang terbaring di ranjang pasien rumah sakit. Di ruang ICU. Sebuah monitor menunjukkan angka-angka tertentu. Juga ada alat bantu napas yang dipasang pada tubuh pasien. Tak begitu kuperhatikan wajah yang terhalang oleh selang alat bantu napas itu sehingga kulewatkan pembaruan itu.
Awalnya tak sedikit pun terpikir kalau itu kamu. Namun, saat aku melihat pembaruan kedua, tertera sepotong kalimat yang memanjatkan doa berharap kesembuhan. Namamu tercantum di sana. Refleks aku menutup mulutku yang ternganga. Air mataku tumpah. Kulihat lagi pembaruan pertama. Ku-reply segera pembaruan itu, "Abang sakit?"
Begitulah aku bertanya. Dengan bahasa sehari-hari yang biasa kupakai saat mengobrol denganmu. Dengan harapan, kamu sendiri yang akan membalas pesan itu nantinya. Pesan itu berbalas kemudian, tetapi bukan kamu yang membalasnya. Hari-hari berikutnya, aku hanya bisa menunggu ada kabar baik mengenai kondisimu. Dan itu sungguh menyiksa. Selama itu pula, aku terus berdoa. Semoga kita masih sempat bertukar cerita. Semoga kita masih sempat bersua wajah.
Aku mendoakan kesembuhanmu dengan caraku sendiri. Setiap usai salat, selalu kubacakan surah Yasin. Aku berharap fadilahnya sampai kepadamu: menyadarkanmu; menyehatkanmu kembali. Namun, empat hari kemudian, yang kudapati justru sebuah kabar duka. Kau pergi, meninggalkan aku; meninggalkan segala yang ada pada kehidupan fana ini; meninggalkan orang-orang yang mencintai dan menyayangi kamu.
Matamu mengatup untuk selamanya. Napasmu berhenti untuk seterusnya. Jantungmu tak lagi berdenyut sejak dokter menetapkan waktu kepergianmu: Sabtu, 15 Maret 2025, pukul 00. 25 WIB. Pancaindramu tak lagi berfungsi. Nyawamu terlepas dari jasad, pergi menghadap Sang Pemilik Kehidupan.
Kau pergi bertepatan dengan 15 Ramadan 1446 Hijriah. Aku melihatmu terakhir kali juga pada saat Ramadan. Ramadan yang lalu. 1445 Hijriah. Saat kuingat-ingat lagi, kita pertama kali saling mengenal di bulan Maret, kau pun pergi di bulan Maret. Kita saling kenal di tahun 2005 dan terpisah di tahun 2025. Itu sudah dua puluh tahun yang lalu.
Aku pernah, bahkan sering menangisimu, tetapi menangisi kehilanganmu seperti itu sangatlah menyesakkan. Semakin aku menangis, semakin satu per satu kenangan tentangmu muncul. Senyummu yang selalu memesona melayang-layang di sekitar mataku. Tutur katamu yang selalu lembut, saat itu rasanya justru begitu bising di telingaku.
Bahkan kau yang kulihat terakhir kali tahun lalu, rasanya semakin jelas dalam ingatanku. Kau yang bergamis putih, menunggu hadirku di bawah tenda di pekarangan rumah. Tenda yang dipasang untuk menerima pengunjung yang melayat atas kepergian saudaramu. Kau menyongsong dengan sepasang sayap yang merentang.
Apakah kepergianmu tak boleh kutangisi? Boleh, kan? Bagaimana mungkin aku tak bersedih. Bagaimana mungkin aku tak menangis. Saat kusadari kini, ternyata kamu masih terlalu berarti untukku.
Tahun lalu, pada pertemuan terakhir kita, terasa kini semacam reviu atas hari-hari kita yang sudah-sudah. Bukan hanya itu, kau pun seperti mereviu kembali kehadiranmu sebagai seseorang di dunia ini. Kau bercerita tentang dari mana orang tuamu berasal, di mana mereka pernah tinggal, dan di mana akhirnya mereka menetap. Kau jabarkan di mana kau lahir, tumbuh, dan besar. Obrolan yang intens.
Kau telah pergi, dengan membawa segala kenangan tentang kita. Apa yang kini bisa kukatakan selain selamat jalan, Zenja? Doa-doa untukmu terus kupanjatkan. Semoga Allah mendengar dan menerima doaku. Aku mengingatmu sebagai orang baik yang penuh kasih. Sebagai orang dewasa yang membantuku berproses dan bertumbuh. Yang selalu mendukungku dan senantiasa mengingat hari ulang tahunku.
Waktumu telah tiba, meskipun kau belum begitu tua untuk pulang ke sana. Tapi begitulah takdir, begitulah maut, cepat atau lambat tak sedikit pun ditentukan oleh usia. Masih banyak cerita yang kusimpan, belum sempat kusampaikan padamu karena aku masih menunggu waktu yang tepat. Ternyata waktu yang tepat itu tak pernah ada. Semua cerita itu kini telah kuterbangkan ke angkasa. Semoga kau bisa menemukan salah satunya. Ada atau tidaknya kamu, aku selalu ingin menjadi yang kau banggakan ....[]